Madu dan Empedu
Oleh: Cahaya Fadillah
Deretan kata-kata mesra itu kubaca sambil berlinang air mata. Tidak menyangka, Bang Arga sampai tega melakukan ini terhadapku. Belum cukup seminggu, usia anak yang kulahirkan—buah cinta aku dan Mas Arga. Ia ketahuan berselingkuh dengan seorang janda yang sedang hamil pula. Seperti diterpa angin puting beliung, hatiku porak-poranda. Lalu, hujan badai yang datang setelahnya, membuat hatiku semakin terasa sakit. Kesedihan karena suami yang main belakang, bahkan terkesan cuek pada buah hatinya yang baru lahir.
Rasanya duniaku hancur saat suamiku berubah total. Entah dosa apa yang sudah kuperbuat hingga Tuhan memberi ujian begitu berat. Deraian air mata tidak bisa kubendung lagi saat hak anakku tidak terpenuhi. ASI yang seharusnya sudah keluar sejak melahirkannya, kini bahkan tidak ada sama sekali. Sedangkan untuk membeli susu formula, aku tidak sanggup lagi.
Kutaruh ponsel berlayar lebar di sisi sebelah kiri. Kuurai pelukanku pada bayi merah yang terus-menerus menangis meminta haknya. Tarikan napas yang dalam bersama istigfar dan doa-doa di dalam hati belum juga membuatku tenang. Bergegas kubasuh muka, menyanggul rambut dengan asal, lalu kembali memeluk bayiku yang tidak berdosa. Ini salahku, terlalu banyak menangis sejak kelahirannya, hingga haknya tidak keluar dengan sempurna.
“Maafkan mama, Sayang. Maafkan mama.”
Kata-kata itu tidak berhenti dari mulutku yang kini terasa asin oleh air mata.
Kepeluk bayi mungil itu dengan kekuatan yang tersisa. Seminggu waktu yang terlalu sempit untukku harus pulih dari beberapa jahitan setelah melahirkan. Tapi mau protes kepada siapa? Lelaki yang menjadi suami malah sibuk dalam pelukan janda penggoda. Aku yang hanya sebatang kara, kini harus menerima ujian yang sangat berat dan harus kuat demi buah hati yang kucinta.
***
Aku memandang ponsel yang tergeletak di lantai. Aku tengah menimbang-nimbang tentang apa yang harus aku lakukan kini demi hak anakku yang terus menangis kelaparan.
[Mbak, saya tahu suami saya bersama, Mbak. Tolong bilang sama dia untuk pulang. Anaknya butuh dia.]
Pesan penuh kekesalan kukirim dengan uraian air mata yang tak juga mau berhenti. Masih mencoba untuk sabar kali ini, karena telepon dan pesanku tidak pernah diangkat dan dibalas oleh Mas Arga sejak ia ketahuan selingkuh dengan janda yang belakangan aku tahu bernama Maya.
[Bilang saja sama suami kamu. Kalau dia mau pulang, ya pulang saja, kenapa harus bilang sama saya?]
Pesan itu sukses membuatku membanting semua yang ada di depan mata. Dalam sakitku yang butuh suami, dia bahkan sibuk dengan janda yang menganggap Mas Arga murni miliknya. Entah madu memabukkan apa yang membuat Mas Arga lupa padaku. Padahal, selama ini tidak ada masalah yang serius dalam hubungan kami.
[Tolonglah, Mbak. Saya ikhlas Mas Arga bersama Mbak. Tapi tolong suruh pulang dulu, anaknya sudah lahir. Paling tidak tolong lantunkan azan di telinga anaknya, Mbak.]
Pada akhirnya, aku memohon demi. Meskipun harus enghancurkan harga diriku, satu-satunya harta yang tersisa.
[Kalau mau, jemput sendiri ke sini, cengeng!]
Jawaban perempuan itu sungguh membuatku naik darah kali ini. Rasa sabar yang kupupuk demi bayi di dalam pelukan, kini semakin menipis. Bukan tidak tahu rumahnya, aku tahu semua tentang janda itu. Namun, kondisiku yang sedang sakit dan butuh bantuan mengharuskan bersabar lagi dan lagi.
Kupeluk bayiku dengan tubuh gemetaran. Rasa sedih, takut, marah dan benci semua bersatu saat ini. Jika digambarkan, kepalaku seperti sudah punya lava panas yang bisa saja meledak seketika.
***
Semua keperluan anakku sudah lengkap di dalam tas. Air mata yang selalu turun kini sudah berganti dengan ketegaran hati. Kuberanikan diri menjemput Mas Arga ke rumah Maya, selingkuhannya. Aku menjatuhkan harga diri demi anakku yang membutuhkan ayahnya dan hakku sebagai istrinya.
Tepat di depan pintu, aku menyaksikan kemesraan mereka di depan teras rumah. Maya dipeluk oleh Mas Arga dengan mata penuh cinta, anak perempuan di pelukan Mas Arga yang kira-kira berusia sepuluh tahun itu sangatlah mirip dengan mereka.
Si anak mengusap perut ibunya berkali-kali dan tersenyum sambil berkata, “Akhirnya, Jihan punya adik ya, Pa, Ma. Semoga kali ini, adik Jihan selalu sehat-sehat saja.”
Kepalaku merasa sakit mencerna kata-kata si anak. Apa selama ini, justru akulah yang menganggu rumah tangga mereka?
Januari, 2021
Cahaya Fadillah, lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat. Menyukai literasi sejak duduk di bangku sekolah dasar, tapi baru aktif tahun 2017. Ibu satu anak bernama Muhammad Adz Dzikri Faeb ini sangat suka menulis. Sampai sang suami memberi gelar untuknya “Si Tukang Karang”.
Editor: Imas Hanifah N