Dia selalu melihatku dari sana, depan jendela kamar yang berkaca hitam. Aku tahu setiap malam ia akan di sana, menungguku tertidur lalu mencongkel jendelaku dan masuk ke dalam kamar untuk menghabiskan kue basah milikku.
Seperti malam ini. Di luar sedang turun hujan, aku menyimpan beberapa kue basah kesukaanku di dalam lemari es lalu segera menuju tempat tidur dan mematikan lampu. Tiba-tiba lelaki itu datang lagi, mangintip dari jendela kamarku yang tak tertutup gorden.
“Ah aku harus membaca buku saja sambil makan kue basah,” ucapku dengan suara lantang, berharap ia mendengarkanku lalu pergi.
Aku turun dari ranjang, menyalakan lampu dan mengambil novel yang belum selesai kubaca, bukan novel, lebih tepatnya kumpulan cerpen milik Guy de Maupassant. Kulirik ia dari tempatku membaca buku, syukurlah, ia sudah tidak ada di sana. Aku membolak-balik halaman buku yang kupegang, rampung membaca The Necklace dan sekarang The Horla. Aku mulai menghayati cerita yang kubaca, di luar hujan masih turun. Mataku terasa mengantuk tetapi aku tak ingin berhenti membaca, sedangkan malam semakin sepi dan tanpa kusadari lelaki tadi telah masuk ke dalam kamarku.
***
Memutuskan untuk tidak menikah mungkin terdengar konyol bagi beberapa orang. Tapi menurutku biasa saja, aku tak terlalu mempercayai perempuan. Ah, atau lebih tepatnya aku telah kecewa dengan seseorang. Benar, itu sudah tiga puluh tahun yang lalu ketika aku mengenal perempuan yang usianya lima tahun lebih tua dariku. Kami bertemu tanpa sengaja saat dia masuk rumahku karena mengira itu rumah temannya. Setelah itu kami berkenalan dan dia sering datang. Dia lumayan cantik, sangat cerdas dan sedikit aneh. Setidaknya begitulah menurutku, karena dia sangat suka berpura-pura mengiris kulit jarinya sendiri dengan alasan tak masuk akal.
”Jariku teriris lagi, tolong ambilkan plester ya,” ucapnya sambil meringis, lalu aku berjalan ke dalam kamar untuk mengambil plester. Ketika itu aku mengintipnya dari sebuah lubang, dan ia tertawa seolah-olah memenangkan sesuatu.
”Kau pura-pura mengiris jarimu lagi?”
”Hei lelaki yang baru puber, untuk apa juga aku iris jariku? Memangnya aku gila?”
”Kau memang sering melakukannya kan?”
”Kau ini musuhku ya sebenarnya?”
”Jangan lukai diri sendiri, Sayang,”
”Aku tadi mengiris apel, memangnya aku tolol mengiris jari? Lagipula apa salahnya kebiasaan aneh, sepertimu yang selalu memakai sepatu di dalam rumah.”
Lalu aku diam, berpura-pura mengambil buku dan membacanya. Tapi terkadang aku juga sangat nyaman saat sedang bersamanya, mungkin itulah alasanku untuk tidak bisa meninggalkannya. Dia sosok wanita yang keibuan dan memiliki minat yang besar pada banyak hal.
”Kamu suka genre film yang bagaimana?”
”Aku suka horor barat.”
”Ah terlalu khayal, hantu yang menyerang manusia. Padahal mereka tak akan melakukan hal sevulgar itu, hantu-hantu pasti marah.”
”Lalu kamu suka yang bagaimana?”
”Kalau aku suka film yang bermain-main dengan plot. Atau yang idenya liar.”
”Kalau yang idenya liar bagaimana?”
”The Man from Earth, idenya cerdas sekali. Film itu hanya berisi beberapa orang yang sedang mengobrol dengan seseorang yang mengaku telah hidup ratusan tahun.”
Selanjutnya aku akan mendengarnya bercerita berbagai hal, tentang sejarah, sastra dan kosmologi. Tapi ia tak pernah menyinggung sedikit pun mengenai agama, ia juga tak pernah mengaku saat kutanya agamanya. Aku tak terlalu mempermasalahkan keyakinan, jadi menurutku itu tak akan menjadi masalah. Dia juga bilang aku ini mengalami oedipus complex, aku mengiyakan karena memang sudah dari kecil tak mendapat kasih sayang dari ibu. Dia juga selalu membawakanku kue basah, dia bilang ibunya menjual kue basah di pasar. Wanita itu membuatku nyaman, dia akan menyuapiku, memelukku sambil bercerita, kemudian memasakkanku makanan enak.
Suatu hari, ia bertanya apakah aku menganggapnya sebagai teman, pacar atau ibu. Aku diam lalu memberi jawaban yang lebih pantas disebut pertanyaan, Kalau kuanggap kau sebagai ketiganya boleh? Dia tertawa, mencubit pipiku lalu mengatakan kalau aku lelaki yang serakah.
Hingga tiga bulan kemudian, dia tak pernah datang lagi. Dia tak pernah memberiku alamat rumah atau di mana pasar tempat ibunya berjualan kue basah. Aku masih menantinya, hingga tahun telah berganti tapi ia juga tak pernah memberi kabar. Nomor ponselnya juga tak bisa kuhubungi. Aku mulai berpikir untuk tak mengenal, atau lebih tepatnya tak ingin mengenal wanita lagi. Saat aku kecil, ibu meninggalkanku pergi ke luar negeri dan tak kembali, ketika aku telah dewasa, wanita yang memberiku kasih sayang pun tiba-tiba menghilang. Baiklah, itu awalnya aku lebih suka hidup sebagai bujangan.
***
Aku masih membaca cerpen The Horla, karakter utama mengalami sesuatu yang hampir mirip denganku. Ia juga diganggu oleh seseorang yang sering mengikutinya, bahkan ketika tidur. Dan ia memanggil lelaki yang mengikutinya sebagai Horla, hantu yang bernama Horla maksudku.
Tiba-tiba aku teringat pada seseorang yang mengintipku dari luar jendela kamar. Dia sudah tidak ada lagi di sana. Kumatikan lampu kembali dan mulai berbaring. Aku merapatkan selimutku, kemudian mulai memejamkan mata. Hingga suara petir membuatku membuka mata kembali, lelaki itu ada di sana lagi, kali ini ia terlihat sedang memakan sesuatu sambil mengintipku. Terlihat jelas siluetnya bergerak-gerak seperti sedang makan. Aku segera mengenakan sepatu lalu memeriksa kue basah yang ada dalam lemari es.
”Sial, sial, sial, dia mengambil semuanya.”
Kemudian aku berlari keluar rumah, membawa sebilah pisau yang kusembunyikan dalam baju untuk berjaga-jaga. Tapi dia tak di sana, tidak lagi ada di depan jendela kamarku. Mungkin dia telah pergi, tapi terlalu cepat, aku bahkan berlari keliling rumah dan tetap tak bisa menemukannya. Hujan masih turun dengan lebat. Bajuku basah dan membuatku bergegas pergi ke kamar mandi. Pintu kamar mandiku terbuka, lampunya juga masih menyala, aku yakin dia ada di dalam sana. Bersembunyi sambil memakan kue basah milikku. Maka aku mengendap-endap. Kuperhatikan lantai putih rumahku yang penuh dengan jejak sepatu. Ya, ya, dia benar-benar di sana. Dia pasti telah masuk ke dalam rumah ketika aku berlari keluar untuk menghampirinya tadi.
”Hentikan, pencuri.” Aku berteriak sambil menodongkan pisau. Tapi tak ada siapa pun di sana, kecuali handuk bergambar penguin yang masih menggantung di dinding. Aku mengumpat, dia pasti belum jauh dari sini, dia telah mencuri kue basahku setiap hari dan aku paling tidak suka pada seseorang yang mencuri kue basahku.
Aku bergegas kembali ke kamar. Dia pasti sedang di sana, membuka lemari es dan mencuri jus jeruk milikku, atau mungkin soda. Dasar maling. Maka aku kembali mengendap-endap menuju kamar. Benar, lampunya mati tetapi pintunya terbuka.
”Berhenti kau maling,” kali ini aku berteriak dengan suara lebih nyaring. Pintu kulkasku terbuka, namun dia sudah tak lagi ada di sana. Aku bergegas melihat isi lemari es, dan aku benar, ia telah membawa soda dan jus jeruk milikku.
Aku menyalakan lampu, jejak sepatu yang kulihat pada lantai seluruh rumahku tadi ternyata juga terlihat di lantai kamar. Bahkan jejak sepatunya juga berhenti di samping ranjangku. ”Dasar Penyusup. Aku akan membunuhnya besok malam,” ucapku sambil melepaskan sepatu lalu kembali berbaring di atas ranjang.(*)
Ike Dewi Lestari, suka mengarang bahkan sebelum mengenal sastra. Sudah lulus, atau lebih tepatnya baru lulus kuliah. Masih berusaha menjadi cerpenis yang tetap bisa menulis tanpa menunggu inspirasi.
Facebook : Ike Dewi Lestari
Email : ikedewi11@gmail.com
Cerpen ini terpilih sebagai nominator pada KCLK (Kompetisi Cerpen Loker Kita) untuk minggu pertama Februari.
Selebihnya tentang KCLK, gabung di grup kami:
Halaman FB kami
Grup FB KCLK (semua info penting ada di sini)
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan