Mantan, kok, Romantis?
Part 2 : Hari Pertama Menuju Masa Depan
Oleh : Cahaya Fadillah
Aku mematut diri di depan cermin. Baju kemeja putih, terlihat pas. Rok hitam selutut, oke. High heels dengan tinggi tujuh sentimeter, sesuai peraturan perusahaan, terlihat pas di kakiku yang semok. Make up sederhana, juga terlihat sempurna. Tinggal rambut yang akan dilepas dari ikatannya untuk menyempurnakan penampilan hari ini. Ah, biarkan saja, bisa dilakukan nanti, bahkan sebelum masuk kerja.
Sekali lagi, kupandang cermin panjang setinggi badan yang tepat berada di depanku. Kuoles lipstik merah jambu di atas bibir untuk kedua kalinya agar penampilan hari ini terlihat lebih segar.
Beuh, ternyata aku cantik juga! Kalau Tirta melihatku, pasti dia bakalan klepek-klepek dan minta balikan sambil sujud-sujud. Eh, kok, kepikiran Tirta, padahal sudah hampir dua tahun aku tidak lagi mendengar kabarnya.
Apa hatiku rindu padanya? Segera kuraba dada sebelah kiri. Mencoba mendengarkan debaran jantung sendiri. Saat mengatakan nama Tirta, debaran di hati semakin kuat dan terdengar lebih dekat. Tidak mungkin aku masih memiliki rasa untuknya setelah diputuskan dengan cara tidak normal begitu, bukan?
Ya, buatku caranya memutuskanku tidak normal. Pertama, dia tak lagi membawa camilan untuk kami nikmati, perubahan itu sangat mencolok, seratus delapan puluh derajat ia berubah. Kedua, dia ingin mengakhiri kisah kami, tetapi dia malah mengajakku ke taman, tempat kenangan manis kami dimulai, dan bersikap biasa saja begitu mengatakannya, seakan tidak terjadi apa-apa, seakan tidak merasa melukai siapa-siapa.
Baiklah, jika tidak lagi ada cinta untukku di hatinya. Tapi, coba lihat di dalam dada ini, masih ada cinta di sana, tidak berkurang sedikit pun walau kami sudah lama bersama. Parahnya lagi, Tirta memutuskan berpisah di tempat dia menyatakan cintanya padaku dahulu. Yang dia lakukan itu jahat, si Cinta film AADC pasti bilang begitu kalau Tirta ada di depan dia.
Ponsel yang sudah kumasukkan ke dalam tas mengalunkan nada instrumen lembut. Aku menggeram kesal karena sedikit terganggu oleh suara panggilan telepon di pagi yang sibuk, di hari pertama bekerja sebagai karyawan perusahaan besar yang kuimpikan sejak lama. Cepat kurogoh ponsel berwarna putih itu, mencari-cari di antara tisu kering, tisu basah, bedak tabur, bedak padat, lipstik, lipgloss, blush-on, sisir mungil berwarna biru, buku catatan kecil dan besar, serta pulpen dan uang receh yang berserakan.
Begitu berhasil mendapatkan ponsel pipih kesayanganku, aku menekan tombol hijau yang menyala dan menaruhnya di telinga. “Yup, halo. Siapa?” tanyaku kemudian.
“Lo malah nanya ini siapa? Nomor gue udah dihapus?” tanya suara serak-serak banjir itu di seberang sana. Entahlah, aku tidak tahu dia berada di mana.
“Eh, lo, Ver. Kenapa?” tanyaku tersenyum malu-malu entah pada siapa. Sudah jelas di kamar hanya ada aku, ranjang, lemari kecil dan sebuah cermin. Oke, biarkan cermin yang membalas senyum cantik itu.
“Kok kenapa? Lo mau berangkat bareng kan katanya? Ini gue di depan kosan lo. Buruan, kita nanti telat.” Vera terdengar mendengus kesal. “Lo mau foto kita dipampang besar di meja resepsionis sebagai karyawan teladan yang di hari pertama sudah telat masuk kerja?” Teriakan Vera membuat akal sehatku kembali ke posisinya. Aku diam, dan begitu terhubung dengan seluruh nadi, dengan kecepatan penuh aku langsung lari keluar indekos.
“I-ini lagi kunci pintu kamar, sabar ya, Ver. Gue ….” Percakapan itu diselesaikan begitu saja dengan kejam. Vera menutup telepon tanpa permisi dan salam.
Ah, hari ini kenapa semua orang begitu kejam padaku. Mulai dari Tirta yang tiba-tiba melintas di pikiranku, lalu Vera, sahabat yang katanya sayang aku tapi hobi berteriak padaku. Gadis cantik itu makan apa ya? Sampai teriak-teriak melulu dari pertama kenalan dulu. Semoga saja dunia tidak ikut kejam hari ini, Tuhan.
