Perfectly Incomplete (2)

Perfectly Incomplete (2)

Perfectly Incomplete

Bagian 2 : Perihal Takdir

Semesta selalu melakukan hal yang baik, sebaik yang Tuhan takdirkan dan gariskan pada kehidupan seseorang. Itu yang Arum percayai ketika ia baru saja ditampar kenyataan dan kepahitan hidup. Mendapati berita kepergian Manaf dengan cara yang tragis, Arum merasa segala kehidupannya telah hancur. Hatinya memecah menjadi kepingan-kepingan luka yang semakin berdarah-darah. Pedihnya menjalar ke seluruh tubuhnya dan menyelip di antara aliran darah. Kenyataan itu meruntuhkan langit kebiruan yang baru saja mengatapi hati Arum. Tapi apa yang bisa ia perbuat, setelah hujan darah baru saja mengalir dan membuat bunga yang baru saja mekar dan harum menjadi amis dan semerah darah.

Iin mengatakan, Manaf mengalami kecelakaan ketika ia sedang membeli bensin di SPBU terdekat. Katanya, kepala Manaf retak hingga tulang pipi, darahnya menyembur dan berserakan bagai lautan darah yang menggenangi aspal. Kakinya patah, tangan kanan tergeletak dengan posisi terbalik. Ia terpental sejauh lima meter dari truk yang menabraknya. Manaf mengembuskan napas terakhirnya di tempat kejadian selagi menunggu ambulance.

Arum berbaring, berusaha menguatkan diri untuk mengunjungi Manaf di rumah sakit esok hari. Air mata yang sejak tadi mengalir, ia biarkan merembes membasahi sprei merah jambu itu. Matanya menatap nanar plafon kamar yang sunyi. Tak ada yang berbunyi kecuali detak jarum jam dan detak jantungnya yang semakin kencang. Di pikirannya, ia memanggil Manaf berkali-kali. Berharap semua ini hanyalah mimpi dan Manaf sedang tidur dengan keadaan yang baik-baik saja. Namun, seberapa keras pun ia mencoba, air mata itu lebih nyata ketimbang harapan yang semakin terkikis.

“Manaf …,” lirihnya sekali lagi dan masih menyelipkan sedikit harapan bahwa ini hanyalah mimpi belaka.

Arum menutup mata. Membiarkan jiwanya masuk ke dalam mimpi yang sesungguhnya. Barangkali, dengan begitu, semesta mau memutar–balikkan keadaan itu. Harapan yang bodoh, sebetulnya, sebab semesta tak seramah itu pada Arum.

***

Arum berjalan pelan dengan wajah berseri di samping Manaf. Seperti biasa, Arum menceritakan apa saja yang diingatnya. Kali ini teringat pada kejadian sebulan lalu, ketika ia mengelilingi toko buku dengan sahabatnya, Salwa. Sebetulnya, Manaf tak begitu menyimak apa yang Arum ceritakan. Ia lebih fokus pada kebahagiaan yang terpancar jelas di wajah Arum. Senyumnya muncul berkali-kali. Dan, senyum Arum adalah bagian yang paling disukai Manaf dari perempuan itu.

“Gimana? Sudah bisa mengerti kimia dengan baik?” tanya Manaf.

“Oh, Tuhan, kenapa kamu harus mengingatkanku pada hal itu saat aku sedang berbahagia seperti ini. Ayolah, tidak ada yang benar-benar kupahami dari kimia kecuali reaksi pembakaran yang akan selalu menghasilkan CO2 ketika ia sempurna, tapi jika tidak terjadi dengan sempurna, maka akan menghasilkan CO yang sangat buruk bagi kesehatan. Dan, kurasa itu seperti perasaanku.”

“Maksudnya?”

“Ya, kalau perasaanku tidak bertepuk sebelah tangan, maka itu adalah sesuatu yang sempurna. Seharusnya memang begitu, sih. Tapi, kalau perasaanku bertepuk sebelah tangan, itu berarti tidak sempurna. Tidak baik untuk kesehatanku. Kesedihan itu menghancurkan segalanya, kan? Bahkan aku tidak akan mau makan kalau aku sedang sedih.”

“Perumpamaan kamu itu terlalu rumit.”

“Ya, kimia memang rumit, serumit takdir kita.”

“Tapi, yang rumit itu lebih menarik, Rum,” ujar Manaf tenang.

Arum tidak membalas. Ia kembali berjalan. Wajahnya tak lagi secerah tadi. Yang perlu ia lakukan adalah menghindari pembicaraan semacam itu dengan Manaf. Atau, jika ia tidak menghindar, ia harus siap-siap untuk perang mulut dengan laki-laki itu. Manaf selalu semangat membicarakan segala hal tentang kehidupan dan takdir, sangat kontradiksi dengan Arum yang lebih cenderung tidak ingin membahas hal-hal seperti itu. Menurut Arum, hal itu tak berguna. Sekeras apa pun ia mencoba memahami kehidupan, ia takkan pernah mendapati takdir yang baik.

Arum menikmati tiupan angin yang berembus dengan arah yang berlawanan. Sesekali ia menarik daun rerumputan yang tumbuh di tepi jalan. Tangannya dengan lincah mencabik-cabik daun itu sepanjang perjalanan. Ia tidak mengerti kenapa ia selalu diam ketika Manaf mencoba membicarakan takdir dengannya. Dan, jika Arum sudah diam, Manaf pun akan diam. Dia hanya akan mengekori Arum, mengantarkan perempuan itu ke tempat yang ia tuju.

“Manaf,” panggil Arum sembari berhenti berjalan.
Manaf tak menyahut. Ia hanya mengikuti gerakan gadis di depannya itu. Ia juga berhenti. Sampai Arum kembali memanggilnya beberapa saat kemudian dan membalikkan badan. Manaf menaikkan sebelah alisnya seolah bertanya “ada apa?”. Arum merengut, ia berjalan mendekati Manaf dengan tangan yang masih mencabik-cabik daun hijau yang baru saja ia tarik.

“Kenapa kamu selalu berjalan di belakang? Tidak bisakah berjalan di sampingku?”

“Tidak, Arum,” jawab Manaf singkat yang langsung menusuk Arum tepat di hati.

“Kenapa?”

“Karena aku tidak ditakdirkan untuk berjalan di sampingmu. Tempatku adalah di belakang, Rum. Selamanya akan seperti itu. Tak akan pernah berubah, bahkan sampai bumi hancur berkeping-keping dan langit runtuh. Kita tidak bisa berjalan berdampingan, sekalipun kita ingin.”

“Aku akan selalu berjalan di sampingmu, bahkan sampai bumi hancur berkeping-keping dan langit runtuh.”

“Kamu tidak paham apa yang baru saja kamu katakan.”

“Aku memahami hal ini lebih dari siapa pun.”

*** 

Pukul dua belas malam, Arum masih tidak bisa memejamkan mata. Sejak tadi ia mengubah posisi untuk mencari posisi paling nyaman, tapi ia tidak menemukan posisi itu. Ia malah menemukan hal yang lain, sesuatu yang lebih menakutkan ketimbang hantu dalam film-film horor. Arum baru saja “menemui” Manaf.

Arum tidak mengerti apa yang baru saja ia lakukan. Gadis itu berjalan-jalan bersama Manaf. Ia merasa ia sangat bahagia sebelum ia kembali ke kamar ini. Namun, semua itu sirna seketika setelah ia menyadari bahwa sejak tadi ia hanya menatap plafon kamar. Sekali lagi, arum kembali pada rasa sakit yang baru saja menghilang untuk sejenak. Ia kembali menjatuhkan air mata, persis seperti hujan lebat yang masih jatuh dari langit. Keesokan paginya, ketika jam masih menunjukkan pukul tujuh, Arum sudah siap untuk berangkat ke rumah sakit. Ia harus menemui Manaf dan memastikan berita buruk yang ia terima semalam. Tak ada yang lebih penting daripada keadaan Manaf sebenarnya, pikir gadis itu. Ia bahkan tak memedulikan matanya yang membengkak karena menangis semalaman. Lagi pula, siapa juga yang akan peduli dengan penampilannya yang hancur saat kehidupannya sendiri sudah lebih hancur daripada hal itu? kalaupun ada, orang itu pasti bukan orang seperti Arum.

Setelah setengah jam mengendarai motor, Arum sampai di rumah sakit. Dengan tergesa-gesa ia memasuki rumah sakit. Bahkan ia tidak memarkirkan motornya dengan benar. Ia bahkan tak mengambil kunci motornya itu.
Setelah cukup lama mencari, Arum mendapati Iin bersama ibu dan adiknya tertunduk lemas di kursi tunggu. Dengan langkah pelan dan napas yang masih memburu, ia mendekati Iin. Melihat Iin yang menunduk dan ibunya yang menangis, Arum menyadari bahwa semua itu bukanlah mimpi.

“Kak …,” panggil Arum yang membuat Iin menoleh seketika.

Dengan cepat, Iin menarik tangan gadis itu dan membuatnya terduduk. Iin mendekap Arum, dan kembali menangis dalam pelukan itu. Iin tahu bahwa Arum juga mengalami rasa sakit seperti yang ia dan keluarganya rasakan. Arum dan Manaf sudah tumbuh bersama. Mereka memiliki banyak kenangan manis dan kenangan-kenangan itu tidak akan mudah mati. Oleh sebab itu, Iin merasa Arum bisa memahami perasaannya.

“Jadi, aku benar-benar tidak bermimpi, ya?” tanya Arum entah kepada siapa.

Sekali lagi, hujan luruh di pipi Arum.

***

Arum membuka mata dan menghapus bendungan itu. Di depan, sekitar lima meter dari tempatnya terduduk, Manaf berdiri dengan senyuman hangat. Melihat itu, Arum ikut tersenyum. Ia berdiri dan segera berlari ke arah laki-laki itu. Bahkan Arum tak meminta maaf setelah menabrak beberapa orang. Yang ada di pikirannya adalah Manaf, Manaf, dan Manaf.

Setelah sampai di depan laki-laki itu, Arum segera memeluknya. Ia menangis di dekapan Manaf dan mengatakan betapa perih rasa sakit yang menjalari tubuhya setelah mendengar kepergian laki-laki itu. Tetapi, ia bersyukur sebab sebenarnya Manaf tidak pergi, laki-laki itu masih berada di sisinya, bahkan dalam pelukannya.

“Berjanjilah untuk tidak pernah meninggalkanku,” pinta Arum yang tak dibalas dengan sepatah kata pun oleh Manaf.(*)

Bukittinggi, 2018

Vianda Alshafaq, anggota Kelas Menulis Loker Kata yang menyukai segala hal berbau cokelat.

Editor : Uzwah Anna

Grub FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/menjadi penulus tetap di Loker Kata

Leave a Reply