Kisah Momon
By: Isnani Tias
Part 1: Hutan Pohon Jati
Di pagi hari yang cerah, seekor monyet bernama Momon sedang duduk bersandar di dahan pohon jati dengan ekornya yang menggelantung. Ia melamun dan wajahnya terlihat bersedih. Ketika ada seekor burung kecil yang hinggap di dekat Momon pun, ia tidak sadar.
“Mon, ada apa?” tanya burung kecil itu yang penasaran. Karena biasanya Momon setiap hari selalu ceria dan suka menyapa siapa saja yang lewat di hadapannya.
Merasa namanya dipanggil, Momon mencari sumber suara berasal.
“Oh, kamu, toh, Pit,” kata Momon dengan suara pelan. “Kamu tadi tanya apa?” lanjutnya.
“Itu aku tadi tanya, kamu ada apa?” tanya Pipit lagi.
“Ibu Momon sakit. Badannya lemas, kalau makan selalu dimuntahkan dan demam.” Momon menjelaskan tetap dengan wajah murung.
“Sudah diberi obat?” kata Pipit sambil terbang mendekat ke hadapan Momon.
Momon menarik napas dan mengembuskannya perlahan. “Sudah diberi obat dari hutan kita ini,” jawabnya.
“Lalu apa yang akan kamu lakukan, Mon?” tanya Pipit yang mengkhawatirkan keadaan ibunya Momon.
Momon terdiam. Ia sedang memikirkan perkataan Kakek Kera semalam. Bahwa ada satu obat yang bisa menyembuhkan ibunya, tetapi untuk bisa mendapatkannya tidaklah mudah.
“Hai, Mon, kok malah bengong,” ucap Pipit sambil mengibas-ngibaskan sayapnya untuk menyadarkan Momon yang memiliki ekor panjang.
“Hah! Maaf.” Hanya itu yang keluar dari mulut Momon.
“Apa yang kamu pikirkan, sih?” Burung pipit berwarna kuning itu merasa temannya sedang memikirkan sesuatu. Entah apa itu?
“Hemm … kata Kakek Kera, ibu Momon bisa sembuh dengan daun dan buah dari pohon cantigi,” jawab si Momon.
Burung Pipit mengangguk, tetapi juga bingung. Sebab ia belum pernah mendengar tentang pohon cantigi tersebut.
Momon pun menjelaskan pada Burung Pipit segala informasi tentang pohon cantigi yang ia dapatkan dari Kakek Kera. Cantigi merupakan pepohonan kecil yang selalu hijau sepanjang tahun dengan pucuk dedaunan yang berwarna merah-ungu. Buahnya berbentuk seperti buah beri warna hitam. Rasa sedikit manis, pahit, dan berserat. Hidupnya di puncak gunung.
Burung Pipit mengangguk saat mendengarkan penjelasan tentang pohon cantigi sambil membayangkan bentuk daun dan buahnya.
Setelah Momon menceritakan keadaan ibunya kepada Burung Pipit, ia berpamitan untuk kembali pulang ke rumahnya yang masih di sekitar hutan pohon jati.
Momon melompat dan bergelantung dari dahan satu ke dahan lainnya. Sesekali, ia turun ke tanah dan berlari. Sesudah melewati beberapa pohon jati, akhirnya Momon sampai ke rumah yang terbuat dari tumpukan kayu yang tersusun rapi.
“Ibu … Ibu …,” panggil Momon ketika masuk dalam rumah.
“Ssst … pelankan suaramu, Mon,” kata Bibi Kera sambil jari telunjuk menempel di bibirnya, “ibumu baru saja tertidur.”
Momon mengangguk, lalu ia mendekati tempat tidur ibunya yang terbuat dari kayu dan beralaskan rumput-rumput kering.
Bibi Kera memegang bahu Momon dan mengusap-usapnya, untuk memberi kekuatan, serta menunjukkan bahwa monyet muda ini tidak sendiri.
“Mon, Bibi pulang dulu, ya? Nanti Bibi akan kembali lagi membawakan makan malam untuk kamu dan ibumu,” pamit Bibi Kera sambil merapikan selimut ibunya Momon.
“Iya, Bi, terima kasih sudah membantu menjaga dan merawat ibuku,” ucap Momon dengan memberikan senyuman.
Setelah Bibi Kera meninggalkan rumahnya, Momon memandangi wajah ibunya tersayang dengan tatapan sedih. Ia berharap, sang ibu kembali sehat dan bisa tersenyum serta bisa bermain dengannya lagi.
“Aku harus bisa mendapatkan obat itu, agar Ibu cepat sembuh,” kata Momon dalam hati.
Momon pun tertidur sambil memeluk sang ibu. Tidak terasa matahari mulai terbenam. Terdengar suara pintu terbuka, tetapi monyet muda berbulu abu-abu itu masih terlelap. Langkah kaki mulai mendekati Momon.
“Mon, bangun,” bisik Bibi Kera setelah meletakkan beberapa makanan di atas meja.
Si Momon perlahan membuka matanya, sambil mengangkat kedua tangannya ke atas.
“Sana cuci muka dulu, biar segar. Habis itu makan,” ucap Bibi Kera sambil menyiapkan makanan untuk ibu Momon.
Momon mengangguk, lalu beranjak dari tempat duduknya dan berjalan dengan malas. Sebetulnya ia masih mengantuk, karena beberapa hari ini Momon kurang tidur.
Beberapa menit kemudian, Momon kembali menemui Bibi dan sang ibu. Wajah Momon sudah terlihat segar. Lantas, ia segera mengisi perutnya yang sedari tadi sudah berbunyi.
“Pelan-pelan kalau makan, Mon. Nanti tersedak.” Bibi Kera mengingatkannya ketika melihat monyet muda itu makan dengan terburu-buru.
Hari sudah larut malam, Bibi Kera berpamitan untuk kembali pulang setelah merapikan meja makan.
***
Sinar matahari masuk melalui celah-celah rumah Momon, secercah cahaya mengenai tubuh sang ibu. Jemari ibu si Momon mulai bergerak. Matanya perlahan terbuka dan dilihatnya anak semata wayangnya yang masih tertidur pulas.
“Sudah bangun.”
Suara Bibi Kera mengejutkan ibu si Momon. Dia tidak tahu jika ada Bibi Kera di dalam rumahnya. Sejak ibunya Momon jatuh sakit, Bibi Kera selalu datang menjenguk setiap hari. Mereka berdua sudah dianggap sebagai keluarga sendiri oleh Bibi Kera.
“Bibi, Mona bisa minta tolong? Mona haus,” ucap lirih ibu si Momon.
“Tunggu sebentar. Bibi tuangkan air hangat dulu,” jawab Bibi kera.
Ibu si Momon dibantu duduk bersandar di dinding kayu oleh Bibi Kera. Kemudian, barulah dia minum air hangat tersebut. Bibi Kera dengan penuh kesabaran merawat ibunya Momon.
Mereka mulai berbincang mengenai kondisi kesehatan ibunya Momon. Percakapan yang cukup berisik, mengusik Momon hingga membuatnya terbangun. Ia mengucek kedua matanya dan mulutnya menguap lebar.
“Ternyata sudah ada Bibi,” kata Momon sambil beranjak dari tempat tidurnya yang bersebelahan dengan ranjang sang Ibu.
“Segeralah mandi, mumpung masih pagi,” ucap Bibi Kera sambil mengusap-usap punggung Mona, dengan menggunakan kain yang sudah dibasahi.
Tanpa membantah, Momon beranjak keluar untuk membersihkan diri. Beberapa menit berselang, tiba-tiba terdengar ada yang mengetuk pintu.
Tok-tok-tok!
Bibi Kera bergegas untuk membukakan pintu dan tersenyum hangat ketika mendapati yang datang adalah Kakek Kera.
“Bagaimana keadaanmu, Na?” tanya Kakek Kera sambil berjalan menggunakan tongkat untuk menompang badannya yang besar.
“Masih lemas, Kek,” jawab Mona.
“Bagaimana tak lemas, makan saja cuman sedikit,” timpal Bibi Kera.
“Mulut Mona pahit, jadi tidak enak untuk makan,” ucap Mona dengan mata sayu.
Saat tengah bercengkerama bersama, Momon muncul dari balik pintu, wajahnya sudah tampak segar sehabis mandi. Ia berjalan ke arah ibunya, lalu duduk di ranjang sang ibu, Momon berkata, “Ibu, aku mau minta izin pergi ke puncak gunung. Untuk mencari obat buat Ibu, biar cepat sembuh.”
“Kamu tak perlu ke sana. Ibu minum obat dari hutan ini saja, sudah cukup,” ucap sang ibu.
“Iya, Mon. Tempatnya juga jauh sekali dan bahaya,” kata Bibi Kera.
“Tapi, cuma obat itu yang paling manjur, Bu. Ayolah … boleh, ya? Momon tidak bisa terus-terusan melihat Ibu terbaring lemah seperti ini,” bujuk Momon dengan wajah memelas. Berharap sang ibu mau mengizinkannya untuk pergi ke gunung.
“Biarlah dia pergi ke sana. Ayahnya waktu muda juga suka bertualang,” kata Kakek Kera.
“Percayalah, Momon akan baik-baik saja,” lanjutnya untuk menyakinkan Mona.
Usai mempertimbangkan dengan matang dan juga karena nasihat dari Kakek Kera, sang ibu dengan berat hati mengizinkan Momon pergi ke puncak gunung.
Bersambung ….
Sidoarjo, 11 Maret 2021
Penulis dengan panggilan akrab Tias ini adalah seorang ibu dari dua putri cantik, Aisyah dan Shofia. Penulis saat ini sedang belajar membuat cerita anak. Cerbung anak berupa fabel ini adalah karya pertamanya. Semoga segera bisa dibukukan. Aamiin.
Penulis bisa dihubungi melalui Facebook Isnani Tias dan Instragam @t145.7055.
Editor: Fitri Fatimah