Cinta Abadi

Cinta Abadi

Cinta Abadi

Oleh: Ika Marutha


Pada zaman dahulu kala, dia adalah laki-laki paling bahagia. Siapa yang tidak bahagia, jika seorang Lady Jean yang jelita menjadi istrinya? Bahkan saat mereka berdua berjalan bersama, bulan pun cemburu.

Lady Jean pandai dan sangat suka menari. Dia akan berputar bagai balerina setiap kali laki-laki itu memainkan lagu-lagu indah dengan grand pianonya. Malam tak pernah berlalu tanpa musik dan gerak.

Namun, tak ada kebahagiaan yang abadi. Suatu saat Lady Jean sakit, kakinya melemah. Jangankan menari, sekadar melangkah saja dia tak kuasa.

Di saat-saat terakhirnya, wanita malang itu berkata, “Kekasihku, aku bisa merasakan ragaku tak lagi mampu menopang jiwaku.”

Laki-laki itu kemudian menggenggam erat tangan istrinya dan berkata, “Andai aku dapat memberi separuh napasku padamu, kekasihku yang manis ….”

“Maafkan aku, jangan berduka terlalu lama karenaku. Aku akan menemuimu di kehidupan selanjutnya. Saat itu, aku akan menjadi lebih kuat dan kita akan menua bersama.”

Tak lama setelahnya, Lady Jean pun pergi meninggalkan kekasihnya sendiri. Ribuan bunga mengiringi upacara pemakamannya. Langit ikut muram dan matahari menyembunyikan sinarnya.

Laki-laki itu menghabiskan 300 hari untuk menangis dan 450 hari untuk mengutuk. Di malam ke-1000, saat bulan berwarna merah darah, dewa menjawab kutukannya dengan mengubahnya menjadi mahluk abadi, Vampir.

***

Beratus tahun berlalu, laki-laki yang sudah menjadi vampir, masih setia menanti kelahiran kembali Lady Jean. “Jeanku yang manis, beri aku pertanda keberadaanmu.” Si Vampir memohon entah kepada siapa.

Angin yang jatuh iba, terharu oleh penantian panjang si Vampir. Angin pun menghembuskan berita baik. Lady Jean ada di kota yang sama. Tapi dia bukan Lady Jean yang dulu pernah bersanding dengannya.

Namanya kini adalah Maura. Pipinya merona penuh kehidupan. Tawanya lepas dan bicaranya cepat. Tidak seperti Lady Jean, meski wajahnya sama.

Si Vampir jatuh cinta lagi. Baginya, Maura adalah Lady Jean versi yang lebih kuat. Sebab, dia pun pandai menari. Lihatlah, caranya berputar! Hanya Lady Jean yang memiliki gaya menari seperti itu, demikian pikirnya.

Diam-diam, Si Vampir mengikuti Maura. Dia mengintip dari balik jendela kelas menari Maura, tersenyum melihatnya menari dengan indah. Setiap hari, dia tak pernah absen menyelipkan setangkai mawar di loker sepatu Maura.

“Mawar lagi? Jangan katakan padaku kalau itu perbuatan Hans. Aku tahu pasti tipe seperti apa kakakku itu. Amat sangat tidak romantis!” Lily, sahabat karib sekaligus adik dari tunangan Maura, tak bosan menggodanya setiap kali ada mawar di sana. “Kau punya penggemar rahasia.”

Maura tersenyum, dia tahu itu bukan dari Hans. Dikecupnya kelopak mawar dengan lembut. Aromanya membangkitkan kenangan lama yang tidak bisa dia ingat.

“Bye, Lily! Aku sudah terlambat menemui Hans.” Maura dan Hans sudah membuat janji untuk mengepas gaun pengantin di butik sore itu.

Si Vampir bukannya tak tahu wanita yang dicintainya akan menikahi pria lain. Namun setelah ratusan tahun hidup merana dalam kesendirian, hal sekecil apa pun sudah cukup baginya untuk merasa bahagia. Seperti misalnya, melihat Maura menyimpan mawar pemberiannya.

Si Vampir mengawasi langkah Maura. Dia memastikan dirinya berada dalam jarak yang cukup. Cukup dekat untuk melihat sosok wanita itu, sekaligus cukup jauh untuk bisa disadari kehadirannya. Dia tak mau Maura melihatnya. Tidak dengan sosoknya yang sekarang. Seorang monster!

Maura berjalan setengah berlari. Dia terlalu sibuk memperhatikan jam tangannya sampai mengabaikan lalu lintas. Klakson dibunyikan, pejalan kaki lainnya berteriak, lampu sorot mobil tiba-tiba menghadang matanya. Terlambat sudah! Dia tak sempat menyingkir dari jalanan. Setangkai mawar terlempar ke udara.

Beberapa saat sebelum kendaraan besi itu menabrak, sesosok tubuh dingin memeluknya, memberi perlindungan dari segala macam rasa sakit yang mungkin dapat menimpanya.

Maura membuka mata dan melihat sosok Si Vampir. Pandangan keduanya bertemu, mengungkap kisah ratusan tahun lalu, bahwa ada masa ketika mereka pernah saling cinta.

“Nona, kau tidak apa-apa?” Petugas polisi datang memeriksa.

Perhatian Maura teralihkan. “Aku tidak apa-apa, tapi dia ….”

Sosok Si Vampir menghilang. Maura mencari, tapi sia-sia. Dia sudah pergi. (IM)


Ika Marutha, alumni Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret angkatan tahun 2000, mulai aktif menulis setahun terakhir. Beberapa cerpennya pernah dibukukan dalam antologi bersama penulis lainnya.

Editor: Imas Hanifah N

Leave a Reply