Cintaku dan Restu-Mu
Oleh : Zuya
Pernah sakit hati karena seorang lelaki? Aku sudah. Sakit yang begitu dalam karena kaum adam. Apakah rasa sakitnya masih ada? Ah, rasa pedih itu masih membekas, sangat sulit aku hilangkan.
Cerita luka yang selama ini kupendam, telah ditoreh begitu perih oleh lelaki yang amat kupuja. Jahat sekali dia. Setelah kuberikan cinta, dia malah meninggalkan jasad dan hatiku tanpa pernah menoleh untuk mengharap kembali.
Nama lelaki itu adalah Adi. Jangankan membayangkan wajahnya, menyebutkan namanya saja hatiku seakan dilempar granat yang siap meledak. Rasa sakit yang dia beri seperti tak ada obatnya.
Aku membencimu, Adi.
Aku ingat betul kejadian pada malam itu. Di bawah rintik hujan yang masih setia membasahi bumi, Adi memacu motor bebeknya yang berwarna hitam pekat membelah jalanan, sementara aku hanya bisa diam—duduk di belakang—sambil mengeratkan jaket yang sudah menutupi badan. Dinginnya tetesan hujan berpadu dengan angin malam.
Sungguh kasihan Adi yang susah payah harus mengantarkanku pulang, padahal sebelumnya sudah kukatakan bahwa bisa pulang sendiri, tetapi Adi malah tak menghiraukan.
“Alhamdulillah, sampai juga,” ucap Adi setelah menginjak rem lalu menurunkan kedua kaki di halaman rumahku.
“Apakah mau langsung pulang?” tanyaku.
“Lebih baik masuk dulu, nanti aku buatkan teh hangat.”
Sekilas Adi melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kanan. “Terlalu malam. Lebih baik aku pulang.” Sempat ada jeda pada kalimatnya, aku menangkap perilaku yang sedikit aneh. “Dinda, sepertinya ini akan menjadi pertemuan terakhir kita.”
Aku sontak mengernyitkan dahi. Apa maksud kalimatnya? Aku benar-benar tidak mengerti.
“Ada apa sih, Di?” tanyaku seraya menatap sepasang matanya yang teduh.
Adi mulai mengambil napas panjang lantas mengembuskannya secara kasar. “Cerita kita sepertinya cukup sampai di sini. Mama dan Papa sudah menjodohkanku dengan anak teman mereka. Aku benar-benar tidak bisa menolak permintaan orangtuaku. Kamu tahu sendiri, aku sangat menyayangi mereka.”
“Lalu, bagaimana denganku? Kamu jangan egois!” bentakku.
“Karena itu aku putuskan hubungan kita cukup sampai sini.” Adi mengucapkan kalimat itu tanpa menatap wajahku. Dia masih menunduk memandangi tanah yang basah karena diguyur hujan.
“Kamu benar-benar jahat, Di. Mulai sekarang jangan lagi menghubungiku!” Tanpa ambil tempo, aku beranjak meninggalkannya. Memasuki rumah, dan menutup pintu dengan keras agar dia tahu bahwa emosiku sudah sangat memuncak.
Sesampainya di dalam, kusibak tirai jendela yang menampilkan sosok Adi sedang tertunduk lesu. Lantas beberapa waktu kemudian, dia kembali menyalakan mesin motor dan membelah jalanan menjauh dari rumahku.
Kupandangi punggung lelaki yang mulai menjauh itu dengan tatapan nanar. Rasa sesak memenuhi dada. Setengah mati kutahan air mata yang hendak menerobos. Namun, pertahanan yang kubuat akhirnya sia-sia juga.
Kutekan dada dengan tangan, menghalau rasa sakit yang semakin pedih menusuk. Nasib cintaku kini telah berakhir. Perjalanan kasih selama tiga tahun, kini sudah tidak lagi memiliki arti.
Aku membencimu, Adi.
Selepas kejadian itu, aku langsung merombak dan membongkar seluruh isi kamar. Semua barang pemberian Adi, aku lenyapkan. Sesak rasanya melihat benda-benda itu masih ada di sini. Seperti kembali mengoyak luka yang masih belum bisa sembuh sempurna.
Beberapa boneka tokoh kartun Winnie The Pooh pemberian Adi, aku berikan pada adik sepupu yang baru saja menginjak sekolah taman kanak-kanak. Tentu saja senyum indah mengembang sempurna dari wajah cantiknya.
“Terima kasih, Kak Dinda,” ucapnya sembari memeluk erat boneka yang kini telah sah berganti kepemilikan.
“Jaga baik-baik bonekanya,” pesanku pada gadis kecil bernama Faiza. Dia mengangguk semangat dan berlalu meninggalkanku menuju kamar.
***
Langit senja seperti tidak ada habisnya untuk dinikmati. Dari tanah yang berbeda, tapi semua masih tampak sama. Bedanya, di sini suara bising macet dan lalu-lalang motor sangat jarang aku temui.
Usai wisuda, aku memutuskan untuk merantau ke Pulau Kalimantan. Mencipta jarak dengan semua anggota keluarga dan memulai kehidupan bersama orang baru ternyata tidaklah mudah.
Rindu? Tentu saja. Terlalu lama kupendam, hingga berteriak meminta untuk dituntaskan. Tanah yang aku pijak selama satu tahun terakhir memang sudah berbeda, tapi langit yang aku tatap masih sama seperti yang dulu. Seperti senja kali ini yang berhasil menghadirkan memori seputar Kota Jakarta yang sudah sangat lama ingin aku datangi.
Tak dapat kumungkiri, ingatan tentang Adi juga masih melekat. Segala cara aku lakukan untuk bisa membuang rasa dan kenangan tentangnya, tetapi selalu saja berakhir sia-sia.
Aku membencimu, Adi.
Sihir apa yang dia berikan hingga aku menjadi budak cinta seperti ini? Susah payah aku meninggalkan Jakarta dengan harapan bisa memulai kehidupan kembali, tapi nyatanya semua tentangnya selalu hadir bagai puzzle yang tersusun keping demi keping hingga membentuk gambaran masa lalu yang tak bisa diulang kembali. Menyesakkan dada, itulah yang terjadi sesudahnya.
Ponselku bergetar. Secepat kilat kugapai ponsel yang terletak di atas nakas. Memandang notifikasi di sana. Ternyata pesan dari Mama. Wanita paruh baya itu hampir setiap hari menghubungiku, dari sekadar chat, telepon, bahkan video call hingga satu jam lamanya. Kasihan, dia masih sangat berat melepas putri bungsunya ini di tanah perantauan.
Kapan kamu pulang?
Lusa, Ma. Nanti kalau Dinda pulang, jangan lupa buatkan sop ayam jamur seperti biasa.
***
Usai memasukkan barang belanjaan, dengan sigap aku membuka pintu mobil untuk segera masuk. Tiba-tiba niatku tertahan saat Rahma—adik Adi—menghampiri.
“Kak Dinda, apa kabar?” tanya Rahma.
Aku benar-benar tidak menyadari keberadaan wanita yang memiliki selisih umur dua tahun denganku ini. Sekian lama tidak bertemu, wajah imutnya masih tidak berubah.
“Baik,” jawabku. “Kamu sendiri, bagaimana kabarnya?”
“Alhamdulillah, baik. Sudah lama sekali Rahma enggak ketemu Kak Dinda. By the way, Kakak sama siapa?”
“Sama Mama. Tuh, lihat!” Kutunjuk Mama yang sedang berjalan mendekat ke arah kami. “Dek, kalau boleh tahu bagaimana kabar kakakmu sekarang? Dia sudah menikah?”
Kulihat wajah Rahma langsung berubah menjadi pucat. Beberapa detik dia terdiam. Dapat kurasakan napasnya yang mulai memburu. “Kakak ikutlah denganku nanti sore,” ajaknya.
***
Setelah mengantar Mama pulang, aku langsung tancap gas ke tempat yang telah dijanjikan Rahma. Sesampainya di tempat tujuan, kulihat Rahma sudah berdiri tegap untuk menyambut.
“Kenapa kamu memintaku kemari?” tanyaku.
“Kak Adi sedang menunggu Kak Dinda,” jawabnya.
Aku sontak mengernyitkan dahi. Sebentar … kalau ingin bertemu kenapa harus di tempat seperti ini?
Aku hanya mengikuti langkah Rahma yang ada di depan. Kini kami sudah sampai pada sebuah pohon besar yang menaungi badan. Walau cuaca cukup terik, tapi dengan berada di sini aku cukup terlindungi.
“Aku tinggalkan kalian.” Rahma beranjak meninggalkan aku dan Adi yang sedang sama-sama diam. Kupandangi punggung Rahma yang mulai menjauh dimakan jarak, lantas mengalihkan tatapan pada dia, Adi. Berada di depannya, membuat lukaku seakan kembali terbuka, dan lebih parahnya luka itu kini semakin dalam.
“Aku membencimu, Adi,” ucapku dengan bibir bergetar, sementara Adi hanya diam. Pelupukku memanas dan kemudian digenangi air mata. Dada pun terasa sangat sesak karena menahan sakit yang menerjang. Kugigit bibir bawah sambil mengendalikan emosi.
“Asalkan kau tahu, hampir mati aku gara-gara perlakuanmu malam itu yang memutuskanku dengan semaunya. Kau orang yang jahat, Di. Jangan salahkan aku jika kali ini bukan cinta yang tersisa, tapi benci yang sudah memuncak hingga ubun-ubun. Sekarang, kenapa kau malah diam?”
Apakah dia menjawab pertanyaanku? Tidak. Dia masih bergeming.
“Adi, apa yang harus aku lakukan sekarang?” Air mata yang sedari tadi kutahan, kini telah jatuh membasahi pipi.
Kuhirup oksigen hingga memenuhi rongga dada, tapi nyatanya sesak ini masih tak dapat mereda. Kutatap dia dengan nanar. Tak ada sedikit pun kalimat yang kuterima darinya. Apa yang bisa kulakukan? Saat ini aku hanya bisa memandang nisan bertuliskan namanya; Muhammad Adi Wijaya.
Kugenggam erat sebuah kertas yang sebelumnya diberikan Rahma. Aku belum sempat membaca apa yang tertulis di kertas itu. Perlahan kubuka dan membacanya dengan saksama.
Dinda, apa pun yang terjadi kemarin dan hari ini, berjanjilah bahwa kau akan selalu melangkah untuk hari esok. Segenap cinta untukmu telah kubawa hingga akhir hayat hidup ini. Kau pantas untuk bahagia, walau bukan bersamaku.
Kekasihmu, Adi.
Tanganku bergetar hebat. Linangan air mata seakan tak bisa berhenti. Air mata ini cukup menjadi cara mengatakan kepada dunia tentang rasa sakit yang teramat perih.
Ya Allah, sesakit ini kenyataan yang kuhadapi. Cintaku dan restu-Mu ternyata tidak bisa bersatu.(*)
Zuya, seorang wanita yang gemar minum kopi dan sangat menyukai bintang. Aktif membagi review buku dan novel pada media Facebook dan instagram. Dapat ditemui di sana dengan nama Zuhliyana.
Editor : Inu Yana
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata