Kisah Momon (Part 2)

Kisah Momon (Part 2)

Kisah Momon
By: Isnani Tias


Part 2: Memulai Perjalanan

Hari berganti, kemarin Momon sudah mempersiapkan beberapa alat yang kemungkinan dibutuhkannya selama melakukan perjalanan jauh. Ia juga memasukkan beberapa bekal makanan ke dalam tas punggung yang terbuat dari anyaman bambu berwarna oranye.

“Nak, bawalah selimut ini, agar kamu tak kedinginan di malam hari,” kata si Ibu dengan lembut, lalu memasukkan selimut itu ke dalam tas Momon.

“Terima kasih, Bu,” jawab Momon sambil memakai tas punggung yang siap dibawa.

“Sama-sama, Sayang. Jangan lupa, pamit dulu sama Bibi dan Kakek Kera. Hati-hati di jalan, ya, Nak. Terima kasih, kamu anak baik,” ucap sang Ibu sambil memeluk Momon dan perlahan meneteskan air matanya.

Momon mengangguk dalam pelukan ibunya, kemudian diciumnya punggung tangan itu. Sebenarnya, Momon tidak tega meninggalkan ibunya. Namun, apa yang ia lakukan ini adalah demi kesembuhan sang Ibu.

Momon berjalan keluar rumah dan menuju tempat Bibi Kera, sekaligus rumah Kakek Kera yang berdekatan. Kebetulan bibi dan kakeknya sedang duduk bersama di atas batu depan rumah.

“Kakek, Bibi, Momon berangkat dulu, dan titip Ibu, ya,” pamit Momon sambil mencium tangan bibi dan kakeknya bergantian.

“Pasti, Mon. Bibi dan Kakek akan menjaga ibumu. Oh, ya, bawa peta petunjuk jalan ke puncak Gunung Merah dan tongkat ini juga. Siapa tahu berguna dalam perjalananmu nanti,” kata Kakek sambil menyerahkan peta yang terbuat dari kulit pohon jati dan tongkat bambu kuning yang bisa dilipat.

“Oh ya, pakailah topi rajutan ini. Bisa melindungi kepala dari cuaca panas dan dingin.” Bibi Kera memakaikan topi rajutan warna hijau ke kepala Momon.

“Terima kasih, Kek, Bi. Secepatnya, Momon akan pulang,” ujar Momon dengan penuh keyakinan.

Usai berpamitan, Momon mengayunkan langkahnya meninggalkan desa menuju ke arah utara sesuai petunjuk di peta itu. Ia melewati hutan pohon jati dengan berlari, sesekali ia menaiki pohon dan berpindah tempat dengan melompat sambil bergelantungan di dahan pohon jati. Momon juga menyapa setiap kawanannya yang ditemui dalam perjalanan.

Pagi beranjak menjadi siang, saat posisi matahari tepat di atas kepala, Momon memutuskan untuk beristirahat di atas sebatang pohon yang cukup rimbun daunnya. Ia membuka bekal yang dibawanya dari rumah. Momon memakan satu-dua buah pisang untuk mengisi perutnya yang sedari tadi terus berbunyi minta diisi. Momon menikmati embusan angin sepoi-sepoi yang membuatnya tak lagi berkeringat, juga rasa pegal di kakinya perlahan menghilang.

Lima belas menit lamanya ia habiskan untuk makan dan beristirahat sejenak, kemudian kembali bergegas melanjutkan perjalanan.

“Momon pasti bisa mendapatkan obat itu, tunggu Momon pulang, Bu,” ucapnya dalam hati sambil terus melangkah menyusuri hutan.

Beberapa jam kemudian.

Suara aliran sungai yang deras terdengar di telinga Momon. Wajah ceria yang memperlihatkan senyuman itu tampak jelas.

“Pasti di depan sana ada sungai,” lirih Momon sambil terus berlari.

Momon tidak sabar ingin berenang di sungai itu. Karena badannya sudah bau keringat, juga ingin menghilangkan lelah dan dahaga selama perjalanan tadi.

Di balik rimbunan semak-semak, mata Momon melihat sebuah sungai yang jernih. Ia buru-buru melepaskan tas punggungnya, berlari, lalu melompat ke dalam air.

Byuuurr!

Untuk beberapa saat ia sengaja menenggelamkan diri, menikmati sensasi dingin sungai menyentuh kulitnya. Ketika muncul ke permukaan air, Momon bergumam sendiri, “Ah, segar sekali ….”

Momon tersenyum lebar, kemudian kembali berenang ke sana kemari dengan riang gembira, sampai lupa waktu kalau matahari hampir tenggelam. Tiba-tiba Momon menghentikan berenangnya, karena mendengar suara berisik. Mata Momon mulai memandangi sekeliling sungai. Ia penasaran suara berisik apa itu.

“Hai, tasku jangan dibuat mainan!” teriak Momon, ketika melihat dua anak berang-berang yang sedang memainkan tasnya.

Kedua hewan kecil itu terkejut mendengar teriakan Momon yang masih di dalam sungai.

“Hai, kalian … tasku jangan dibawa pergi!” Momon bergegas keluar dari dalam air, lalu mengejar dua anak berang-berang itu.

Kedua anak berang-berang itu berlari semakin cepat, mereka menyeberangi sungai melalui jembatan yang berasal dari pohon yang sudah tumbang.

Momon pun sekuat tenaga mengejar mereka, karena ia tidak ingin kehilangan peta satu-satunya yang diberikan oleh Kakek Kera. Jika Momon tidak bisa mendapatkannya, berarti ia tidak bisa menuju puncak gunung itu dan tentu ibunya tidak bisa sehat kembali.

“Anak-anak, berhenti!”

Tiba-tiba terdengar suara teriakan yang membuat dua hewan kecil itu berhenti seketika.

“Apa itu tas kamu, Nak?” tanya seekor berang-berang ketika melihat monyet muda ada di belakang anak-anaknya.

“I-ya, Bu,” jawab Momon sambil berusaha mengatur napasnya yang naik-turun.

“Anak-anak, kemari,” berang-berang kecil itu berjalan dengan menunduk menuju sang Ibu, “berikan tasnya kepada kakak itu dan minta maaflah.”

Anak berang-berang yang membawa lari tas punggung Momon, dengan berat hati mengembalikannya pada Momon dan berkata, “Ini, Kak, tasnya. Maafkan kami, ya.”

Momon menerima tasnya kembali sambil tersenyum kepada mereka berdua. Kemudian, Momon mendongakkan kepala memandang ke langit, ia baru menyadari bahwa hari telah berganti malam, terlihat banyak bintang-bintang yang berkelap-kelip, indah sekali. Penasaran melihat ekspresi takjub Momon, dua anak berang-berang itu meniru apa yang dilakukan Momon, ibu berang-berang tersenyum.

“Oya, namamu siapa, Nak?” tanya ibu berang-berang yang membuat Momon mengalihkan pandangannya.

“Momon, Bu,” jawab Momon.

“Kamu mau ke mana?” tanya ibu berang-berang saat memperhatikan tas punggung Momon.

“Mau ke puncak Gunung Merah,” jawab Momon.

“Jauh sekali. Sekarang hari sudah malam, menginap di sini saja, ya?” tawar ibu berang-berang.

Sejujurnya, ia sedari tadi belum memikirkan akan bermalam di mana, mendapat tawaran bagus seperti itu tentu saja tidak akan disia-siakannya. Momon mengangguk, kemudian mengikuti langkah ibu berang-berang dan dua anaknya.


Bersambung ….


Sidoarjo, 18 Maret 2021

Penulis dengan panggilan akrab Tias ini adalah seorang ibu dari dua putri cantik, Aisyah dan Shofia. Penulis saat ini sedang belajar membuat cerita anak. Cerbung anak berupa fabel ini adalah karya pertamanya. Semoga segera bisa dibukukan. Aamiin.

Penulis bisa dihubungi melalui Facebook Isnani Tias dan Instragam @t145.7055.

Editor: Fitri Fatimah

Leave a Reply