Rumah Nenek (Tamat)
Oleh : Lusiana Mak Serin
“Ayaaah!” teriakku panik, segera keluar kamar mandi sembari berlari. Tawa menyeramkan menggema. Entah mengapa rasanya jalan ke ruang tengah terasa panjang, padahal aku sudah berlari sekuat tenaga.
“Ayaaah!” Kembali aku berteriak sekuat tenaga. Begitu masuk di ruang tengah, pemandangan yang tertangkap mata menyeramkan. Makhluk hitam seperti yang ada di kamar mandi ternyata sudah ada di sana, bahkan mencoba mendekati. Aku menghindar dengan masuk ke dalam kamar. Segera kukunci pintu dan mencoba bersembunyi di sudut ruangan. Tapi ternyata makhluk tersebut sudah ada di sudut ruangan sembari menyeringai. Ketakutan menguasaiku.
Sosok tersebut semakin mendekat. Kulempar apa saja yang terjangkau tangan sembari menjerit. Pintu kamar digedor keras, membuatku terlonjak. Makhluk itu semakin mendekat, pintu kamar juga digedor tak berhenti. Panik. Makhluk itu semakin mendekat, ketakutan memuncak, tapi rasanya badanku lemas. Tiba-tiba pandanganku mengabur, lalu gelap.
Samar aku mendengar suara-suara. Gelap. Terdengar isak tangis seseorang, seperti suara Ibu. Berusaha membuka mata, tapi rasanya berat. Samar, tertangkap pandangan seseorang duduk di sebelah tempat tidur. Setelah jelas, ternyata Ibu. Beliau terlihat menyeka air mata.
“Bu,” panggilku lirih. Tenggorokan rasanya kering.
“Kamu sudah sadar, Nduk?” Segera Ibu memeluk erat.
“Bu, Dya minta minum,” ujarku susah payah. Segera Ibu beranjak keluar kamar. Ada Ayah yang langsung mendekat.
“Dya, kamu ingat apa yang terjadi?”
Aku mengingat-ingat hal terakhir yang kulihat.
“Dya tadi mau mandi, Yah, tapi ada sosok makhluk hitam sedang duduk di tembok kamar mandi. Ketika lari ke ruang tengah, ternyata lebih banyak makhluk tersebut. Bahkan salah satunya berusaha memegang Dya. Dya sembunyi di kamar, ternyata ada satu sosok hitam itu. Dia mau pegang Dya, setelahnya gelap.” Aku menceritakan semua yang kuingat.
Tak lama, Ibu datang membawakan segelas penuh air.
“Minum pelan-pelan, Nak,” ujar Ibu padaku. Segera kuteguk air dalam gelas yang disodorkan Ibu. Segar rasanya.
“Kamu ingat kenapa tenggorokanmu terasa kering?” tanya Ayah lagi. Aku hanya menggeleng.
“Kan, Dya sudah bilang tadi, Yah. Hal terakhir yang Dya ingat hanya sosok hitam itu semakin mendekat.”
“Kamu tahu kalau tadi teriak-teriak, menyumpahi Ayah, Ibu, bahkan mbakmu juga adikmu? Bahkan Nenek. Semua yang di rumah ini tak ada yang luput,” kata Ayah menjelaskan.
Aku terdiam. Bagaimana mungkin bisa aku tak ingat apa yang kuperbuat juga kuucap tadi?
“Kau tahu artinya, Nduk? Kamu ada yang merasuki. Kesurupan istilah kerennya.” Sungguh perkataan Ayah membuat diri ini bergidik ngeri.
Dirasuki? Bagaimana bisa?
“Kau mengatakan keluarga kita akan binasa. Bahkan kau juga mengatakan, dirimu adalah utusan Bi Darmi,” lanjut Ayah.
Bengong mendengar perkataan Ayah. Bagaimana bisa? Kulihat Nenek datang membawa segelas teh hangat.
“Minumlah dulu, Nduk,” ujar beliau, mengangsurkan teh. Mbak Lova juga Pram berdiri di ambang pintu, menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan.
“Dya, jangan pernah membiarkan pikiran kita kosong, ataupun takut berlebihan pada makhluk yang sudah jelas dia di bawah manusia. Belajar berani, jangan pernah takut, tapi juga jangan takabur,” nasihat Ayah padaku. Aku hanya bisa mengangguk.
Sejak kejadian itu, Ayah berusaha keras lebih sering mengundang ustaz temannya ke rumah walaupun tidak diadakan pengajian. Bahkan, sudah tiga hari ini setiap sebelum maghrib beliau sudah sampai rumah. Setelah sholat Maghrib berjemaah, kami akan bersama-sama membaca Al-Qur’an, terutama ayat-ayat untuk rukiah. Setiap membaca pula, pasti ada saja gangguannya. Entah itu suara tawa, pintu atau jendela yang digedor tak berhenti, suara tapak kaki di atas rumah, bahkan terkadang suara seperti lemparan batu di dinding rumah.
Tiga hari ini pula, aku tak bisa ikut lembur. Aku menceritakan kondisi rumah juga masalah yang menimpa kami pada Kak Dhisti juga Kak Aira. Mereka maklum. Apalagi tiga hari ini tak bisa lembur, mereka yang mencarikan alasan. Sungguh benar-benar melelahkan rasanya. Urusan ini juga tak bisa dianggap remeh. Heran juga kenapa seorang Bi Darmi bisa sedendam itu pada keluarga kami. Sampai kapan dia akan menyimpan dendamnya?
Ini hari keempat. Untunglah tak ada lembur. Aku bergegas pulang. Dalam perjalanan pulang, sekelebat mata ini menangkap sosok Bi Darmi yang berjalan perlahan di trotoar sembari membawa bungkusan yang ada dalam dekapannya. Segera kutelepon rumah, mengabari Ayah. Ayah meminta untuk mengikuti dalam jarak aman. Jangan sampai tertangkap karena nanti pasti timbul masalah. Ayah berpesan untuk menunggu sampai beliau datang, begitu kata Ayah. Setelah mengirim lokasi, perlahan aku mengikuti sosok sepuh tersebut.
Bi Darmi terlihat berjalan ke arah jalan yang lebih kecil. Tubuhnya terlihat ringkih, walau di dalam tubuh itu tersimpan dendam yang menakutkan. Menunggu Ayah datang rasanya lama sekali. Ketakutan mulai menyelimuti. Takut ketahuan karena Bi Darmi bukan orang yang gampang kasihan. Setelah membuntuti lebih dari seperempat jam, aku melihat dia masuk ke dalam rumah yang terpisah dari yang lain. Tempatnya agak tersembunyi, bahkan dikelilingi pohon-pohon rimbun.
Setelah tahu tempat tinggalnya, aku pelan-pelan pergi dari sana. Jangan sampai tertangkap, karena pasti berbahaya. Menunggu Ayah di jalan besar saja lebih aman. Tak lama aku sudah bertemu Ayah yang berboncengan dengan seorang teman.
“Kamu pulang saja, Dya, biar Ayah dan teman Ayah yang ketemu Bi Darmi,” ujar Ayah.
Aku menurut. Setelah menunjukkan arah ke rumah Bi Darmi, aku segera tancap gas untuk pulang.
***
Sesampai di rumah, ternyata ustaz yang lain ada di rumah, karena kulihat beliau sedang duduk sembari mengajari Pram mengaji. Entah mengapa suasana petang ini terasa beda. Ada sesuatu yang akan terjadi sepertinya.
Selesai sholat Maghrib berjemaah, kami bersama membaca ayat rukiah. Baru beberapa ayat, tiba-tiba pintu ruang tamu terbanting membuka, membuat kami semua terlonjak kaget. Di sana berdiri sosok perempuan yang beberapa waktu lalu kulihat di pengajian pertama. Dengan tiba-tiba sosok itu berlari masuk ke dalam rumah sembari berteriak. Kami berhamburan.
“Jangan berdiri, jangan takut, dia tak akan bisa menyentuh kita. Percaya pada Allah!” seru Pak Ustaz, membuat kami kembali duduk di tempat masing-masing. Sungguh jantung ini berdegup kencang.
“Mari kita lanjutkan bacaan kita, persiapkan diri akan ada lebih banyak lagi gangguan,” begitu kata ustaz yang mendampingi kami. Sepertinya malam ini memang kami harus mempersiapkan diri.
Ketika melanjutkan bacaan, makhluk tersebut berteriak kesakitan, melolong meminta kami menghentikan bacaan, tapi kami tetap melanjutkan.
Tak lama, hadir lagi sosok hitam yang dulu sempat membuatku ketakutan setengah mati. Tidak hanya satu, tapi banyak sekali. Memenuhi ruang tamu, berdiri berdesakan. Makin lama makin banyak. Bahkan ada yang bergelantungan di kap lampu. Tak ada yang berani melangkah ke ruang tengah tempat kami mengaji. Ada hal yang membuat bergidik, yaitu semua sosok hitam itu menatap ke arah yang sama, ke arah kami. Sungguh benar-benar menguji nyali.
Berusaha untuk tidak terganggu, Ibu menyetel speaker murotal dan meletakkannya di atas meja ruang tengah. Setelahnya terjadi hal di luar dugaan. Baru melantunkan surat Al-Baqarah, tiba-tiba speaker tersebut volumenya mengecil, membesar, begitu terus sampai beberapa saat. Tanpa diduga benda mungil itu tiba-tiba terlempar ke udara lalu menghantam tembok dengan keras dan hancur.
“Jangan takut. Itu menunjukkan kalau mereka merasa tak sanggup mendengar ayat suci Al-Qur’an, lanjutkan bacaannya. Berdoa semoga Ustaz Umar juga ayah kalian berhasil menyadarkan orang yang mengirim makhluk-makhluk ini.” Ustaz Saleh menyemangati kami.
Kembali kami lanjutkan bacaan. Satu per satu makhluk yang tadi berdiri berjejalan di ruang tamu lenyap, berganti angin yang berembus kencang di luar. Suaranya saja menakutkan, bahkan membuat bulu kuduk berdiri.
Gangguan tersebut tak berlangsung lama. Ketika dari jauh terdengar suara adzan Isya, perlahan angin yang tadi terdengar berputar di halaman menghilang. Kami mengembuskan napas lega.
“Mari jemaah Isya bersama!” ajak Ustaz Sholeh tersenyum.
***
Selesai berjemaah, tak lama ayah datang bersama Ustaz Umar. Terlihat lelah di wajah beliau berdua. Keduanya langsung menuju kamar mandi, kami menunggu di ruang tengah. Aku, Ibu, juga Mbak Lova mempersiapkan makan malam.
Semua siap, Ayah, Ustaz Sholeh, juga Ustaz Umar berdiskusi dengan suara rendah. Sepertinya serius.
“Ayah, Ustaz, makan dulu, yuk, sudah siap! Lesehan di bawah tak apa, ya?” ujar Ibu mempersilakan.
***
Selesai makan, Ayah akhirnya bercerita pada kami apa yang terjadi di rumah Bi Darmi.
“Tadi kalian diganggu?” begitu pertanyaan yang diajukan Ayah pada kami. Aku mengangguk.
“Itu kiriman Bi Darmi. Bahkan tadi beliau melawan kami dengan segala macam yang dibisanya. Tapi mungkin karena pengaruh usia atau entah tak tahu, ilmunya berbalik menyerang dirinya sendiri. Bahkan tadi sempat muntah darah bercampur paku juga silet sebelum akhirnya tak sadar.” Aku merinding mendengar cerita Ayah.
“Lalu sekarang gimana, Yah?” tanya Pram ingin tahu.
“Kami panggil ambulans. Entah nanti bagaimana. Kalau mau, besok kita jenguk bareng-bareng, gimana?”
Kami mengangguk setuju. Walau Bi Darmi sudah berbuat jahat pada kami, tapi beliau pernah menjaga Nenek. Bahkan sampai sekarang Nenek masih belum percaya kalau Bi Darmi bisa sejahat itu.
***
Pagi setelah subuh, ada telepon dari pihak rumah sakit yang mengatakan Bi Darmi kritis. Segera kami meluncur ke sana. Sesampai di rumah sakit, segera menuju ke ICU. Tak ada yang bisa kami lakukan selain melihat dari luar ruangan. Terlihat beberapa dokter juga perawat sepertinya sedang berusaha. Ada seorang nenek yang menangis tersedu di sebelah kami. Sepertinya itu ibu Bi Darmi.
“Kamu ibunya Darmi?” tanya Nenek tiba-tiba.
“Kamu pasti anaknya Handoko, orang yang membalikkan santet suamiku, yang membuat dia meninggal di tempat.” Tiba-tiba wanita berambut putih tersebut menjadi garang. Nenek mundur selangkah mendengar hal tersebut.
“Tolong, maafkan anakku Darmi. Kalau memang dia meninggal, biarkan dia meninggal dengan tenang. Tolong maafkan.” Wanita itu terlihat mengiba pada Nenek. Kami saling pandang.
“Kami tak akan di sini kalau tidak mau memaafkan Darmi,” ujar Nenek tegas. Wanita tersebut mengucapkan terima kasih beberapa kali.
“Sebenarnya aku yang salah. Meracun Darmi sampai sedemikian dendam pada kalian. Harusnya dendam ini kusimpan, tapi aku malah melibatkan Darmi. Maafkan, maafkan aku.”
Tak ada yang bisa kami lakukan selain berharap yang terbaik. Tak lama dokter keluar, mengatakan bahwa Bi Darmi tidak bisa diselamatkan. Ibu Bi Darmi langsung histeris. Ada satu penyesalan yang mengganjal, beliau belum bertobat ketika meninggal.
Itu merupakan pertemuan pertama juga terakhir kami dengan ibu Bi Darmi. Setelahnya, beliau seakan menghilang ditelan bumi. Tak pernah kami bertemu walau sekadar berpapasan di jalan. Entah ke mana beliau saat ini. Sejak Bi Darmi meninggal, rumah Nenek rasanya damai. Tak ada lagi gangguan yang membuat kami takut. Semuanya kembali seperti semula, bahkan sekarang rumah Nenek menjadi tempat paling nyaman untuk kami tempati.
Selesai.
Seorang wanita yang mem-branding diri dengan nama Lusiana Mak Serin yang menunjukkan bahwa dia seorang emak-emak. Walau begitu, tak ingin disebut tua, lebih suka dengan kata dewasa. Biasa menulis status gaje. Hanya saja beberapa tahun belakangan ini mulai mencoba serius dalam dunia kepenulisan. Mumpung ada di negara orang, ingin belajar dunia tulis menulis sebanyak-banyaknya. Karena tahu andai di rumah akan kesulitan membagi waktu. Untuk nama akun sosial media di FB atas nama Lusiana Ayuningtyas dan untuk IG atas nama Lusiana_Mak_Serin.
Editor : Lily
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata