Tak Ada Pilihan Buat Vita
Oleh : Rainy Venesia
Vita menatap baju tidur dari bahan satin warna merah dengan belahan dada yang sangat rendah. Jika dipakai, dia yakin separuh dadanya akan menyembul keluar. Vita bergidik. Meski bukan seorang hamba yang taat agama, dia tidak ingin mempermalukan diri sendiri dan menjadi sasaran empuk bagi kawan-kawannya yang selama ini suka merundung dirinya. Bukan itu saja, jika ayah ibunya tahu, dia yakin bahwa nanti gagang sapu akan mendarat di pantatnya atau kakinya. Namun, wanita cantik yang baru saja meninggalkannya tidak memberikan pilihan. Jika tak ingin terus-terusan disekap di kamar tanpa jendela ini, maka Vita harus memakai baju itu dan menuruti kehendak Sez Aura.
Vita menghapus air mata yang kembali mengalir setelah satu jam lalu surut. Dia tak mengerti kenapa dirinya diculik dan dikurung di kamar ini sendirian. Sempat tebersit bahwa dia telah dijual oleh ayahnya. Namun, cepat-cepat dia menghapus pikiran itu. Kendati ayahnya seorang penjudi dan selalu kasar padanya juga ibunya, tetapi Vita yakin lelaki itu tak mungkin melakukan hal sekeji itu pada anaknya sendiri. Vita ingat ketika suatu malam ayahnya pulang dalam keadaan mabuk dan wajahnya lebam karena bekas pukulan, ibunya mengomel tiada henti sambil membersihkan luka di wajah ayahnya. Ayahnya tak berbicara sedikit pun hingga akhirnya tertidur di kursi yang sudah reyot.
Namun, Vita mendengar kabar dan jadi tahu penyebab ayahnya berkelahi malam itu. Salah satu kawan berjudi ayahnya berbicara mengenai dirinya. Kawan ayahnya itu meminta Vita sebagai teman tidur satu malam sebagai taruhan. Ayahnya sangat marah dan meninju wajah temannya itu. Perkelahian tak terelakkan.
Vita menghela nafas. Sempat terlintas di pikirannya jika ibunya telah berutang sangat besar demi memenuhi hobinya arisan dan berkumpul bersama para wanita di sekitar tempat tinggal mereka, lalu menjadikan dirinya sebagai jaminan. Namun, dia tak pernah mendengar ibunya membicarakan soal utang. Dia pun tak pernah melihat orang-orang tak dikenal bertandang ke rumah untuk menagih cicilan. Vita merasa bahwa dirinya dan kehidupannya terasa baik-baik saja meskipun sering merasa kesal dan kecewa melihat kelakuan ayah ibunya. Tak jarang dia menangis sendirian di kamar saking kesal dan merasa lelah.
Vita merasa takut ketika ingat pada berita-berita hilangnya anak-anak, baik di televisi maupun di media sosial. Dia semakin merasa cemas dan ngeri jika dugaannya benar. Apalagi dia sering menonton film tentang penculikan dan perdagangan anak. Bagaimana jika dia diperlakukan sama seperti di film Korea yang pernah dia tonton, diambil sel telurnya lalu diperkosa dan mati?
Suara pintu dibuka membuat Vita terkejut. Wajahnya pucat. Dia berdiri dengan kaki gemetar. Wanita yang dipanggil “Sez Aura” oleh anak buahnya kembali mendekat. Dia menatap Vita tajam. Dari wajahnya tampak sekali mulai kesal karena Vita belum juga memakai baju yang disediakan.
“Baiklah. Seperti tak ada pilihan lain selain aku membantumu mengganti baju.”
“Jangan. Aku mohon Tante, lepaskan aku.”
“Aku sudah berbaik hati padamu, menunggumu dengan sabar. Aku tak ingin memaksamu.”
“Tapi Tante, untuk apa aku memakai baju itu?”
