Rindu yang Menggantung di Langit

Rindu yang Menggantung di Langit

Rindu yang Menggantung di Langit

Penulis: Lusiana

 

Aku menatap lampu yang berkelip-kelip di langit, bergerak perlahan semakin rendah. Itu pasti pesawat yang akan mendarat. Lampu-lampu terlihat berpendar terang. Kendaraan berseliweran di jalan-jalan yang saling silang dan naik turun. Jalan layang di bawah sana terlihat ramai lancar malam ini. Mungkin karena besok Minggu, jadi banyak yang keluar bersama keluarga.

 

Aku menghela napas panjang, mengembuskan perlahan, lalu menyeruput vanilla latte yang telah mendingin. Angin musim dingin berembus perlahan. Aku merapatkan jaket, tetapi tetap enggan beranjak dari tempat cuci baju yang tanpa jendela. Ini tempat favoritku untuk melamun. Entah sejak kapan aku jadi sering berdiam diri di sini sembari menatap pemandangan kota di malam hari.

 

Langit terlihat bersih. Beberapa awan terlihat bergerak perlahan. Ada rindu yang tiba-tiba menghantamku. Bayangan wajah anak-anak tergambar di langit. Wajah Ibu juga bapak pun tiba-tiba saja hadir dalam pikiran. Sudah hampir dua tahun aku meninggalkan mereka untuk bekerja di Taiwan. Saat-saat seperti ini yang kadang bisa membuatku terisak. Aku selalu menyembunyikan tangisanku. Selalu menunggu saat malam tiba, ketika semua penghuni sudah tertidur lelap. Maka saat itu aku bisa dengan bebas menangis, menggerung, tersedu dengan keras. Tak seorang pun akan merasa terganggu.

 

Jembatan yang membelah sungai besar di dekat apartemen tempatku bekerja, terlihat berwarna hijau. Warna lampu yang menyinarinya berganti dalam beberapa menit sekali sepertinya, atau jam, entahlah aku tak terlalu memperhatikan. Aku segera menghabiskan vanilla latte milikku yang sekarang sudah sepenuhnya dingin. Aku mengecek smartphone, dan menyadari bahwa sekarang waktunya mengganti diapers nenek yang kurawat. Dengan berat hati, aku berjalan masuk ke dapur, melewati ruang tamu, dan menuju ke dalam kamar tidur.

[Nduk, ibumu sakit, sudah seminggu ini ga mau makan.]

Sebuah pesan singkat masuk di smartphone milikku. Dari Bapak. Tanpa pikir panjang, segera kuhubungi nomor Bapak yang langsung diangkat. Setelah mengucap salam, aku mencoba video call. Ingin menatap wajah wanita yang telah melahirkanku 38 tahun yang lalu. Tak lama terlihat wajah Ibu, terlihat layu.

 

“Bu, kenapa? Mana yang sakit?” tanyaku. Kulihat Ibu mencoba tersenyum. Bibirnya terlihat kering, kulitnya sedikit pucat. Ibu menggeleng. Hati ini terasa nyeri.

 

“Bu, makan ya. Sehat ya, Bu. Tunggu anakmu ini pulang, ya. Nanti kita jalan-jalan,” begitu ujarku. Ada air mata yang mendesak memaksa keluar dari sudut mata.

 

“Kamu nangis, Nduk? Kenapa?” lirih terdengar suara Ibu dari speaker. Air mata semakin menderas mendengar pertanyaan dari Ibu. Perih.

 

“Ibu jangan sakit, ya. Kata Bapak, Ibu ga mau makan,” ujarku di sela tangis.

Wajah itu tersenyum lemah.

“Ndak papa, sebentar lagi Ibu juga sehat. Doakan, ya.” Setelah berbincang sebentar aku menutup telepon. Sebenarnya hampir setiap hari aku menelepon. Hanya saja ibu tak pernah bercerita kalau beliau sedang sakit. Bahkan dua hari lalu suaranya masih terdengar ceria. Omelannya pun masih terdengar penuh tenaga saat mengomeli anak pertamaku untuk segera mandi. Setelah malam itu, aku rajin sekali menelepon. Bahkan sehari bisa dua kali, tiga kali. Selama ada waktu longgar aku segera menghubungi Ibu. Aku juga banyak menasihati anak-anakku untuk lebih mandiri.

Sebulan kemudian sebuah pesan dikirim kakakku di aplikasi WhatsApp.

[Dik, yang sabar ya, ikhlas. Biar jalan Ibu lapang. Doakan saja Ibu diberi tempat yang baik.]

Membaca pesan dari masku, otak ini mencoba mencerna, walau hati ini terasa nyeri. Sedetik, dua detik tubuh ini bergetar hebat. Air mata mengalir tanpa bisa kutahan. Tubuhku terasa berat. Aku jatuh terduduk. Menangis sejadi-jadinya, menolak berita yang disampaikan kakakku. Bahkan sesaat aku lupa sedang bekerja di negara orang. Aku menangis tersedu meratapi kepergian Ibu yang begitu mendadak.

Semalam kami bahkan masih sempat bercanda melalui video call. Ibu terlihat sehat, bahkan sempat memasak mi kesukaan anak-anakku. Dengan tangan bergetar aku meraih smartphone milikku, mencoba menghubungi kakakku. Dering pertama langsung diangkat. Aku menangis, tak bisa bertanya.

“Ibu meninggal tadi ketika salat Subuh berjamaah di masjid. Tak ada sakit, tak ada apa pun. Ketika sujud rakaat terakhir, Ibu tak bangun lagi. Saat selesai salat, ketika dicek, ternyata Ibu sudah meninggal,” begitu penjelasan masku. Ada tangis yang tertahan dalam suaranya.

“Dimakamkan jam berapa?” tanyaku di sela tangis.

“Jam 10 nanti, doakan Ibu diberi tempat terindah, Dik. Doakan saja. Kami tahu kamu gak bisa pulang. Serahkan semua sama kami. Anak-anak nanti biar sama aku gak papa. Ikhlas, ikhlas.” Setelah berbincang sebentar aku menutup panggilan. Seharian ini aku banyak menangis sampai mataku bengkak dan terasa perih. Rasa menyesal, sedih, semuanya berkumpul jadi satu. Tak ada yang bisa kulakukan selain mencoba ikhlas dan berdoa.

Kenangan akan Ibu memenuhi pikiran. Semuanya, yang membuat air mata bahkan tak berhenti mengalir.

Bu, rinduku kini hanya bisa kulangitkan untukmu. Semoga engkau diberi tempat indah, ya, Bu. Malaikat tak bersayapku kini telah menghadap Sang Khalik.

Wanhua Taipei Taiwan 4 Maret 2021

Lusi, seorang ibu dari dua orang putri membranding diri dengan nama Lusiana Mak Serin.

 

Sumber gambar: Pinterest

Editor: Erlyna

Leave a Reply