Aku Tak Pernah Meminta

Aku Tak Pernah Meminta

Aku Tak Pernah Meminta

Oleh: Alena Winker

Semua berawal ketika aku berusia tiga belas tahun. Malam itu malam di mana cuaca tiba-tiba berubah, terjadi hal yang di luar perkiraan BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika). Seharusnya malam ini malam yang biasa, seperti malam-malam kemarin menurut BMKG, namun ternyata terjadi hujan badai disertai kilatan petir yang menyambar-nyambar. Akibat sebuah kilatan petir yang luar biasa kencang suaranya aku terbangun. Samar-samar kudengar suara Ayah dan Ibu di ruang tamu tengah beradu argumentasi. Perlahan aku menuruni ranjang, berjalan mengendap-endap, membuka pintu dengan pelahan agar tidak menimbulkan suara. Kudekati ruang tamu dengan jalan berjinjit. Suara Ibu dan Ayah semakin terdengar jelas dikupingku, mereka tengah beradu argumentasi tentangku. Ayah ingin Ibu keluar kerja saja dan fokus mendampingi tumbuh kembangku yang akan segera memasuki usia remaja. Sementara Ibu tidak mau karena dia merasa karirnya sedang berada di puncaknya.

Semakin hari Ayah dan Ibu semakin sering beradu argumentasi, walau tidak di depan mataku langsung. Tapi aku tahu pasti dari suara-suara gaduh yang mereka timbulkan, entah itu suara kaca yang jatuh atau suara pukulan pada tembok. Anehnya, setiap kami sarapan bersama seolah-olah tidak terjadi apa-apa semalam antara mereka. Entah memang sudah selesai masalahnya atau memang mereka ingin menyembunyikannya dariku.

Tanpa terasa hubungan mereka yang seperti itu lama-lama menyebabkan ayahku jarang pulang, dan ibuku tidak peduli akan hal tersebut. Ibu hanya fokus pada pekerjaan kantornya. Waktu bersama kami perlahan mulai hilang. Aku pun berusaha menyibukkan diri demi mengisi waktu luang yang dulu digunakan sebagai waktu kumpul bersama Ayah dan Ibu. Entah dengan bermain game atau melakukan kegiatan tambahan di sekolah.

Hari ini usiaku tepat tujuh belas tahun, seharusnya hari ini adalah hari yang akan dikenang seumur hidupku. Hari aku pertama kali dianggap dewasa. Hari yang seharusnya diisi oleh pesta seperti teman-temanku, namun hari ini adalah hari terburuk yang pernah kulalui. Bukan pesta kejutan yang diberikan padaku, melainkan sebuah kisah yang membuat hatiku pilu. Ternyata aku anak di luar nikah, dan Ayah bukanlah ayah kandungku.

Kalian penasaran dari mana aku tahu hal itu?

Malam itu Ayah dan Ibu kembali beradu argumentasi. Tanpa mereka sadari, aku masih terjaga, dan dari adu argumentasi mereka itu aku menemukan fakta jika ibuku hamil di luar nikah. Kekasihnya kabur. Beruntung ayahku mau membantu untuk menyelamatkan muka keluarga besar Ibu dari aib ini. Mereka menikah lalu pindah dan menetap di kota ini. Dari pembicaraan mereka juga aku dengar betapa ibuku sangat menyesal melahirkan aku ke dunia. Berulang kali ia dulu mencoba untuk menggugurkan kandungannya, namun selalu digagalkan ayahku.

Aku bingung, marah, sedih, dan kecewa. Saat itu pikiranku menjadi gelap. Apa yang harus kulakukan? Sifatku mulai berubah menjadi anak yang pemurung, mudah emosi, pendiam dan apatis.

Berapa bulan aku memikirkan ini, dan keputusan aku sudah bulat. Segala yang kuperlukan untuk rencanaku sudah kusiapkan, tinggal melaksanakannya. Hari yang kutunggu akhirnya tiba, setelah memecahkan si jago dan si fogi, dua celengan kesayanganku, aku menuju stasiun. Kalian pasti berpikir aku melarikan diri dari masalah bukan? Tapi bagiku ini bukan lari dari masalah, melainkan solusi agar Ayah dan Ibu tidak lagi bertengkar.

Lima hari sejak kepergianku dari rumah, Ibu mengirimkan pesan agar aku pulang. Aku hanya menjawabnya.

Bukankah ini yang Ibu inginkan? Aku yang tak pernah hadir dalam kehidupanmu, agar karirmu tetap berada di puncak. Aku tahu Ibu sangat membenciku dan pastinya sulit untuk Ibu berpura-pura baik di depanku, ‘kan? Aku tahu Ibu tak pernah menyayangiku dengan tulus. Semua itu Ibu lakukan hanya demi citra Ibu di depan banyak orang. Aku tak ingin menjadi sumber pertengkaran di antara Ibu dan Ayah walaupun aku tahu Ibu tak pernah mencintai Ayah. Sudahlah, Bu. Berhenti berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Aku tahu betapa Ibu sangat membenci kehadiranku, meski aku tak pernah meminta untuk dilahirkan ke dunia. Aku tak pernah meminta untuk lahir dengan kondisi yang seperti ini. Aku ingin memiliki keluarga yang benar-benar utuh, bukan keluarga yang penuh kepura-puraan. Aku tak pernah meminta kemewahan yang di dalamnya hanya kesepian yang ada. Aku lelah, Bu. Aku lelah diam-diam memendam pedapatku, lelah berpura-pura tak mendengar adu argumentasi kalian. Aku akan kembali saat waktunya telah tiba. Waktu di mana kita sudah sama-sama berdamai dan mampu menerima apa yang telah terjadi pada diri kita. Semoga Ibu dan Ayah selalu berbahagia. (*)

Alena Winker, 

Editor: Evamuzy

Sumber Gambar: pinterest.con

Leave a Reply