“Hanya untuk difoto saja. Lalu kau akan jadi artis. Kau akan mendapatkan bayaran sebagai model. Uang yang sangat banyak. Kau mau kan?” Wanita cantik dengan rambut panjang hitam dan lurus itu melembutkan suaranya. Membujuk Vita dengan menceritakan bagaimana kehidupan Vita nanti jika dia mau jadi model untuk majalah online-nya. Barang-barang mahal, perhiasan, dan rumah akan Vita dapat dengan mudah, termasuk jalan-jalan keliling Indonesia sampai ke luar negeri.
“Tapi Tante, kenapa harus menculik aku, kan banyak yang ingin jadi model?” Vita memberanikan diri menatap wanita yang dia kira seumuran bibinya. Dia juga tetap berharap agar wanita itu membebaskannya dengan sukarela.
“Anggap saja kau sedang beruntung.” Wanita itu mengambil baju yang tergeletak di meja. “Kamu akan tampak cantik kalau memakai ini.”
“Tidak.” Vita berlari menuju pintu. Namun, seorang penjaga menghadangnya dan menyeretnya kembali. Tubuh Vita didorong hingga terjerembab ke lantai.
“Kamu tidak mau aku sayangi. Ya, sudahlah.” Wanita itu melemparkan baju yang dipegangnya ke wajah Vita. Lantas, pergi meninggalkan gadis enam belas tahun itu. Terdengar oleh Vita gerutuan dan perintahnya pada penjaga agar besok dia dieksekusi.
Vita termenung membayangkan kehidupannya nanti seperti yang diceritakan wanita itu. Pasti sangat menyenangkan, pikirnya. Dia akan terbebas dari bentakan dan pukulan ayahnya yang setiap sore dia terima. Tak akan lagi mendengar omelan ibunya, juga gerutuan tentang dunia yang tak pernah berpihak pada mereka. Vita menunduk. Dia juga ingat betapa bajunya yang lusuh sering mengundang pandangan sinis dan sindiran tajam dari teman-temannya. Sepatu dan tas yang itu-itu saja selama dua tahun, tangan dan rambutnya yang polos tanpa hiasan. Alih-alih memakai bedak dan lipstik yang iklannya sering nongol di televisi atau makeup yang sering dibicarakan teman-temannya, selama ini dia hanya memakai pelembab wajah dan bedak tabur yang dibeli di warung Mpok Ani seharga tak lebih dari lima belas ribu rupiah. Beruntung Vita dianugerahi kulit mulus, jadi warnanya yang sedikit gelap menjadikan Vita cantik eksotik.
Vita menatap baju tidur warna merah yang modelnya mirip dengan pakaian beberapa aktris dalam film panas yang pernah dia lihat tanpa sengaja di hape ayahnya. Tangannya bergerak hendak meraihnya. Namun, tiba-tiba Vita terduduk lesu lalu menangis. Pikirannya kalut diserang pertanyaan-pertanyaan yang selama ini sering membuat kepalanya sakit. Kenapa Tuhan sering sekali membuatnya susah? Padahal selama ini dia selalu bersikap baik pada teman-temannya, meskipun teman-temannya itu sering meledeknya. Dia juga selalu patuh pada ayah dan ibunya, walaupun mereka sering tak peduli padanya. Kenapa Tuhan justru membuat orang-orang yang jahat terhadapnya selalu mendapatkan kebaikan? Teman-teman yang sering menghina dan mengucilkannya punya orang tua yang kaya dan sangat perhatian. Mereka selalu diantar-jemput pakai mobil, seragam dan sepatu mereka selalu tampak baru, pun mereka selalu memakai perhiasan yang cantik dan ponsel terbaru. Vita sering merasa iri ketika melihat teman-teman perempuannya yang selalu dipeluk dan dicium oleh ibunya setiap kali pulang sekolah.
Vita kembali menatap baju tersebut. Dalam pandangannya, baju itu seperti tersenyum dan melambai padanya. Vita berdiri dan mengambil baju yang tipisnya sama dengan gorden putih transparan di rumahnya. Sekilas dia berpikir bahwa hidupnya akan berubah total jika dia menuruti kemauan Sez Aura. Vita memejamkan mata. Air mata menetes dari sudut matanya dan mengalir membasahi pipi lalu jatuh di baju merah yang ia dekap.
Suara kucing mengeong membuat Vita terkejut dan menoleh ke pintu. Vita merasa jantungnya seperti hendak copot ketika mendengar suara orang-orang berbicara menyebut-nyebut seorang gadis. Hatinya ciut, kakinya gemetaran. Begitu pun tangannya gemetaran hingga baju itu terjatuh. Dengan ragu, Vita mendekati pintu sambil memasang telinga baik-baik. Rasa penasaran membuat rasa takutnya berkurang. Samar-samar terdengar suara Sez Aura seperti sedang tawar-menawar dengan seorang laki-laki. Beberapa kali Sez Aura berkata tidak saat lelaki itu menyebutkan harga.
Vita melompat mundur ketika pintu tiba-tiba terbuka. Sez Aura berdiri dan menyuruhnya cepat-cepat keluar.
“Cepat apa?” gumamnya dengan bibir bergetar.
“Keluarlah.”
Vita terpaku menatap Sez Aura.
“Kamu dengar apa yang kukatakan?” Mata Sez Aura mendelik. “Cepatlah. Seseorang sedang membutuhkanmu.”
“Membutuhkanku?” Vita menatap wanita yang sedang melangkah mendekatinya.
“Cepat!” Suara Sez Aura begitu tegas. Tangannya menyambar tangan Vita.
Vita tak berusaha menolak ketika dirinya setengah diseret keluar kamar. Dia sudah yakin akan menuruti perkataan Sez Aura dan menikmati kehidupan yang sangat menyenangkan seperti yang digambarkan wanita cantik itu, dan juga seperti yang dibayangkannya. Vita mempercepat langkahnya mengikuti irama kaki Sez Aura. Namun, perasaan takut kembali menyergap saat mereka masuk ke lorong yang cukup sempit dan sedikit gelap, setelah sebelumnya Sez Aura membuka pintu rahasia. Pintu itu langsung tertutup kembali dengan sendirinya. Sepertinya sebuah lorong rahasia yang menghubungkan rumah Sez Aura dengan ruang luas yang kini mereka masuki.
Vita celingukan melihat peralatan medis yang sering ia lihat di drama-drama Korea bertemakan rumah sakit. Bau obat bercampur amis menusuk hidungnya. Perutnya terasa mual ketika sadar bahwa bau amis tersebut berasal dari tempat tidur dorong seperti yang digunakan di rumah sakit untuk membawa pasien. Percikan darah berceceran di lantai di bawah tempat tidur.
“Tempat apa ini?” Vita tampak sangat cemas dan ketakutan.
“Tak ada pilihan lain.”
Sez Aura mendorong tubuh Vita hingga terjerembab ke lantai. Dua orang laki-laki masuk dari pintu yang sama. Mereka memakai topeng. Dengan sangat cepat, dua lelaki itu memegang tubuh dan membekap mulut Vita. Sez Aura mendekat dengan sebuah suntikan di tangannya. Vita menggeleng dan meronta-ronta hendak melepaskan diri. Dia berusaha bicara bahwa dia akan memakai baju itu dan difoto. Dia akan menuruti apa pun perkataan Sez Aura. Namun, usahanya sia-sia, ketika seluruh obat bius itu telah berpindah menyatu dengan darahnya. Dia merasa lemas, kepalanya pusing dan dalam hitungan detik, kesadarannya hilang.
Vita tidak akan pernah tahu bahwa harga ginjal dan hatinya lebih tinggi dari pada kulit mulus dan wajah eksotisnya. (*)
Bandung, 10 Januari 2021
Rainy Venesia suka menulis cerpen. Beberapa cerpennya tergabung dalam antologi bersama penulis lain.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata