Curhat

Curhat

 

Oleh: Lutfi Rosidah



Selalu seperti ini, setiap berkumpul keluarga besar, pembahasan enggak jauh-jauh dari masalah anak. Semua orang memamerkan kelebihan buah hatinya masing-masing. Kak Nea dengan putranya yang juara sain tingkat propinsi, Dek Zora dengan anaknya yang juara The Voice Kid. Lalu aku mesti cerita apa? Anak saja enggak punya.

 

Mas Bara hanya diam mendengar curhatanku. Dia juga, selalu begitu. Suamiku seperti enggak peka sama perasaan istri. Sudah seringkali aku menolak datang di acara keluarga besarnya, tetap saja suamiku memaksa. Alasannya enggak enaklah, nanti dikira sombonglah. Tapi kalau harus makan hati begini? Siapa coba yang kuat bertahan?

 

Belum lagi kalau orang-orang sudah mengeluarkan jurus sok tahu. Bakal banyak saran yang mereka ajukan padaku, mulai dari jamu herbal, dokter kandungan yang ampuh hingga makanan yang bisa mempercepat kehamilan. Memang hamil itu bisa dibikin sendiri? Aku heran dengan cara mereka bersikap: seperti enggak punya toleransi sama kondisiku. Kalau bukan karena aku masih menghormati mertuaku, aku sudah jawab semua omongan mereka dengan lebih pedas.

 

Mereka enggak merasakan sih, bagaimana aku berjuang menghadapi situasi ini. Bayangkan, 10 tahun lebih 3 bulan sudah aku bertahan. Apa dikira hidup bertahun-tahun di rumah sebesar ini hanya berdua tidak bosan? Aku juga jenuh. Aku lelah dengan gunjingan orang-orang. Terlebih mertuaku yang gemar sekali memuji anak-anaknya yang katanya subur, sedang aku, menantunya, busung. Sudah macam peluru saja.

 

Memang begitu, ya, jadi perempuan yang enggak bisa melahirkan keturunan? Dihina, dilecehkan dan tidak dihargai.

 

Setahun setelah menikah, aku nurut kata suamiku, berhenti kerja. Katanya, mungkin karena kesibukanku, membuatku capek. Jadilah susah hamil. Demi bisa segera punya momongan aku mengalah diam di rumah. Keadaan ekonomi jelas berbeda, jika sebelumnya setiap bulan aku menerima gaji yang lumayan gede, selanjutnya aku hanya menadahkan tangan, menerima gaji suami yang jelas lebih sedikit dari gajiku. Mas Bara anak lelaki satu-satunya di keluarganya. Sepeninggal bapak mertua, siapa lagi, dialah yang menopang hidup ibunya. Kakak dan adik perempuannya tidak bekerja. Mereka menggantungkan hidup pada gaji suaminya yang hanya pegawai pabrik biasa.

 

Kadang terbesit pikiran ingin menyudahi pernikahan ini. Tapi usiaku sudah kepala empat, mau memulai lagi hubungan dari nol, kok ya berat. Kalau ketemu lelaki yang baik, kalau enggak? Setidaknya suamiku itu, perhatian. Dia enggak segan mencuci, ngepel, nyetrika juga masak. Meski begitulah, dia enggak pernah sekali pun mau membantah gunjingan keluarganya.

 

Sejauh ini aku masih diam. Bahkan ketika suami Kak Nea berusaha melecehkanku. Cuih! Sudah beruban juga masih genit. Kalau mau istrinya tetap bohay tanpa timbunan lemak, kenapa minta punya anak? Semua ada konsekuensinya. Disuruh senam kek, dikasih uang buat perawatan, biar cukup mulutnya saja yang kucel mukanya jangan.

 

“Sepertinya senjata Bara tumpul, Net. Mau cobain punya Abang?” goda suami Kak Nea ketika aku duduk sendiri di teras belakang.

 

Kurang ajar! Aku laporkan istrinya baru tahu rasa. Aku melengos meninggalkanya. Sempat dia menangkap tangan kananku, segera kutepis dengan kasar.

 

Demi kedamaian jiwa, aku memaksa Mas Bara periksa ke dokter. Aku capek terus-menerus dianggap mandul. Padahal dokter bilang aku sehat dan subur. 

 

Kenyataan yang kutakutkan terjadi, hasil pemeriksaan suamiku menunjukkan masalah pada sel spermanya. Jelas sudah siapa yang perlu berobat sekarang. Tak tega juga kalau melihat Mas Bara dalam kondisi terpuruk begini. Dia diam sepanjang perjalanan pulang. Sampai rumah pun dia masih diam, melamun. Aku tinggalkan dia di teras, sepertinya nanti kami bakal bicara dari hati ke hati, mencari solusi terbaik pada masalah ini. 

 

“Maafkan aku Sayang. Selama ini aku tak mendengarkanmu.” Mas Bara berlutut di hadapanku.

 

“Kemana kamu selama ini, membiarkan aku jadi bahan olokan keluargamu? Kamu kejam, Mas!” Kutumpahkan semua kekesalanku sekaligus kekecewaanku padanya.

 

“Tolong jangan katakan pada keluargaku, Sayang. Aku malu.”

 

Enak saja Mas Bara bersikap begitu. Enggak mau jadi tersangka. Lalu kalau mereka bertanya aku harus jawab apa, jika ternyata ucapan suami Kak Nea benar? Apa perlu aku mencoba senjatanya untuk membuktikan kalau aku adalah perempuan sempurna?(*)

 

Lutfi Rosidah, lahir dan besar di Malang, Kota Apel. Bercita-cita jadi penulis terkenal dan best seller. Aamiin.

Leave a Reply