Mengusai Kisah yang Belum Terangkai
Oleh: Maurien
Serupa dinding, rencana pernikahan ini telah memisahkan aku dengannya. Tak ada lagi tawa, canda mesra antara kami. Janji yang paling suci nanti akan menenggelamkan semua kisah yang bahkan belum sempat aku tulis.
Tentang rasa yang datang hanya lewat suara, tentang sayang yang datang hanya lewat tulisan, tentang cinta yang menautkan dua hati sebelum takdir memaksanya berberaian.
***
“Dek.”
Suara berat di hadapan membuatku terkesima. Ia menatapku tajam, tak mampu kubalas. Aku hanya bisa menunduk, menenangkan hati yang sedari tadi menggelembungkan bahagia sekaligus nelangsa. Kedatangan yang tiba-tiba, membuatku hilang kata seketika.
“Kangen.”
Ah … ada yang menyumbat napasku. Aku menelan ludah, berharap rasa sedih ini ikut tertelan. Tak bisa. Masih serasa berhenti di tenggorokan. Satu kata itu membuat mataku berair. Siap tumpah kapan pun aku berkedip.
“Maaf.”
Bukan ia yang seharusnya minta maaf. Aku yang berkhianat pada cinta yang menanamkan diri kuat dalam hati. Aku sendiri bingung bagaimana mencabut rasa itu. Mencabut bahagia bersamanya yang telah mengakar jauh dalam dadaku. Aku berkhianat.
“Dek.”
Ia tahu perasaannya. Pun perasaanku. Serupa simpul tali yang diikat mati, terlalu erat kami mengaitkan rasa satu dengan lain, meski di dalam dada, dua hati sama-sama luluh lantak.
“Aku pulang, ya, Dek.”
Kukerjapkan mata berulang kali, berharap titik air yang menggenang masuk kembali. Tak menjelma jadi gerimis di wajah ini.
Jangan! Hati ini berteriak, tapi tak ada suara. Sebongkah sedih menutup laju bicaraku. Suaraku hilang berganti napas menderu. Sesak di hati semakin menguat.
“Mas pulang, ya?” Pamitnya kali ini sungguh menyakitkan. Mungkin ini terakhir kali aku melihatnya. Mungkin sampai di sini kisah kami.
Berat, aku mengangguk. Seiring anggukan kepala, air mata yang turun satu persatu, kuusap cepat dengan punggung tanganku.
Matanya yang terkadang tajam dan nakal, kini sayu menatapku. Mulutnya memang mengatakan pulang, tapi tubuhnya berkhianat. Tak beranjak sedikit pun dari posisinya.
“Bolehkah memelukmu sekali saja?” pintanya.
Meski sedih meraja, hatiku masihlah terjaga. Dengan lemah kugelengkan kepala.
Ia menghela napas dan menunduk. Kunikmati pemandangan sosok tubuh yang tertunduk lesu itu. Tak sanggup jika harus mengikat matanya dengan tatapku. Lelaki itu mengusap wajah. Seuntai rambut ikalnya jatuh di dahi. Ia mengangguk, seakan paham dengan kenyataan. Tak lama, ia berdiri lalu memakai jaketnya.
“Selalu berbahagia, ya, Dek. Mas sayang. Mas cinta … selalu.” Matanya merah, meski tak semerah mataku. Ia menangkupkan tangan di depan dada. Tanda pamit terakhir kalinya. Setelah berjalan mundur beberapa langkah, ia berbalik menuju gerbang rumahku.
Duniaku seakan berhenti. Tidak! Aku berdiri dan berlari ke arahnya. Kutarik bagian bawah jaket yang dikenakannya. “Mas ….”
Lelaki itu berhenti dengan kepala menunduk. Ia tak berbalik ke arahku.
“Aku juga sayang … janji ya, Mas juga bahagia?” Rengekanku bercampur isak. Runtuh sudah semua yang kubangun untuk menahan sedu hati.
Ia masih diam, mematung membelakangiku
“Mas ….”
Tiba-tiba dengan cepat, ia membuka jaketnya, lalu berbalik. Jaket itu dihamparkan menutupi kepalaku. Dengan cepat pula ia memeluk tubuhku yang berselimut jaketnya.
Kurasakan kepalanya gemetar, bersandar di bahu kananku. Aku tak bisa melihat apa pun selain jaketnya. Wangi maskulin membuatku memejamkan mata.
“Dek, Mas cinta. Mas sayang. Maafkan atas pelukan ini.” Suaranya bergetar. Seperti ada isak yang ditahan. Tangan yang menopang kepalaku, kurasakan seperti meremas lembut. Begitu pula tangannya yang merengkuh bahuku.
Aku terkesiap. Senduku berganti bingung. Lalu, akhirnya kesadaranku kembali. Dalam kukungan jaketnya aku menggeleng kuat, hingga pelukannya merenggang. Ia membuka jaket yang menutupi kepalaku.
Tubuh dan wajah kami belum pernah sedemikian dekat. Ia mematung. Kedua tangannya memegang jaket di depan dada. Hanya itu yang membatasi kami.
Yang aku tahu, tiap degup jantung serasa menggetarkan tubuhku. Dengan bodohnya, aku malah menatap langsung matanya. Membiarkan diri ini tenggelam dalam sisa air mata di sudut mata, yang tak sempat ia hapus. Dan benar, masih kutemukan cinta di sana. Mungkin serupa dengan yang ia temukan di mataku.
“Dek …,” desisnya. Matanya memindai tiap inci wajahku. Sama sepertiku. Dengan rakus, mata kami melahap wajah satu sama lain. Menelan dan menempatkannya di satu bagian memori otak kami. Entah untuk apa. []
Kotabaru, 11012021
Erien. Seseorang yang mencintai diam dalam keramaian.
Editor: Imas Hanifah N