Mia Mau Pulang

Mia Mau Pulang

Mia Mau Pulang

Oleh    : Nining Kurniati

Dari tempatnya berdiri Mia perlu melangkah 20 kali untuk sampai ke rumahnya. Tapi dari jarak sejauh itu terdengar suara cekcok Ayah-Mama dan itu membikin Mia mencelos. Dia jadi mematung. Telinganya awas. Jantungnya berdenyut cepat. Suhu badannya meningkat. Mia tidak sanggup. Dia berbalik arah sambil berkaca-kaca.

Mia akan kembali ke rumah Ina, meskipun mungkin mamanya Ina tidak akan suka. Beberapa menit yang lalu dia diminta pulang ke rumahnya, tapi sekarang malah Mia mau kembali ke rumah itu. Mia merasa tidak enak dan takut dimarahi. Tapi mau bagaimana lagi kalau pulang sekarang, bisa-bisa dirinya akan jadi sumber cekcok orang tuanya. Mama akan menyalahkan ayah Mia yang menurutnya tidak bisa bertanggung jawab dengan anaknya. Tak mau kalah ayah Mia melakukan hal yang sama, mama Mia tidak becus jadi istri harusnya bisa membantu suami.

Setelah berbelok 3 kali Mia sampai di rumah Ina. Pintu yang berpagar cokelat itu sedang tertutup. Suasana rumah senyap. Motor mamanya Ina yang sering terparkir di teras tidak ada, mungkin mereka keluar, pikirnya. Mia kecewa. Ia tidak tahu harus ke mana. Ke rumah teman yang lain ia sungkan karena tidak terbiasa. Tak tahu harus melakukan apa, Mia duduk di depan pagar sambil memeluk lutut, lalu mendongak melihat arakan awan putih di langit biru.

“Mia ini sudah mau Maghrib, pulang sana!”

Mia menelengkan kepala ke sumber suara. Itu tetangganya yang tinggi sekali, yang kulitnya kecokelatan, berkumis, berjanggut dan memiliki suara yang menggelegar seperti guntur di musim hujan. Semua temannya takut pada Om Muis. Kalau dalam cerita dia adalah sosok monster jahat pembuat kekacauan. Tapi Mia biasa saja. Dan tanpa ngomong apa pun Mia berdiri mau balik pulang ke rumah.

“1. 2. 3. 4. 5. 6 ….” Mia berjalan sambil menghitung setiap langkahnya. Langkah yang pelan seperti mainan robot yang mau habis baterainya. Ia merasa seolah tulangnya hendak putus dan akan tersambung kalau dia menemukan sebungkus roti atau sepiring nasi. Dia tidak bertenaga. Harusnya tadi siang Mia makan nasi dan itu sudah akan cukup baginya, tapi tidak ada nasi di penanak dan di meja juga sama. Mia cuma minum dua gelas air dan sekarang perutnya seperti berisi udara saja.

“Habis main di mana, kenapa baru pulang sekarang? ‘Kan Mama sudah bilang kalau sudah mau Maghrib pulang.” Mama Mia menekan pengucapan pulang dan mungkin tanpa sengaja, dia menekan pegangganya di tangan Mia, membikin anak itu menringis menahan sakit. Mia mau bilang kalau tadi dia pulang, tapi mamanya keburu melangkah yang seperti berlari bagi Mia. Mia tersiksa menyejajarkan langkah. Paru-parunya seperti digantungi batu. Napasnya pendek-pendek. Ia seperti mau mati.

“Sudah Ayah bilang, jangan nakal! Baru pulang kalau dicari Mama,” ucap ayahnya ketika mereka baru melewati pintu rumah kosan.

“Kamu juga begitu,” balas mamanya Mia.

“Mi-a ma-u man-di.”

Mia sudah paham karena berulang kali diulang mamanya, kalau setiap pagi dan setiap sore setiap orang harus mandi. Seminggu yang lalu Mama bilang, dia sudah capek mengulang dan sebenarnya Mia juga capek mendengar. Dia berjanji, dia akan patuh dan tidak akan melanggar lagi. Dan ternyata berlama-lama di kamar mandi itu bagus,  di dalam sana dia tidak akan mendengar orang tuanya bertengkar. Cukup putar kerangnya dan air akan mengucur, suara Ayah-Mama teredam, pikirnya.

Mia juga sudah pintar pakai baju sendiri. Kalau badan sudah kering, ambil baju dan celana di lemari paling bawah, pasang sendiri, lalu ambil sisir dan menyisir rambut, dan pakai bedak putih kalau ada. Itu kata mamanya, dan ini juga sudah berulang kali didengarnya, saking seringnya dia hapal bagaimana intonasi Mama kalau bilang.

Dia sudah melakukan itu semua. Badannya sudah harum, artinya dia sudah boleh minta pelukan Mama. Meski sebenarnya dia tidak pernah merasa badannya bau. Tapi mau bagaimana lagi, Mama sering bilang Mia tidak mau dipeluknya kalau Mia belum mandi. Hidung Mama berkerut lalu dia akan bilang, Mia bau.

Mia berlari ke Mama dan mendapat pelukan seperti yang dimaunya. Tidak hanya itu, dia juga digendong dan mendapat ciuman di pipi kanan 2 kali, pipi kiri 3 kali, di kening 1 kali. Lalu Mama memandangnya dan tersenyum. Dari wajah yang tersenyum itu, Mia tahu kalau Mama habis menangis. Matanya bengkak dan kelopaknya kemerah-merahan. Di sudut pipi kiri Mama ada totol merah yang lebar seperti bekas jiplakan tangan. Mia meraba pipi itu dan menciumnya. “Terima kasih,” ucap Mama. Lalu mereka berdua makan roti dan minum segelas teh kemasan. Malamnya, sekitar jam 8 mereka tertidur. Ayah pergi entah sejak kapan. Dan Mia tak masalah, yang penting dipeluk Mama. Toh, Mia selalu mau pulang itu demi Mama.

(*)

Januari 2020

 Nining Kurniati, menyukai awan putih dan langit biru. Di atas sana seperti ada harapan.

Leave a Reply