Balas Budi Seorang Pelacur

Balas Budi Seorang Pelacur

Balas Budi Seorang Pelacur 

Oleh : Alena Winker 

 

Beberapa tahun yang lalu, saya pernah mendapatkan pertolongan dari seorang pemuda. Saat itu saya tengah dikejar-kejar oleh sekelompok massa, karena saya tertangkap basah melakukan tindakan asusila bersama suami orang lain. Ya, mau bagaimana lagi? Pekerjaan saya adalah pelacur. Saya menjadi pelacur bukan karena keinginan saya, tapi saya terpaksa melakukan tindakan ini demi orang tua saya. Saya dijual oleh ayah saya. Ayah saya adalah seorang penjudi, utang dia di mana-mana. Sementara Ibu saya sudah tua dan sering sakit-sakitan. Demi menutupi utang ayah saya, saya rela dijual oleh dia. Pernah saya mencoba untuk kabur dari rumah bordil yang membeli saya, namun gagal. Setelah percobaan saya untuk kabur, saya dihukum oleh pemilik rumah bordil tersebut. Menurut pemiliknya, saya bisa bebas jika ada yang mau membeli saya seharga lima kali lipat dari uang yang sudah dia keluarkan untuk membeli saya. Tapi itu tak mungkin, bukan? Siapa orang yang mau membeli saya seharga setengah miliar? Hanya lelaki bodoh yang mau membeli saya yang sudah cacat ini. Secara fisik mungkin saya masuk dalam kategori cantik. Tapi tetap saja, lelaki mana pun pasti ingin memiliki wanita yang terpelajar dan berasal dari keluarga dengan bibit, bobot, dan bebet yang baik. Sebab bagaimanapun juga nantinya sang wanita ini yang akan menjadi tempat belajar pertama untuk anaknya kelak.

Kembali lagi ke cerita saya tentang pemuda itu, mungkin usianya sekitar tiga puluh tahun. Dia seorang pebisnis sepertinya. Saat itu saya hanya memakai mini dress. Dia melepaskan jasnya dan mempersandangkannya di pundak saya. Lalu dia mencoba meredakan amukan massa kepada saya. 

“Dasar pelacur!” teriak beberapa orang kepada saya.

“Tenang, Ibu-Ibu, Bapak-Bapak. Dia hanya melakukan tugasnya, walaupun pekerjaan dia mungkin tidak pantas, namun dia tetaplah manusia sama seperti kita. Jangan main hakim sendiri,” ucapnya saat itu, seraya memapah saya ke dalam mobilnya. 

“Biar saya yang urus masalah ini, Ibu-Ibu, Bapak-Bapak,” lanjutnya. 

Di dalam mobil, saya hanya berdiam diri saja. Saya tak tahu harus bagaimana atau berucap apa. Terlintas dalam benak saya, kok saya mau saja dibawa masuk olehnya? Bagaimana jika saya masuk ke dalam lubang kenistaan yang lebih dalam? Saya juga sempat ragu, ketika dia menyodorkan sebotol air mineral kepada saya. Jujur, saya takut. Saya tatap matanya dalam-dalam, mencoba mencari jawaban atas segala pertanyaan yang timbul dalam benak saya. Sepertinya dia orang baik.

Akhirnya saya memutuskan untuk menerima air mineral itu. Kami pun kembali ke rumah bordil tempat saya tinggal selama ini. Dia menghampiri pemilik rumah bordil ini. Mereka bercakap-cakap cukup lama sebelum akhirnya lelaki itu mengeluarkan handphone dan mengetik sesuatu. Tak lama lelaki itu menghampiri saya dan berkata, “Kamu bebas sekarang.” 

“Apa?” tanya saya seolah memastikan apa yang saya dengar barusan adalah benar. 

“Kamu bebas mulai detik ini,” ulangnya kepada saya.

“Bagaimana bisa? Utang saya masih besar di sini,” 

“Saya telah membeli kamu, tapi saya tak menginginkan tubuhmu, saya hanya berharap kamu bisa berjalan di sisi yang baik dan benar mulai saat ini. Saya tahu kamu tidak seperti mereka yang ada di sini, kamu berbeda dengan mereka.” 

“Lalu apa yang bisa saya berikan kepadamu, Tuan? Sebagai balasan dari apa yang telah kamu lakukan pada saya hari ini, Tuan?” tanya saya. 

“Kamu tak perlu berbuat apa pun untuk saya, kamu cukup melakukan yang terbaik untuk diri kamu di jalan yang benar, jangan kembali ke dalam lubang ini, apa pun alasannya.” 

“Bolehkah saya tahu mengapa,Tuan membeli saya?” 

“Tak ada alasan apapun, saya hanya ingin membantumu keluar dari tempat yang tak layak untukmu ini. Kamu wanita baik-baik yang hanya terjebak oleh kondisi dan keadaan, saya melihat itu dari sorot matamu.”

“Baik, Tuan. Terima kasih. Semoga kebaikan Tuan bisa menolong Tuan kelak.” 

Akhirnya kami berpisah menuju jalan yang berbeda.

***

Sedikit demi sedikit saya membuka bisnis kue kering, modal awalnya saya ambil dari uang tip yang diberikan oleh pelanggan saya dulu, yang saya kumpulkan dan tabung. Sedikit demi sedikit usaha saya membangun bisnis ini mulai membuahkan hasil. Awalnya saya hanya memiliki satu buah toko kecil saja, namun berkat orang sekeliling saya dan dukungan dari para pelanggan saya, kini saya telah memiliki lima buah toko kue.

Suatu hari ketika saya berada dalam acara peresmian toko keenam saya, tanpa sengaja saya melihat pemuda yang menolong saya saat saya masih menjadi pelacur dulu. Kini tubuhnya kurus kering, wajahnya pucat dan tatapannya kosong. Saya berlari kecil mengejarnya hingga kami tiba di sebuah taman. Saya hampiri dirinya. 

“Hai, Tuan. Sudah lama ya kita tidak bertemu?”

“Siapa, ya?”

“Saya pelacur yang Tuan tolong berapa tahun yang lalu,”

“Ah, saya ingat, apa kabarmu?”

“Kabar saya baik, bagaimana denganmu, Tuan?”

“Saya seperti yang kamu lihat, saya sedang menderita gagal ginjal. Saya harus segera operasi transplantasi ginjal, namun tidak ada yang cocok. Mungkin saya akan segera meninggal,” 

“Hmm … bagaimana jika saya mencoba tes transplantasi untuk Tuan?”

“Jangan, saya tak ingin merepotkanmu.”

“Tak apa, Tuan. Ayo,” ucapku sambil menarik pergelangan tangannya. 

Kami pun pergi menuju rumah sakit, saya melakukan pengecekan dan hasilnya saya dapat melakukan transplantasi ginjal saya untuk pemuda itu. Hari operasi telah ditentukan, saya berharap semua akan berjalan lancar dan baik-baik saja. Tak henti-hentinya saya panjatkan doa. Puji syukur semuanya berjalan lancar. Namun sayang pemuda itu belum juga sadarkan diri. Setiap hari saya datang ke kamarnya berharap dia sudah sadarkan diri.

Di suatu sore di bulan Juni akhirnya dia sadarkan diri, dan saya sangat bahagia akan hal tersebut. 

“Terima kasih,” ucapnya saat melihat saya. 

“Sudah sewajarnya saya menolong Tuan. Karena tanpa Tuan, saya tidak akan ada di kondisi saat ini. Tanpa pertolongan Tuan saat itu, mungkin saya masih ada di lubang kenistaan. Terima kasih, Tuan.” (*)

 

Alena Winker merupakan gadis kelahiran kota kembang, dirinya sedang mencoba untuk menulis rutin saat ini. Dirinya menyukai warna yang kalem dan makanan dengan cita rasa yang kuat.

Editor : Devin Elysia Dhywinanda

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply