Rumah Nenek (Part 4)
Oleh : Lusiana Mak Serin
Ada tambahan delapan orang yang ikut. Bersyukur ada tambahan orang, semoga pengajian hari ini banyak peminat, begitu doaku dalam hati. Kami berangkat beriringan. Kebetulan salah satu dari kami ada yang membawa mobil. Empat orang yang biasa menggunakan ojek online ikut ke dalam mobil, sedangkan aku dan beberapa senior pria menggunakan sepeda motor.
Begitu sampai rumah, hari sudah hampir maghrib. Begitu keluar dari mobil dan parkir, seorang senior mencolekku sambil terlihat kagum.
“Ini rumah kau? Bagus kali, ya. Dari dulu aku suka sama rumah peninggalan Belanda, tapi belum kesempatan bisa masuk ini. Untunglah awak tadi ikut kau,” kata Bang Togar dengan logat Medan yang khas sembari berdecak kagum.
“Ini bukan rumah Dya, Bang. Tapi rumah nenek Dya. Dya aja baru pindah ke sini karena sejak Kakek, meninggal Nenek tak ada temen. Hasilnya Dya sekeluarga pindah nemenin Nenek.”
“Wah, nanti awak bisa main ke sini, ya. Sejuk kali kelihatannya. Mana halaman luas, banyak pohon.”
Aku tertawa mendengar ucapan Bang Togar. “Dipersilakan, Bang. Kapan mau main, tinggal kasih tau aja. Ayo, Kak, masuk, udah mau maghrib, loh.”
Mereka segera ikut dan berjalan di belakangku. Ayah juga Nenek menyambut kami di pintu depan.
“Alhamdulillah, akhirnya kalian sampai juga. Perkenalkan, saya ayahnya Dya.” Ayah memperkenalkan diri sembari menjabat tangan temanku satu per satu.
“Hayuk masuk, udah mau maghrib. Maghrib bareng, yuk, imam sama ustaznya juga sudah datang!” ajak Nenek yang membuat Kak Bram juga Kak Sila menatap yang lain dengan pandangan bingung.
“Ppstt, Dya, ini mau ada pengajian, ya?” bisik Kak Sila, yang langsung kujawab dengan anggukan mantab.
“Katanya acara ulang tahun?” Terdengar nada protes dari Kak Bram yang membuat Kak Aira juga Kak Dhisti terkikik geli.
“Siapa bilang? Gak ada yang bilang Dya ulang tahun kok. Kan, kamu sendiri yang ngomong. Kita gak ngomong apa-apa.”
Kak Bram tak bisa menjawab, karena tadi memang dia yang bilang kalau aku ulang tahun, padahal aku tidak bilang apa pun.
“Tak apalah, Bram, sesekali kita datang ke pengajian beginikan seru juga. Jangan cuman ke karaoke aja, sesekali dateng ke pengajian bareng-bareng. Jangan takut laper, nanti ada jamuannya kok kata Dya,” ujar Kak Dhisti.
Dari kejauhan terdengar suara azan maghrib. Kulihat Ayah menyalakan lampu, terlihat halaman jadi terang. Kesan suram tak ada lagi, rasanya jadi meriah.
“Hayuk wudu, yuk! Dya tunjukkan tempatnya.”
“Tapi Dya, aku, Rumi, sama Manda gak bawa mukena, gimana? Lakik mah gampang, mereka udah pake celana panjang.”
“Tenang aja, Kak, kami sudah siapkan kok.” Aku menunjuk tumpukan mukena di sudut ruangan yang ditumpuk rapi. Di sebelahnya juga sudah ada tumpukan sarung.
“Wah, terniat,” ujar Kak Manda sembari mengacungkan jempol. Aku membalas dengan cengiran.
***
Segera kami sholat Maghrib berjemaah. Beberapa tetangga kanan kiri juga ikut berkat undangan Nenek. Setelah sholat Magrib berjemaah, teman Ayah yang seorang ustaz menyampaikan ceramahnya, bahkan mengajak para jemaah sedikit berdiskusi. Tapi tiba-tiba ….
Brak!
Aku terkejut, bahkan sampai terlonjak. Pintu ruang tamu terbuka lebar, padahal tadi sepertinya Pram sudah menutup rapat. Mataku menangkap sosok perempuan dengan rambut memutih menatap tajam kepada kami, berdiri dalam diam. Postur tubuhnya sedikit aneh. Antara pundak kanan dengan kiri tidak sama. Bahkan, tangannya panjang sampai paha. Bajunya lusuh. Aura menyeramkan langsung menyergap, dan dengan tiba-tiba lampu mati yang membuat jemaah menjerit. Sigap Ayah juga Pram menghidupkan lampu darurat yang sudah disiapkan. Begitu lampu darurat menyala, terdengar jeritan Mbak Lova yang membuatku panik.
Aku mengedarkan pandangan mencari keberadaan Mbak Lova. Terkejut ketika melihat sosok yang tadi ada di luar rumah sudah berdiri di depan salah satu jemaah perempuan. Itu Mbak Lova, wajahnya terlihat ketakutan. Dia beringsut mundur perlahan. Sepertinya hanya kami yang bisa melihat, karena jemaah lain terlihat menatap Mbak Lova dengan tatapan bingung.
“Permisi, kakak-kakak, boleh saya lewat? Maaf, saya mengganggu.” Aku menoleh, Pak Ustaz terlihat mendekati Mbak Lova. Segera aku ikut beringsut di belakang beliau. Tak ingin kakak kesayanganku kenapa-napa.
Terdengar alunan ayat suci dari Pak Ustaz, entah aku tak tahu surat apa yang dibaca beliau, tapi dalam sekejap makhluk yang berdiri di hadapan kakakku menggeliat, berteriak, kemudian berbalik menghadap Pak Ustaz. Matanya terlihat merah, wajahnya yang mengerikan dengan luka yang sudah mengering terlihat mengerut marah.
“Hentikan! Kau mau membinasakanku?”
“Semoga Allah mengizinkan, karena kau telah mengganggu manusia yang bahkan sedang menimba ilmu Allah.”
“Aku diutus musuh keluarga ini untuk mengganggu. Mereka yang mulai mengganggu orang yang mengutusku.”
“Berarti kau setuju untuk dimusnahkan? Kalau kau tak pergi, maka aku akan membunuhmu. Kau tahu, aku sudah menyiapkan batu juga kayu di tanganku? Membunuhmu itu mudah.”
Makhluk itu diam, sedang beberapa jemaah mulai berbisik-bisik. Dengan tiba-tiba makhluk tersebut lenyap, bersamaan dengan itu lampu menyala.
“Alhamdulillaaah,” ucap jemaah bersamaan. Aku beringsut mendekati Mbak Lova yang terlihat pucat.
“Mari kita lanjutkan pengajian perdana kita, ya,” ujar Pak Ustaz seperti tidak ada apa-apa.
“Pak Ustaz, tadi kenapa? Pak Ustaz ngobrol sama siapa? Kok pakai ngancam segala?” Aku menatap si penanya. Beliau ternyata tetangga sebelah rumah. Sebelum menjawab, teman Ayah tersebut tersenyum lebih dulu.
“Jadi begini, ya, kakak-kakak, ibu-ibu, bapak-bapak. Di dunia ini kita tidak tinggal sendiri. Ada temannya, loh, kita. Selain tumbuhan dan binatang, kita di dunia ini juga tinggal dengan jin. Kata jin menurut bahasa Arab berasal dari kata ijtinan, yang berarti istitar atau tersembunyi. Jadi jin menurut bahasa berarti sesuatu yang tersembunyi dan halus, sedangkan setan ialah sifat dari setiap yang durhaka dari golongan jin dan manusia. Karena tersembunyi, maka kita ini tidak bisa melihat jin. Kecuali jin tersebut menampakkan diri pada kita, atau kita yang ditempeli sama jin itu sendiri.” Setelah Pak Ustaz menjelaskan segala hal tentang jin juga setan, sepertinya para peserta jemaah terlihat tertarik, buktinya ketika tanya jawab banyak yang mengajukan pertanyaan. Sayangnya tak semua bisa ditampung karena waktu yang terbatas.
“Oke, kakak-kakak, bapak, ibu, cukup sampai di sini penjelasan saya di pengajian perdana kita hari Jumat ini. Insyaallah kita akan bahas lagi di pertemuan selanjutnya hari Selasa nanti, ya. Mohon kedatangannya, ya, bapak, ibu, juga kakak-kakak sekalian.”
Setelah doa, Ayah mengatakan pada para jemaah untuk tidak pulang lebih dulu karena kami sudah menyiapkan jamuan. Setelah sholat Isya, para jemaah diajak makan bersama dan dijawab, “Ahsiaaap!” oleh Bram yang langsung mengundang derai tawa para jemaah.
***
Sudah sebulan sejak sering diadakan pengajian di rumah, gangguan mulai jauh berkurang. Sekarang ini Ibu juga rajin mendengarkan murotal, terutama ayat-ayat untuk rukiah. Ayah bahkan mengundang guru ngaji untuk kami. Rasanya rumah juga terasa lebih nyaman. Bahkan, tetangga kanan kiri sekarang banyak yang sering berkunjung. Sekadar menyapa, atau bahkan bantu Ibu juga Nenek ketika ada orderan. Kata mereka, sejak kedatangan kami, suara tawa cekikikan menyeramkan, bahkan sosok kuntilanak yang sering mengganggu orang lewat pun sudah lama tak terlihat.
Walau jujur, dalam hati rasa waswas masih ada. Kami tak tahu bagaimana sekarang kabar Bi Darmi. Sempat kami mencari alamat rumahnya, tapi kata para tetangga Bi Darmi sudah diusir. Ada rasa kasihan ketika mengetahui hal tersebut. Betapa nelangsa diusir dari rumah sendiri di usia senja.
Usia Bi Darmi mungkin sekarang sekitar enam puluh tahunan, kata Nenek. Beliau tidak menikah, jadi tidak mempunyai anak. Ibu Bi Darmi entah masih hidup atau tidak. Tapi kata para tetangga yang kami tanyai, Bi Darmi tinggal bersama seorang wanita tua yang terlihat menakutkan. Tetangga kanan kiri Bi Darmi merasa terganggu karena banyak yang mengakatan dia adalah dukun santet. Walau banyak tamu yang datang, tapi dari penampilan terlihat bukan orang baik.
Para tetangga semakin yakin Bi Darmi seorang dukun santet tatkala seorang tetangga dengan gagah berani sendirian mengusir Bi Darmi, esok hari perutnya membesar. Bahkan, ketika di-USG, ratusan paku berkarat ada di dalam perutnya. Karena hal tersebut tetangga, RT, juga RW sepakat mengusirnya karena sudah meresahkan warga yang lain. Walau awalnya bertebaran ancaman, tapi setelah hampir seluruh warga di lingkungan tersebut turun tangan, baru Bi Darmi mau pindah dengan damai. Begitu cerita yang kami dengar dari Pak RT.
Hari ini, setelah maghrib, aku baru pulang. Harus lembur. Setelah memarkir motor di garasi, langsung masuk lewat pintu samping. Terdengar suara ngaji dari Pram. Anak itu rajin.
“Assalamualaikum,” ucapku memberi salam.
“Waalaikumsalam. Sudah pulang, Nduk? Tumben sampai jam segini?” Ibu menyambut dan langsung kucium tangan beliau.
“Iya, Bu, lembur. Ayah mana?”
Ibu hanya memberi isyarat dengan dagunya. Terlihat Ayah sedang sibuk dengan buku bacaan di tangan. Kudekati dan menyapa beliau.
“Ayah, sibuk sepertinya?” Langsung aku mencium tangan beliau.
“Baru pulang, Nduk?”
“Iya, Yah. Lembur.”
“Kamu sudah Maghrib?”
“Sudah dong. Hehehe. Ya sudah, Dya mandi dulu, Yah, bau,” ujarku seraya berjalan ke arah kamar. Pekerjaan hari ini benar-benar menguras tenaga. Ingin rasanya langsung rebahan, tapi badan lengket karena keringat sungguh tak nyaman. Menyeret badan keluar dari kamar sungguh berat, apalagi tempat tidur seperti memanggil-manggil mengajak rebahan.
Sepertinya Ibu sudah selesai mengaji, karena sekarang kulihat beliau sedang menyiapkan makan malam.
“Masak apa, Bu?”
“Cuman bikin lalapan aja.”
Aku mencomot tahu goreng lalu kucolekkan ke sambal yang terlihat menggoda.
“Mandi dulu, Dya. Baumu itu lo asem banget,” ujar Ibu seraya memencet hidungku.
“Iya, iya, Bu. Dya nyoba dulu sambelnya. Hehehe.” Aku segera berjalan ke kamar mandi.
Setelah menggantungkan handuk, aku bermaksud melepas baju. Tapi, entah mengapa merasa sedang diawasi. Perasaanku tiba-tiba tak enak. Begitu mendongak, di tembok batas kamar mandi duduk sesosok makhluk hitam dengan mata merah. Begitu pandangan kami bertemu, sosok tersebut menyeringai. Memamerkan gigi-gigi runcingnya. Refleks aku langsung berteriak.
Bersambung …
Seorang wanita yang mem-branding diri dengan nama Lusiana Mak Serin yang menunjukkan bahwa dia seorang emak-emak. Walau begitu, tak ingin disebut tua, lebih suka dengan kata dewasa. Biasa menulis status gaje. Hanya saja beberapa tahun belakangan ini mulai mencoba serius dalam dunia kepenulisan. Mumpung ada di negara orang, ingin belajar dunia tulis menulis sebanyak-banyaknya. Karena tahu andai di rumah akan kesulitan membagi waktu. Untuk nama akun sosial media di FB atas nama Lusiana Ayuningtyas dan untuk IG atas nama Lusiana_Mak_Serin
Editor : Lily
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata