Leak
Oleh : Niluh
Aku berdiri mematung di pintu, melihat istri dari kakak sepupuku yang terbujur kaku. Hanya bola matanya yang berkedip-kedip—sudah seminggu dia begitu. Kata dokter, dia terkena saraf kejepit. Sudah beberapa kali terapi dan kontrol namun tiada hasil, tidak ada kemajuan sama sekali, yang ada justru ia makin kesakitan saat tengah malam.
Hari ini adalah tugasku menemani dan menjaga dia. Suaminya sedang pergi ke bandara untuk menjemput tamu. Suaminya seorang guide.
Dua anaknya terpaksa mereka tinggalkan di kampung bersama Nenek dan Kakek selama sang ibu melakukan pengobatan.
“De … Made, ambilkan Mbok Yan minum,” pintanya kemudian meneguk air yang aku berikan.
Beberapa saat kemudian.
“De … Made, Mbok sakit perut,” rintihnya lagi.
Ini adalah bagian terberat ketika menemaninya: mengganti popok dan memandikannya. Dengan sigap layaknya seorang perawat, aku mulai membersihkan popok yang penuh kotoran.
Jijik? Awalnya iya, tapi aku sudah memutuskan untuk membantunya melewati masa-masa sulit dalam kehidupannya. Lagi pula ini adalah bagian dari balas budi, karena sedari kecil suaminyalah yang menjagaku ketika Bapak dan Ibu sibuk kerja.
“Made, nanti Mbok Yan tolong dibantu kalau ada apa-apa, ya. Mbok malu minta tolong sama ibumu,” pintanya kala memutuskan untuk menumpang tinggal di rumah keluargaku selama ia melakukan pengobatan.
Aku secara bergantian dengan suaminya menjaga dan merawat dia, sedangkan orang tuaku hanya bertugas di dapur dan mencari info tentang pengobatan alternatif, sampai akhirnya genap dua bulan Mbok Yan tinggal di rumahku.
“Gimana ini, Pang? Tidak ada perubahan sedikit pun pada Wayan. Percuma rasanya berobat ke dokter,” kata ibuku suatu sore. Saat aku, Ibu, Bapak dan Bli Lopang, yang tak lain suami Mbok Yan, ada di dapur untuk membantu ibuku masak.
“Terus … Apa lagi yang harus kita lakukan, Bik?” kata Bli Lopang.
“Gini aja, bagaimana kalau Wayan kita bawa ke balian[1]. Siapa tahu terkena cetik[2],” tutur ibuku.
“Kalau saya mau-mau aja, tapi di mana balian yang pintar dan tahu segala ilmu santet?” tanya Bli Lopang sambil mengiris bawang selagi Ibu mencuci daging.
Ibu segera menghentikan kegiatan membersihkan daging. Wajahnya terlihat serius. Ia duduk tepat di hadapan Bli Lopang.
“Ada di Batubulan, Gus Aji Sebrang. Katanya pintar dan mampu menyembuhkan orang yang terkena cetik. Bagaimana? Mau coba ke sana?”
“Emang benar-benar bagus dan dijamin manjur?” tanya Bli Lopang dengan wajah sedikit ragu.
“Yakin! Sudah terbukti. Kemarin Mbok Tum ke sana. sembuh. Katanya sama, kena cetik juga. Sudah, kita coba saja dulu,” pinta ibu berusaha menyakinkan Bli Lopang.
“Ya sudah. Tinggal cari hari baiknya saja,” kata Bli Lopang pasrah.
“Tenang, sudah Bibi lihat, hari Rabu minggu depan adalah hari baik. Nanti biar Bibi yang buatkan pejati[3].”
****
Dari Denpasar ke Gianyar memerlukan waktu satu jam. Jadi kami berangkat jam dua sore agar tidak larut malam saat pulang.
Sampailah kami di rumah yang sangat asri dan bernuasa Bali. Dua buah patung berekspresi unik menyambut kedatangan kami. Mata patung itu melotot, taringnya panjang dan tajam, tapi bibirnya membentuk senyum tipis. Sedangkan alah satu lengannya memegang senjata berupa Gada.
Jalan setapak dari batu alam yamg diapit oleh rumput-rumput serta bunga kamboja putih dan merah terbentang menuju sebuah bagunan yang dibuat sesuai dengan ugeg-ugeg atau tata letak bangunan dan fungsinya: ada bale kangin, kauh, kelod, dan kaje[4].
Kami membawa Mbok Yan ke bale kangin yang yang letaknya di timur, dikhususkan untuk tempat berdoa, bersemadi atau malaksanakan upacara manusia yadnya[5].
Di sana sudah ada tiga keluarga yang menunggu giliran. Pertama, pasangan suami istri yang tidak kunjung memiliki keturunan atau anak. Setelah segara cara mereka tempuh namun tidak kunjung ada hasil, pergi ke balian menjadi alternatif yang mereka pilih. Meski, bagiku itu tetap adalah kuasa mutlak dari Tuhan.
“Ke dokter hasilnya baik dan beberapa kali ikut program hamil namun tidak berhasil. Mau coba bawa ke balian. Siapa tahu ada yang iri dan menutup kandungan istri dengan santet,” ujar sang suami kepada Bapak.
Bapak hanya manggut-manggut, “Iya yang penting usaha dulu. Siapa tahu di sini jodohnya.”
Beda lagi dengan keluarga satunya, yang datang bersama seorang gadis remaja. Sang gadis sedang memainkan kuku-kukunya dengan gelisah. Menurut perbicangan dengan Bapak, kedatangan mereka bertujuan untuk menghilangakan guna-guna pada anak gadisnya, setelah beberapa kali si anak minggat ke rumah pacarnya.
Dalam hati aku tertawa. Jaman modern masih saja percaya hal-hal seperti itu, batinku. Namun tentu pendapatku tidak akan mereka percaya dan dengarkan.
Setelah menunggu dua jam, akhirnya kami masuk ke gedong[6]. Di tengah-tengah ruangan telah duduk seorang laki-laki paru baya dengan pakaian serba putih. Sebelum kami mengutarakan maksud kedatangan kami, Gus Aji tampak sudah mengetahuinya.
Aku duduk tepat di belakang Mbok Yan sambil menyangga tubuhnya dan mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan.
Besar ruangan itu kira-kira 3×4 meter, dengan daksine, atau meja panjang untuk menaruh sesajen, di depan. Sebuah Barong berukuran cukup besar ada di pojok ruangan sedangkan di sisinya terdapat sebuah patung Dewi Durga—istri dari Dewa Siwa—dengan lidah dijulurkan keluar, rambut hitam panjang, dan mata merah melotot seolah-olah ingin menerkamku, cukup membuat bulu kudukku berdiri.
Setelah menceritakan semua yang Mbok Yan alami, balian tersebut mulai melantunkan mantra di sebuah gelas berisi air. Mulutnya mulai berkomat-kamit. Kemudian dia berjalan mendekati Mbok Yan dan memercikkan air di kepalanya sebanyak tiga kali dan sisanya diminum.
“Oh, Wayan ini terkena cetik dari seseorang yang tidak suka dengan omongan Wayan. Dia merasa tersinggung walaupun maksud Wayan bukan menyindir dia. Santetnya masuk melalui makanan yang dia bawa. Kejadiannya ketika Wayan metetulung[7] di tempat orang nikah,” jelas Gus Aji.
Aku ingat. Sebelum kejadian, memang ada saudara jauh kami yang menikah dan meminta keluarga besar untuk ikut membantu di acara perkawinannya.
“Ini masih saudara yang memberi santet. Ciri-cirinya sering main ke rumah. Rumahnya tepat di seberang rumah, dan kebiasaannya mengunyah tembakau. Rambut sebahu, senyumnya sinis, kulit sawo matang dan bermata sayu,” jelas Gus Aji.
Aku yang mendengarkan penjelasan itu diam saja. Banyak orang yang lalu-lalang di rumah kami. Dan sebagian besar orang tua di kampung kami mengunyah tembakau dan sirih, termasuk ibuku sendiri. Atau jangan-jangan …? Ciri-cirinya sama pula.
“Wayan sudah tahu ciri-cirinya, besok kalau berpapasan di jalan biasa saja. Jangan menaruh dendam, apalagi benci. Itu akan menghambat proses kesembuhan Wayan. Jangan pula membalasnya. Tapi, dimaafkan saja,” nasihat Gus Aji. Setelah selesai akhirnya kami pulang, dan berjanji akan ke sana minggu depan.
“Ini Gus Aji berikan jimat, dibawa ke mana saja Wayan pergi,” pesannya sambil memberikan sebuah bingkisan putih kecil.
Kami pamit, tak lupa Gus Aji memberikan air putih dalam botol yang sudah diberi mantra untuk diminum saat di rumah nanti.
Satu bulan sepulang dari Gus Aji, kesehatan Mbok Yan makin membaik. Dia sudah mulai bisa berjalan walaupun tertatih-tatih.
****
Siang itu ….
“De … Made…,” panggil Mbok Yan siang itu.
“Ya Mbok Yan. Ada apa?” tanyaku.
“Made … makasih ya, kemarin berkat doa Made, Mbok Yan sembuh,” katanya sambil memegang tanganku. Aku tersenyum.
Sehari sebelum keberangkatan kami ke Gus Aji pertama kali, Mbok Yan meminta aku doakan sesuai imanku. Ya, iman dan kepercayaanku dan keluarga besar memang berbeda.
“Aku doakan Mbok Yan. Tapi Mbok Yan harus percaya kuasa Tuhan. Hanya Tuhan yang sanggup mengadakan sesembuhan. Aku hanya perantaranya saja. Dan ketika Mbok Yan sembuh harusnya bersyukur kepada Tuhan, bukan aku. Karena aku pun hanya manusia yang tak memiliki kuasa apa-pun,” jelasku.
“Iya, Mbok Yan percaya. Mbok Yan pasti sembuh.”
Aku pun mendoakannya dan saat itu juga tangannya yang kaku mulai bisa bergerak dan memegang botol minum. (*)
Catatan Kaki :
[1] duku
[2] santet
[3] sesajen
[4] rumah timur, barat, selatan, dan kaje
[5] upacara spiritual penyucian secara spiritual terhadap seseorang sejak terwujudnya jasmani dalam kandungan sampai akhir kehidupan
[6] kamar suci
[7] membantu orang
Niluh, perempuan Bali yang menyukai anak-anak dan pencinta kopi tanpa gula.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata