Mantan, kok, Romantis? (Part 5)

Mantan, kok, Romantis? (Part 5)

Mantan, kok, Romantis?

Part 5 : Jodoh atau Bukan

Oleh : Cahaya Fadillah

 

Perlahan suara langkah kaki atasan tampan itu menjauh dari hadapanku dan Tirta. Detik selanjutnya kami saling pandang dan melempar senyum bersamaan. Terlihat, tatapan tidak suka yang kulihat dari mata mbak ayu itu, ia berdecap-decap kesal dengan wajah tegang dan terlihat tidak senang.

Ah, kini aku yakin dia memang kekasihnya Tirta. Karena hanya dengan saling melempar senyum bersama Tirta saja, mbak ayu itu malah menjadi kaku saat menatapku. Harusnya aku tidak begini. Tidak boleh kesal pada makhluk yang namanya saja aku belum tahu. Astagfirullah, ampuni aku Tuhan.

“Namamu?” tanya atasan kece itu di hadapan Vera dan mbak ayu itu. 

“Saya Vera Utami, Pak. Biasa dipanggil Vera,” ujar Vera dengan suara lantang. 

“Waw,” ujar Pak Bram tiba-tiba menatap Vera dengan mata serius tanpa berkedip. Matanya begitu fokus menatap Vera dan tidak berpaling sedikit pun darinya. 

“K-kenapa, Pak?” tanya Vera mengerutkan dahi atas jawaban yang ia terima serta tatapan aneh yang mungkin saja membuatnya merasa tidak nyaman. 

“Kamu melamar ke kantor saya atau mau jadi pasukan loreng?” tanya lelaki itu sambil mengguncang daun telinganya sambil memicingkan mata merasa tidak nyaman. 

“Ke sini, Pak. Saya melamar ke sini. Saya tidak minat jadi tentara,” lirih Vera terlihat bingung, lalu melirikku seakan bertanya apa yang salah dengan mengerutkan dahinya. 

Kami yang ada di ruangan saling tatap, kecuali Pak Bram yang masih sibuk menatap Vera dari ujung kepala hingga kaki, bahkan menengok ke arah belakang, memperhatikan sampai ke tumit, lekuk badan, dan gaya rambut sahabatku itu. Tatapan aneh. 

Vera yang ditatap dan diperhatikan tentu menjadi risi. Namun demi kesopanan terhadap atasan, ia masih mencoba tersenyum dengan baik walau terlihat sangat kaku. 

“K-kenapa, Pak? Apa ada yang salah?” tanya Vera hati-hati.

“Tidak, semua sempurna. Rambutmu, tubuhmu, kaki yang jenjang, kulit yang putih, dan suaramu yang cetar membahana,” ujar Bapak Bram terkekeh.

“Suaramu itu, Nona, sedikit membuat saya terkejut. Terlalu kuat, lantang dan tegas, berbeda dengan tampilanmu yang feminim dan manis. But so far, I like it. It’s okay.” 

Atasan gagah itu tersenyum lagi menatap Vera, tapi gadis itu malah menunjukkan wajah merah bata alias malu. Aku sebagai teman, sebenarnya sudah lama ingin protes tentang ciptaan Tuhan yang sedang merasa di atas langit itu. 

Wajah cantik, tubuh aduhai, rambut sempurna. Begitu bangun tidur, Vera tidak perlu mencari sisir seperti yang setiap hari kulakukan. Rambut hitamnya yang lurus, selurus tiang listrik itu terlihat indah jika digerai atau diikat. Belum lagi tubuhnya yang semulus jalan tol. Beuh, lelaki kaleng-kaleng pun aku rasa akan menjadi lelaki insaf untuk menjadi lelaki sejati jika menatap Vera yang cantiknya hampir mendekati sempurna.

Semua yang ada pada dirinya membuatku sungguh iri. Otak keras kepala itu sangat encer alias pintar. Vera adalah tempat contekan jika aku merasa mentok tidak menemukan jawaban saat ujian waktu kuliah dulu.

Tapi … nah, tapinya ini yang bikin lelaki kabur dan memikirkan ulang untuk menjadikan Vera kekasih hati. Suaranya yang serak, melengking, dan kuat membuat dia menjomlo sejak lama. Vera yang kukenal adalah sosok gadis cantik yang tidak pernah punya pacar sejak kuliah. Kejombloannya bahkan menjadi trending topic karena tidak sesuai dengan kecantikan hakiki yang dimilikinya. Tidak satu atau dua orang saja, bahkan beberapa orang pernah mendekat, mencari perhatian agar bisa mendapatkan hati gadis batu itu, tapi tidak pernah ada yang berhasil mendapatkan gelar sebagai pacar. Mungkin, salah satu alasannya karena terkejut dengan suara Vera yang terdengar seperti klakson Fuso bermuatan penuh. 

Atasan ganteng itu kini mendekat ke arah Mbak Ayu yang sewot melihatku dekat dengan Tirta itu. Wajah tegangnya terlalu kelihatan sehingga terlihat lucu di mataku. Jika orang lain mungkin melihat Bapak Bram seperti melihat pangeran berkuda putih yang menjemput mereka untuk dibawa ke istana cinta, lain lagi untuk Mbak Ayu yang saat melihat Bapak Bram seperti melihat hantu gentayangan di siang yang panasnya sangat cetar. Melihat hal itu, setan dalam diriku merasa menang. Rasakan dikau, Mbak! Tidak ada hujan, angin, bahkan badai, tatapannya malah menghunjamiku, membuat aku bergidik ngeri sedikit penasaran atas tatapan itu. 

“S-Saya Claudi Ayu, Pak,” ucapnya menunduk antara takut dan malu.  

Mataku langsung membesar menatap gadis itu. Jadi bukan hanya gaya dan logat yang terdengar ayu, tapi namanya memang Ayu. Tidak bisa dipungkiri, sepertinya aku bisa jadi dukun di siang hari. 

“Buset dah,” ujarku spontan menatap gadis yang masih sibuk menatap lantai sambil komat-kamit. Entah membaca mantra atau berdoa yang sedang ia lakukan, yang pasti kecepatan mulut dan matanya berbanding lurus dengan wajah tegang yang terlihat. 

“Ada apa, Niki?” tanya atasan yang memiliki badan bagus itu menatapku dengan mengerutkan dahi. Tatapan menghunjam itu kini beralih menatapku. 

Kali ini aku benar-benar tergagap. Takut kalau dicap tidak punya sopan santun. Benar saja, Pak Bram kini mendekatiku. Langkah kakinya yang pelan tapi menginjak keramik mahal yang terlihat mengilat di lantai itu membuat suara decit ngeri sehingga membuat aku merinding, bersiap untuk lari jika diperlukan. 

“Niki, berdiri!” ujarnya menatapku tanpa kedip. 

Dengan cepat aku berdiri, memperhatikan lantai yang licin dan berkilau, ikut-ikutan Mbak Ayu yang ayu sekujur tubuh, komplit. Sebenarnya ada rasa takut saat menatap langsung wajah atasan ganteng itu, takut dipecat sebenarnya. Karena kesialan yang menjadi-jadi, kini mulut pun tidak bisa dikontrol untuk diam tanpa mengomentari sesuatu.

“Kenapa? Ada yang salah?” tanyanya menatapku lekat, semakin lekat, lebih dekat, dan sangat dekat. Sehingga membuat jantungku kembang-kempis merasakan gejolak benih cinta yang bercampur dengan rasa takut dipecat. 

Tuhan, jangan biarkan aku lupa bernapas. Aku belum menikah dengan dia. Please. 

“Ya sudah, aku putuskan tim kita dibentuk sekarang,” ujar Pak Bram menjauh. Rasanya jantungku berdebar lebih kencang lagi. Aku merasa serba salah, didekati jantungku kembang-kempis, dijauhi malah diserang perasaan dengan debar yang tidak bisa dijelaskan. Akhirnya, dengan sedikit menarik napas dan melepaskannya diam-diam ke belakang akhirnya aku lega. 

“Niki bersama Tirta dan Vera bersama Ayu! Bereskan barang-barang kalian dan ikut saya,” ujar Pak Bram berlalu melewati pintu besar hitam yang kami lalui tadi. 

Kami berempat akhirnya saling pandang. Kali ini pandangan Tirta berubah teduh menatapku. Tuhan, tolong jantungku bisa-bisa betulan jatuh ke lantai hari ini. Kedua lelaki gagah itu membuat kepalaku berputar dan jantungku berdetak lebih cepat, seperti genderang mau perang ala lagunya Ahmad Dhani. 

Niat hati untuk tersenyum pada Tirta, aku malah memperlihatkan wajah kaku dengan senyum yang aku rasa menakutkan untuk dipandang siapa saja. Tersadar akan hal itu, akhirnya aku memilih pergi meninggalkan ruangan Pak Bram yang terasa sangat nyaman. (*)

Bersambung …

 

Part 4 (Sebelumnya)

Part 6 (Selanjutnya)



Cahaya Fadillah, lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat. Menyukai literasi sejak duduk di bangku sekolah dasar, tapi baru aktif tahun 2017. Ibu satu anak bernama Muhammad Adz Dzikri Faeb ini sangat suka menulis. Sampai sang suami memberi gelar untuknya “Si Tukang Karang”.

Editor : Devin Elysia Dhywinanda

 

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply