Tetangga di Seberang Rumah
Oleh: Ray Eurus
Perempuan paruh baya yang tinggal di seberang rumah tengah sibuk memasukkan apa saja yang dia suka dari persediaan makanan di dapurku, ke dalam kantong keresek besar berwarna merah. Aku pura-pura biasa saja mengikuti arah tatapannya menyelidiki bungkusan yang baru saja diserahkan Pak RT padaku. Bungkusan itu berisi jatah sembako bagi tiap warga untuk meringankan kesusahan selama pandemi ini.
“Ini aja yang kamu dapat, Kom?” selidiknya sambil berlalu menuju lemari pendingin.
“Emangnya mau yang gimana, Bude? Toh, jatah semua pintu sama, ‘kan?” tuturku kembali melontarkan pertanyaan agar beliau paham, bahwa aku kurang nyaman oleh sikapnya.
“Wah, ini apa?” Dia mengeluarkan satu kotak mika berisi buah kurma seberat setengah kilogram, penghuni satu-satunya lemari pendinginku yang kurang kehangatan.
“Bude, mau? Kita paruhan aja, ya?” Aku meraih plastik untuk membuat es batu yang berada di atas kulkas, lalu membagi buah yang baru semalam dibawakan suamiku itu. Buah tangan dari seorang kawan.
“Lumayanlah, udah lama gak makan kurma. Sering-sering dibagi ke Bude kalo kamu beli kurma,” gerutunya seraya memasukkan bungkusan berisi buah tersebut dari tanganku.
“InsyaAllah ya, Bude. Kalo aku ada, gak bakal dimakan sendiri, kok. Toh, biasanya ditaruh aja, dan Bude ambil sendiri begini.” Aku mulai gerah karena kata-katanya barusan seperti menuduhku pelit, suka menyembunyikan makanan.
“Ya, sudah. Makasih ya, semuanya! Bude balik dulu. Pakdemu udah kelaperan ini, soalnya aku gak punya apa-apa buat dimasak,” terangnya sebelum menuju pintu keluar rumah ini.
“Lah, emangnya jatah dari Pak RT udah habis?” selidikku yang merasa heran dengan pengakuannya yang tak punya apa-apa, barusan.
“Iya, tadi Reni sama Dimas main ke rumah. Eh, Dimas minta dimasakin mi. Pas tinggal tiga bungkus, dua dimakan Reni sama anaknya, satunya lagi buat sarapan Ulan,” Bude menjelaskannya sambil terus menyeberang jalan yang hanya berjarak satu setengah meter dari rumahku, menuju gerbang rumah di hadapan.
Bude Min, tetangga kami, seorang rantau asal pulau seberang yang memiliki dua orang anak perempuan. Reni—anak pertamanya seusia denganku—telah menikah dan memiliki satu orang putra bernama Dimas, berdiam tak jauh dari rumah orang tuanya. Sementara Ulan adalah putri bungsu mereka yang masih berstatus pelajar kelas dua SMA.
Keluarga mereka termasuk orang berada pada masanya. Semenjak Pakde Sur—suami Bude Min—pensiun, keluarga mereka menjadi bahan gunjingan warga sekitar. Bagaimana tidak, sikap Bude Min yang seenaknya saja masuk ke rumah tetangga, lantas meminta bahan makanan, atau menukar apa yang dia punya, tapi tak disukainya dengan milik kami yang menarik buatnya, membuat kami semua risi. Kami jadi bertanya-tanya, apakah sesusah itu keluarga mereka? Bukankah, seharusnya pesangon yang dikantongi Pakde Sur bernilai ratusan juta, mengingat beliau pensiun dari salah satu perusahaan asing yang berada di pinggir jalan besar menuju pantai kota?
“Jangan pelit-pelitlah, Kom … kamu dari kecil juga sudah sering Bude ajak jalan dan makan di luar bareng Reni, toh? Kalo menjelang Lebaran juga, biasanya Bude belikan kamu baju baru, kembaran sama Reni,” ungkitnya kala aku sesekali mengutarakan keberatan atas sikap seenaknya tersebut.
Jika sudah demikian, aku hanya bisa menghela napas, lalu diam saja. Meskipun di dalam hati aku memuntahkan umpatan kekesalan untuknya. “Memangnya siapa yang minta, coba?” rutukku lirih, sambil membuang muka.
“Kom, Ko-Kom … Putra mana?” Suara Ibu menyadarkanku dari memandangi rumah bercat hijau dengan taman asri, dari balik pagar besi yang menjulang tinggi, di seberang sana.
“Eh, Bu … nggih. Bentar Kokom panggilkan, ya? Tadi sih izinnya main ke lapangan,” jawabku seraya bergegas memakai alas kaki bertuliskan Swallow.
Aku, Siti Komariah, anak bungsu dan perempuan satu-satunya dari tiga bersaudara. Bapak dan Ibu sudah sangat lama menetap di sini. Bahkan jauh sebelum aku dan kedua masku lahir. Berhubung hanya aku anak perempuan mereka, maka aku dilarang untuk tinggal berjauhan dari keduanya. Meskipun masih dalam kelurahan yang sama.
“Tanah bapakmu ini luas, kok. Kalau mau hidup sendiri … ya, bangun aja di sebelah situ. Daripada ngontrak-ngontrak. Mending uangnya ditabung, buat modal kerja suamimu,” cetus Bapak, saat aku menyampaikan keinginan suamiku untuk hidup mandiri.
Berbekal lahan yang ada dan uang hasil menjual kalung Ibu, aku membangun rumah sederhana, istana keluarga kecil kami. Aku berjanji, akan mengembalikan kalung Ibu, jika uang kami sudah terkumpul.
“Assalamualaikum … Bu, Ibu!” Aku masuk ke rumah orang tuaku, lalu segera bertolak ke pintu penghubung dari ruang tamu ke warung kecil, tempat usaha kecil-kecilan Ibu untuk mengisi waktu di hari tuanya bersama Bapak.
“Eh, makasih ya, Mbakyu? Tak pamit dulu,” ucap dari suara yang kukenal, terburu-buru, “Duluan, ya, Kom,” lanjutnya setelah meraih dua butir telur jualan Ibu.
“Ngapain lagi itu Bude Min ke sini? Apa lagi yang dimintanya?” ucapku ketus sengaja dengan suara yang dikeraskan.
“Hus, gak bagus, Nduk, ngomong gitu!” Ibu mengingatkan, sambil menepuk bahuku. “Udah makan tah?” imbuh beliau, mencoba mengalihkan pertanyaanku.
“Ini baru mau beli telur buat lauk,” terangku sambil menuju tempat telur ayam ditata, lalu memasukkan lima butir ke dalam kantung keresek yang tersedia. Tak lupa aku masukkan uang sepuluh ribu ke balik laci meja kecil di sudut warung, dekat dengan pintu penghubung.
“Itu, loh, tadi bapakmu bawa kotakan dari kantor Mas Yahya. Bapakmu bantu lihatkan mesin apa gitu, mbuh, di sana. Pulangnya, ya, dioleh-olehi ini.” Ibu menyerahkan satu kotak berisi makanan, kepadaku. “Satu aja, ya? Nanti satunya mau Ibu makan bareng Putra. Mana dia, kok, belum datang?”
“Tadi langsung ke surau, Bu, sama teman-temannya. Katanya mau lohoran dulu,” terangku.
“Oh, begitu. Nanti, kalo udah pulang, suruh langsung ke sini!” titah wanita yang masih tampak ayu itu, walaupun uban sudah menutupi sebagian rambutnya yang mulai menipis.
“Nggih, Bu!” jawabku, “Jadi … tadi itu, Bude Min ngutang, barter, atau minta barang warung?” selidikku yang masih penasaran.
Ibu membuang napas berat. “Kasihan Ibu sama budemu itu. Kok, ya, anak-anaknya kayak gak peduli, ya, sampe mamanya harus merendahkan diri begitu?” Ibu menatap penuh iba ke arah rumah Bude Min. “Tadi budemu itu, bawa empat bungkus mi instan rasa kari ayam. Katanya, minta tukar sama mi goreng rendang aja. Soalnya, Ulan gak suka mi kari,” terang Ibu.
“Terus Ibu kasih berapa?”
“Ibu bolehin ambil tiga. Tadinya, ngotot budemu itu mau ambil sejumlah yang sama dengan mi karinya. Ya, tapi … kan, beda harga. Tekor Ibu.” Beliau sedikit terkekeh saat menjelaskannya.
“Astagfirullah … Bude Min, Bude Min! Kok, gitu amat sih, ya!” Aku mulai geram dengan tingkah tetangga kami itu
“Bu, mi kari yang ditukar ke sini itu, boleh ngambil sendiri dari rumah Kokom tadi pagi.” Aku berkata sinis. “Kok, ya, gak malu mi hasil minta, terus ditukar lagi? Coba dia minta tukar ke warung lain aja gitu, nah!”
“Ya, mana ada yang mau, Nduk,” timpal Ibu, “Pantes, ya, buru-buru pamit pas kamu datang. Ternyata ….”
“Ya, udah, Bu. Aku balik dulu. Gak ada habisnya kalo kita ceritakan tingkah Bude Min ini. Malah bikin gerah, jadi emosi,” putusku sebelum semakin panjang daftar kekesalan pada Bude Min kuluahkan.
Ibu hanya berpesan padaku, agar senantiasa sabar saat meladeni Bude Min. Tetap berbuat baik kepada tetangga. Sama-sama mendoakan kebaikan untuk keluarga Bude Min, agar tak berlarut-larut dalam keadaan tak menyenangkan seperti itu.
***
“Dek, bentar, ya? Mas kebelet.” Mas Ilham–suamiku–memohon izin untuk ke toilet saat aku hendak mengunci pintu. Sore ini, kami berencana pergi ke pasar untuk membeli kebutuhan dapur yang menipis. Mas Ilham pun sengaja pulang lebih awal untuk menunaikan janji tersebut.
“Eh, Kom! Rapi bener, mau pergi, tah?” Bude Min menyapa dari balik pagar rumahnya.
“Nggih, Bude. Mau ke pasar.”
Tak berlangsung lama, Bude Min sudah menyeberang jalan, menghampiriku yang mengisi waktu dengan mengumpulkan daun-daun kering di halaman. Aku pura-pura abai pada keberadaannya. Sudah dapat kutebak kejadian seperti apa yang akan mengekori setelah ini.
“Kom, Bude nitip—”
“Ma, Ma-ma … huhuhuu!” Reni tiba-tiba berlari menghampiri Bude Min.
“Nopo, toh?” selidik beliau khawatir.
“Mas Hendri, Ma!” Reni melerai air matanya di pipi dengan sebelah tangan. “Mas Hendri gak bayar cicilan mobil sudah enam bulan. Sekarang orang leasing datang ke rumah mau nyita mobilku, Ma. Huhuhuuu.”
“Ish, suamimu itu!” geram Bude Min, “Sudah, sudah … masuk rumah sana. Bikin malu aja.” Mereka berdua meninggalkanku yang masih berjibaku dengan dedaunan kering di halaman. Aku pun tak berminat mencari tahu. Bukan urusanku.
***
“Bu, belikan pitsa kenapa? Kalo balik dari pasar, oleh-olehnya martabak manis terus,” rengek Putra saat aku menyodorkan kudapan kesukaannya tersebut.
Aku mengernyit ke arah bocah lelaki sembilan tahun itu. “Lah, tumben. Biasanya malah nitip ini.” Aku mengangkat piring berisi martabak manis dengan berbagai topping.
“Putra juga pengen pitsa, Bu … kayak yang dimakan Dimas di rumah Mbah Min,” terangnya, “Tadi dia ngajak main ke rumah mbahnya itu, tapi tiba-tiba Putra disuruh pulang sama Mbah Min. Mereka mau makan pitsa, Putra gak dikasih. Kan Putra juga pengen,” tuturnya mencurahkan isi hati.
Owalah, pantas saja anakku tiba-tiba pengen, rupa-rupanya, rutukku dalam hati.
“InsyaAllah, besok kita titip sama Bapak. Minta belikan pas pulang dari pasar, ya, Nak.” Aku mengusap puncak kepala Putra, mencoba menghiburnya.[]
Balikpapan, 13 Maret 2021
RAY EURUS adalah nama pena dari seorang penulis asal Kota Minyak yang baru setahun lalu mendalami dunia fiksi. Penulis sudah menelurkan dua novel solo dan belasan antologi. Penulis dapat di sapa pada akun: Facebook Ray Eurus, IG @rayeurus, dan pos elektronik HYPERLINK “mailto:rayeurus87@gmail.com” rayeurus87@gmail.com.
Editor: Rinanda Tesniana