Mantan, kok, Romantis?
Part 4 : Hati yang Terus Berdebar
Oleh : Cahaya Fadillah
“Iya, Mbak. Niki itu mantannya Tirta. Mereka pernah saling cinta, pernah ada rasa sayang gitu. Ya, ‘kan, Nik, Ta? Enggak tahu tuh kalau sekarang, tidak ada yang tahu ‘kan?” ujar Vera mendelik menatapku dan menatap Tirta dengan seulas senyum yang tidak bisa diartikan tujuannya.
Saat itu juga aku merasa ingin mengambil dan membenamkan mulut Vera ke dalam saku rokku. Aku ingin mengambilnya dengan kejam, kemudian berjalan keluar ruangan, belok ke toilet tadi, lalu menghanyutkannya lewat wastafel dengan aliran air yang sangat kencang. Kali saja mulut itu bisa sampai ke laut dan tidak akan balik lagi, menghilang. Dasar manusia ember! Membuatku malu sepertinya adalah hobi barunya akhir-akhir ini.
Tatapan mataku mengirim sinyal pada Vera sehingga gadis itu melirik. Namun bukannya minta maaf, Vera malah langsung terbahak menatapku.
“Gue enggak salah ya, Nik. Lu masih cinta?” tanyanya larut sendiri dalam kebahagiaan, sedangkan wajahku kini terasa memanas dan terbakar karena malu yang tidak bisa disembunyikan. “Eh, atau jangan-jangan lo juga masih punya rasa yang sama, Ta?” tanya Vera asal. Namun, sekilas wajah Tirta juga tampak merah dan kuyakin sama panasnya dengan panci penggorengan Mbak Mijan—pembantu di indekos.
“Di sini dilarang cinta-cintaan, kecuali izin dari saya.” Sebuah suara berat membuat tawa Vera mendadak berhenti. Serempak kami menatap ke arah suara itu berasal.
Seorang lelaki muda berjalan ke arah kami. Single breasted hitam dengan dua kancing sejajar terlihat cocok dan pas di badannya. Rambut hitamnya yang mengilap dan panjang diikat tepat di puncak kepala bagian belakang, sehingga terkesan lebih jantan. Belum lagi otot tangan yang terlihat memenuhi lengan jas yang ia kenakan. Nanti, aku harus bertanya di mana gerangan lelaki ini fitness dan membentuk otot yang bikin wanita tersipu malu. Bergayut di lengan itu sepertinya cuma khayalan semata, tapi sepertinya seru juga.
“I-iya, Pak.” Vera terdengar gugup saat menanggapi pernyataan barusan.
“Oke, langsung saja. Saya Bram, anak direktur di sini. Ah, sebenarnya itu tidak penting. Tapi, harus saya sampaikan karena takut nanti ada pertanyaan seperti yang sudah-sudah.”
“Tentang apa, Pak?” tanya Mbak Ayu langsung menanggapi.
Bapak Bram terlihat berpikir keras, memijit kepalanya yang kuyakin tiba-tiba sakit, lalu mendekat ke arah Mbak Ayu dengan cepat.
Wanita itu terlihat menahan napas, entah takut atau takjub dengan ciptaan Tuhan yang terlihat sempurna itu. Suara berat, tubuh yang atletis dan nyaris sempurna, serta tidak dipungkiri anak orang kaya.
Ibu, doakan anakmu berjodoh dengan dia. Eh, kok malah berdoa begini? Lalu, Tirta? Ah, biarkan saja, kalau mantan ya mantan. Mungkin dulu aku salah pilih sehingga jagaian jodoh orang. Kali ini aku yakin Bapak Bram adalah jodohku yang dikirimkan Tuhan.
Khayalan itu membuatku tersenyum senang, sehingga tidak mendengar pertanyaan Bapak Bram yang kini ternyata sudah berdiri tepat di depanku. Lelaki itu berdiri tegap, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku dan memicingkan mata. Entah apa yang ia pikirkan tentangku saat itu.
“Sudah kembali ke sini? Tidak lagi di dalam duniamu sendiri, ‘kan, Nona?”
Pertanyaan Bapak Bram membuatku tidak bisa menjawab apa-apa. Ya, jelas, dari tadi memang aku sibuk di duniaku sendiri yang kubuat bersama dirinya.
“Niki!” Teriakan Vera membuatku kembali ke dunia nyata.
Seketika roh yang terbang melayang bersama mimpi dan angan-angan itu kembali ke dalam tubuh sehingga aku tergagap menjawab pertanyaan lelaki gagah di depanku.
“Maaf, tadi Bapak Bram tanya apa ya?” kilahku menggaruk kepala yang tidak gatal.
Aku yakin saat itu juga Vera menutup wajah karena malu punya teman sepertiku. Lalu, Tirta menutup wajahnya karena pernah mencintai aku. Dan Mbak Ayu … bisa jadi tertawa di dalam hatinya atas sikapku yang memalukan hari ini.
Kepada Tuhan, kumohon putar jam di dinding itu lebih cepat. Aku ingin pulang ke indekos. Aku butuh obat penenang atas hati dan hari yang berantakan. Sepiring nasi goreng, semangkuk bakso, macam-macam gorengan, jus buah yang segar, juga es krim paling besar.
“Nama kamu Niki?” tanya Bapak Bram menatapku lebih dekat.
Sikap yang ia lakukan saat ini sungguh membuat aku kembali terlempar ke alam khayal dan tidak ingin kembali.
Tiba-tiba keningku diusap, diraba, dan diterawang. Bukan, bukan, cuma diusap. Mungkin Bapak Bram memastikan apakah karyawannya sehat jasmani dan rohani. Oh, Tuhan. Sumpah hari ini aku ingin menghilang, malu dengan semua orang dan kembali dengan wajah baru, karena wajah lama itu bisanya hanya membuat malu.
“Kamu, sakit?” tanya Bapak Bram menatapku iba kali ini.
“T-tidak, Pak. S-saya sehat,” jawabku sangat gugup karena telapak tangan lelaki itu masih saja menempel di jidatku yang lebar.
“Jadi?”
“Jadi apa, Pak?”
“Niki, ini waktunya perkenalan. Kamu ke mana aja sih?” Suara Vera terdengar lebih kuat kali ini.
“Ah, maaf. Nama saya Suelita Niki Minami, Pak. Biasa dipanggil Niki dan saya jomlo!” ujarku menatap mata Bapak Bram dengan serius.
“Kamu jomlo?” tanyanya mengerutkan dahi.
Sudah cukup aku mempermalukan diri untuk hari ini. Seandainya Doraemon itu memang benar-benar ada, aku bakalan pinjam Pintu ke Mana Saja. Iya, ke mana saja asal menghilang dari tatapan mereka. Malu, mulut ini tidak bisa diajak kerja sama.
“M-maksud saya, saya belum menikah, Pak. Begitu,” ucapku meralat kata jomlo agar lebih elegan terdengar dan diganti dengan kata “belum menikah”.
“Oh, baiklah. Jadi kamu cinta siapa tadi?” Pertanyaan Bapak Bram membuat jantungku berpacu lebih cepat. Ternyata cobaan hari ini memang begitu banyak, hingga sekali lagi wajahku memerah dan panas saat Bapak Bram menatapku dan beralih menatap Tirta detik berikutnya.
“Tidak ada, Pak. Saya beneran jomlo. Suer.” Entah kenapa kedua jari kini terangkat mantap untuk membuktikan kejomloanku yang menyedihkan.
Lelaki itu kini berjalan menjauh sambil mengangguk-angguk seperti burung kutilang.
“Kamu?” Kini pertanyaan beralih kepada Tirta. Namun, yang terkejut dan berdebar malah jantungku.
Pertarungan sengit mendapatkan cintaku dimulai di sini. Ah, sudah bikin malu, malu-maluin diri sendiri, daya khayalku masih saja terlalu tinggi.
“Saya, Yoga Tirta Samudera.” Kini giliran Tirta yang terlihat kaku saat Bapak Bram mendekati dan berdiri tegap di depannya.
“Tirta, panggilannya, Ta. Begitu?”
“Betul, Pak,” ujar Tirta serius.
“Lucu kalian. Niki, seperti nama lelaki. Ta, Ta malah kayak nama perempuan. Apa kalian jodoh?” tanya Bapak Bram menatap kami bergantian.
Jantungku yang tadi sudah mulai normal kini berdetak lebih kencang seperti genderang mau perang seperti lagunya Ahmad Dhani. Walaupun di dalam hati ikut mengaminkan, tapi kalau Tirta diganti dengan Bapak Bram, aku sungguh tidak menolak, Tuhan.
“Kalian pacaran?” tanya Bapak Bram menatapku dengan mata menyipit, lalu membesar saat menatap Tirta.
“Tidak, Pak!” ujar kami bersamaan. (*)
Bersambung ….
Part 3 (Sebelumnya)
Part 5 (Selanjutnya)
Cahaya Fadillah, lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat. Menyukai literasi sejak duduk di bangku sekolah dasar, tapi baru aktif tahun 2017. Ibu satu anak bernama Muhammad Adz Dzikri Faeb ini sangat suka menulis. Sampai sang suami memberi gelar untuknya “Si Tukang Karang”.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda