Gadis Kecil Penjual Tisu

Gadis Kecil Penjual Tisu

Gadis Kecil Penjual Tisu
Oleh: Rainy Venesiia

Gadis kecil itu datang tiap hari, menawarkan tisu seharga dua ribuan yang dibawanya dalam kresek putih. Dia tampak riang ketika bukan hanya aku yang membeli. Tiga buah tisu yang dibeli kawan-kawanku selalu membuatnya tertawa senang, memamerkan gigi depannya yang ompong.

Belakangan kuketahui namanya Eda. Rambutnya yang selalu dikepang dua bisa dikatakan membuat wajahnya yang tirus terlihat manis. Dagunya lancip. Jika tersenyum, sekilas mirip Marshanda kecil saat memerankan sinetron “Bidadari”. Hanya warna kulitnya terlampau berbeda. Kulit Eda jauh lebih gelap, bahkan jika dibandingkan denganku. Mungkin karena setiap hari terpaksa berjemur di terik matahari.

Walaupun aku dan kawan-kawan sudah membeli dagangannya, dia tak segera beranjak pergi. Dia akan berdiri di depan etalase tempat berbagai lauk tersaji. Sering kuamati, matanya menatap lurus ke piring putih yang penuh dengan ayam goreng. Kadang matanya terpejam sebentar. Mungkin membayangkan lezatnya paha ayam, seperti yang dia lihat dalam film “Upin Ipin”. Itu pun kalau di rumahnya ada TV, atau kalau dia punya waktu nonton TV. Tak jarang kulihat, saat sore menjelang magrib dia masih berkeliaran di jalan, menawarkan tisu yang masih banyak.

Pernah suatu kali aku bertanya tentang ayah ibunya. Dia hanya menggeleng. Kupikir dia hidup bersama neneknya atau saudaranya. Tak ayal pikiran buruk tentang kehidupan gadis kecil itu melintas sebentar. Ngeri sekali jika dia benar-benar mengalami hal yang sering kulihat di sinetron atau berita kriminal. Lalu, terkenang lagu Iwan Fals. Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu ….

Namun, pikiran itu buyar begitu saja, ketika suatu sore dia membeli satu buah ayam goreng. Dia memilih sayap, bukan paha.

“Buat Ayah,” katanya dengan mata berbinar. Lalu, dia pun bercerita tentang ayahnya yang sakit tak bisa bangun dari tempat tidur. Dia pun bercerita tentang ibunya yang pergi dan tak pernah pulang.

“Memang Ibu ke mana?”

“Ayah bilang nyari uang ke luar negeri.”

“Berapa lama Ibu tak pulang?”

“Udah lama. Pokoknya lamaaaa sekali.”

Aku dan kawan-kawanku menahan napas. Mungkin juga air mata.

Sejak hari itu, entah siapa yang memberi komando, akan selalu kami siapkan dua bungkus nasi beserta ayam goreng untuk Eda bawa pulang. Kami berebut agar jatah makan siang kami yang dihitung untuk menggantinya.

Sudah seminggu Eda tak kelihatan. Tumpukan tisu di kamarku belum bertambah. Kawan-kawan pun sama mempertanyakan ketidakhadirannya. Kami merasa kehilangan. Bahkan, saat makan siang, kami saling berpandangan sebentar. Mungkin kami merasakan hal yang sama. Rindu Eda.

Kami terkejut ketika tiba-tiba dia muncul dari balik rinai hujan sore ini. Badannya kuyup. Bibirnya gemetar menggigil. Dia menangis.

“Ayah meninggal.” Hanya itu yang diucapkannya sambil terisak. Aku pun ikut menangis. Begitu pun dengan ketiga kawanku. Beruntunglah saat itu suasana kedai sedang sepi dan si bos sudah pulang.

Dia menyantap nasi putih dan ayam goreng dengan lahap. Ada rasa bersalah ketika memikirkan bahwa bisa saja dua hari ini dia tak makan, begitu melihat caranya makan yang membabi buta. Satu piring nasi putih dan dua buah ayam goreng tandas dalam sekejap. Kami tersenyum melihatnya.

“Terima kasih, Kak. Aku udah kenyang. Sekarang mau pulang.”

“Pulang ke mana?” tanyaku khawatir.

“Ke rumah.”

“Tapi ….”

Belum sempat aku melanjutkan kata-kata, Eda sudah berlari. Tak sempat ada yang mencegah karena saking cepatnya, seolah-olah berkelebat saja. Kami tertegun membayangkan hidupnya ke depan.

Besoknya kami berembuk dan sepakat akan mengajak Eda tinggal bersama salah seorang dari kami. Bisa pula bergantian. Lalu, aku yang kebetulan dapat giliran libur berangkat menuju tempat tinggal yang pernah Eda ceritakan.

Cukup sulit menjangkau area tempat tinggal Eda. Kawasan kumuh di sekitar rel yang tak lagi beroperasi. Setelah beberapa kali bertanya barulah kutemukan lokasi yang dituju. Namun, betapa kagetnya aku ketika melihat puing-puing bekas terbakar. Informasi dari orang sekitar tentang Eda dan ayahnya membuat tubuhku gemetar. Aku tergesa meninggalkan tempat itu diiringi tatapan banyak orang, sebelum hilang kesadaran. Aku tak sanggup membayangkan bagaimana dua sosok itu berdekapan dilahap si jago merah. Aku juga tak tahu cara menjelaskan pada kawan-kawanku bahwa Eda dan ayahnya meninggal seminggu yang lalu. (*)

Bandung, 10 Februari 2021

Menulis untuk bercerita. Sesekali curhat. Begitu kata penulis yang akrab disapa Mak Rainy.
Editor: Fitri Fatimah

Leave a Reply