“Bismillahirrahmanirrahim.” Kuucap doa di dalam hati untuk memulai hari ini. Berdoa agar di kantor itu bisa bersosialisasi dengan baik, punya teman yang banyak, bosnya baik, teman-temannya cakep dan ketemu jodoh terbaik, hadiah Tuhan karena membiarkan aku kelamaan jomlo. Aamiin.
“Woi, sepuluh detik lagi lo ndak sampe ke mobil gue. Gue tinggal!” Suara teriakan Vera kembali membuat lamunanku buyar, ambyar, hilang ditipu angin.
Pintu kamar kukunci dengan cepat, lalu berlari menuruni anak tangga dan sampai di depan mobil Vera tanpa terpeleset di anak tangga yang sangat mungil itu.
“Ah, kejam lo, Ver. Masih pagi lo suruh gue lari, nanti make up-nya luntur gimana?”
“Ini sudah jam berapa? Lo lihat jam enggak? Apa jam di kamar lo rusak? Mau gue beliin?”
Dengan cepat aku mengangguk ditawarkan jam baru. Mumpung Vera lagi baik apa salahnya ‘kan?
“Ngawur, malah ngangguk lagi. Tinggal sepuluh menit lagi atau kita tamat, Niki!”
“Injek gas, Ver. Ayo, nanti kita telat!” Teriakanku membuat Vera benar-benar menginjak gas mobil dengan cepat setelah duduk dengan baik di dalam mobil kesayangan Vera.
Rasa mual terasa menyerang dari perut dan mulai naik ke atas tenggorokan. Merasa tidak kuat, saat mobil Vera belum diparkirkan dengan sempurna, aku sudah lari keluar dan menumpahkan segala yang ada di dalam perut. Mulai dari bakso, es teh, keripik cabe, keripik nangka, keripik ubi, keripik udang, lotek, nasi goreng, dan tiga donat yang kumakan semalam.
“Lo ndak apa-apa, Nik?” ujar Vera yang tiba-tiba sudah berada di belakangku sambil mengusap punggung beberapa kali.
“Iya, tidak apa-apa. Cuman sayang aja,” balasku sambil mengelap mulut dengan tisu yang disodorkan Vera yang pasti diambil dari dalam tasku.
“Sayang apa?”
“Pencernaan gue?”
“Lu sakit?” Telapak tangan Vera langsung menempel di jidatku yang lebar.
“Bukan!” jawabku sambil mengibaskan tangannya kesal.
“Trus kenapa? Lo hamil?” ujarnya dengan mata membola.
“Stres lo, Ver. Amit-amit,” ucapku memukul-mukul jidatku dan jidat Vera bergantian, berharap jangan pernah terjadi kecuali kalau sudah menikah dan bahagia dengan suami tercinta.
“Jadi apa dong?” Ia mendesak menanti jawaban. Walaupun Vera teman yang konyol, menyebalkan dan pecicilan. Tetap saja, Vera adalah sahabat terbaik yang aku punya setelah Tirta.
Tuh, kan. Tirta lagi. Hai, Hati, anggap Tirta udah mati ya. Jangan sebut-sebut nama dia lagi. Dia tidak ada di sini.
“Ya sayang kan makanan gue semalam, belum dicerna dengan sempurna udah harus keluar begitu saja,” ucapku memamerkan deretan gigi putih dan bersih karena odol berwarna hijau yang mahal itu.
“Niki! Gue lagi ndak bercanda. Dasar lo, ah.” Tepat setelah Vera berucap, sebuah pukulan di kepala yang dilancarkan oleh Vera mendarat sehingga membuat aku mengaduh.
“Lo, pagi-pagi udah jahatin gue!” Teriakku tidak terima.
“Marahnya nanti aja, Non. Dua menit lagi atau lo dipecat!” Secepat kilat, aku berlari menyusul Vera dengan langkah sedikit terseok.
“Makanya jangan kebanyakan makan, kasihan sepatu lo, Nik. Kayak nampung kaki gajah!” ujarnya terbahak.
“Vera!” Teriakku tidak terima. (*)
Bersambung …
Sebelumnya (Part 1)
Selanjutnya (Part 3)
Cahaya Fadillah, lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat. Menyukai literasi sejak duduk di bangku sekolah dasar, tapi baru aktif tahun 2017. Ibu satu anak bernama Muhammad Adz Dzikri Faeb ini sangat suka menulis. Sampai sang suami memberi gelar untuknya “Si Tukang Karang”.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda