Gadis di Ruang Tunggu Pelabuhan
Oleh: Cokelat
Pekerjaan sebagai seorang penjaga keamanan di pelabuhan, membuatku selalu bertemu dengan banyak orang setiap hari. Meskipun kecil, pelabuhan ini disinggahi kapal besar sebulan sekali, dan kapal kecil hampir setiap hari. Kapal-kapal itu mengangkut penumpang dan barang. Tinggal di sebuah pulau dengan banyak pulau-pulau kecil lain di sekitarnya, menjadikan kapal sebagai alat transportasi utama bagi masyarakat di wilayah ini.
Aku menikmati pekerjaanku. Apa yang bisa terjadi di sebuah pelabuhan kecil dengan dermaga yang pendek pada sebuah pulau yang hanya berupa satu titik kecil di dalam peta? Tidak ada. Di sini sangat damai. Semua orang ramah dan saling pengertian. Bahkan, aku tak perlu menjaga pintu keluar dan masuk ke ruang tunggu dengan ketat. Tidak seperti di pelabuhan-pelabuhan raksasa di kota-kota besar, semua orang di sini bebas keluar masuk.
Para pengantar akan mengantar kerabat atau teman mereka sampai ke samping kapal. Tak jarang, jika barang bawaan si penumpang banyak, pengantar ikut membantu hingga masuk ke dalam kapal. Begitu juga dengan penjemput. Mereka sudah berbaris menunggu di tepi dermaga, bahkan sebelum kapal bersandar.
Di tengah hilir mudik penumpang yang datang dan pergi, ada seseorang yang datang hampir setiap hari. Seorang gadis manis berambut panjang. Dia akan duduk di bangku kayu yang ada di ruang tunggu selama berjam-jam, dan menatap kosong jauh ke arah samudra yang ada di hadapannya.
Awalnya, aku dan beberapa temanku menjadikan gadis itu bahan obrolan. Kami heran dengan tingkahnya. Namun, tak ada satu pun dari kami yang berniat mendekati apalagi bertanya padanya. Menurut kami, hanya orang aneh yang akan melakukan hal seperti itu, dan tak ada satu pun dari kami yang ingin berurusan dengan orang aneh. Toh, gadis itu tidak mengangggu. Seiring berjalannya waktu, kedatangan gadis itu menjadi hal biasa buat kami.
Suatu sore, setelah kunjungan rutinnya selama bermingu-minggu ke pelabuhan, aku terpaksa menegur sang gadis. Hari itu, semua teman-temanku sudah pulang duluan. Gadis itu masih duduk di bangku besi dengan pandangan kosong ke arah matahari yang hampir terbenam. Bola raksasa kemerahan kini tinggal separuh, menyisakan cahaya jingga yang menyinari air laut. Separuhnya lagi telah tenggelam, seolah ditelan oleh ujung samudra.
Sudah waktunya menutup kantor pelabuhan ini, termasuk mengunci ruang tunggu. Kapal terakhir telah berangkat hampir sejam yang lalu menuju pulau kecil di sebelah kanan pulau. Tiga petugas kebersihan juga sudah selesai melaksanakan tugasnya.
Aku berdiri di depan pintu keluar sambil memperhatikan gadis itu. Apa yang ada dalam pikirannya? Apa dia tidak sadar bahwa hari menjelang malam, dan kami akan segera tutup? Perlahan, aku melangkah mendekatinya.
“Ehm … maaf, Nona. Saya akan mengunci ruangan ini.” Aku terpaksa menyapanya sambil berdeham, untuk menarik perhatian.
Menunggu beberapa saat, gadis itu tidak menunjukkan reaksi. Dia tetap bergeming. Bahkan tatapan matanya tidak beralih sedikit pun. Apa suaraku kurang keras?
“Nona … permisi!” Aku yakin, kali ini dia pasti mendengar suaraku.
Perlahan, mata dengan bola mata yang hitam besar itu mengerjap. Lalu, kepala indah yang ditutupi rambut hitam lebat sebahu perlahan mendongak ke arahku. Astaga, dia ternyata sangat cantik. Aku benar-benar baru memperhatikannya. Seluruh bagian-bagian pada wajahnya proporsional, bentuk yang indah di tempat yang tepat, terbingkai dalam sebentuk wajah bulat telur dan terbungkus kulit kecokelatan yang sangat menarik.
Dia masih diam, dan terus memandangku dengan mata indahnya yang sedikit berair. Ah, kenapa aku yang jadi salah tingkah begini? Haruskah aku mengulangi ucapanku?
“Maaf, No ….”
“Aku yang minta maaf.” Dia berdiri setelah memotong ucapanku.
Gadis itu kemudian menatap ke arah samudra sekali lagi, lalu berbalik dan melangkah menuju pintu keluar. Aku masih terpaku di tempatku berdiri. Menatapnya menjauh. Memperhatikan setiap gerak langkahnya yang begitu anggun. Hei, aku ini kenapa? Untung tidak ada teman-teman yang melihat tingkahku ini. Jika ada, aku pasti jadi bahan ledekan mereka.
Sejak saat itu, si gadis berambut lebat sebahu berhasil mencuri perhatianku. Aku mulai suka memperhatikannya. Aku mulai rajin menegur gadis itu. Pelabuhan akan segera tutup, selalu menjadi alasan untuk mendekatinya. Seperti biasa, dia hanya mengangguk dan mengucapkan maaf, kemudian berlalu begitu saja.
Kali ini aku sengaja mendekati gadis itu. Para petugas kebersihan sudah pulang. Jika sebelum-sebelumnya aku hanya berdiri saat menegurnya, maka kali ini kuputuskan untuk duduk. Berharap, dia tidak segera berlalu dan meninggalkanku.
Aku duduk berjarak dua bangku di sebelah kanan gadis cantik itu. Kantong plastik berisi dua buah roti dan dua botol minuman dingin kuletakkan di bangku kosong yang mengantarai kami.
“Maaf. Ehm … ini ada sedikit roti dan minuman. Minumlah. Apa kau tidak haus?” Semoga suaraku tidak terdengar gugup. Heran, tidak biasanya aku segugup ini jika berhadapan dengan seorang gadis.
Dia menoleh dan menatapku lekat. Lagi, aku terpesona pada mata gadis ini. Mata dengan bola mata hitam yang besar dan sedikit berair.
Tanpa mengucap sepatah kata, dia kembali memandang ke arah samudra. Gadis ini seperti batu. Aku menarik napas.
“Apakah aku harus segera pergi?” Dia tiba-tiba berbalik dan kembali menatapku.
Aku terkejut. Ini adalah kalimat terpanjang yang diucapkannya setelah hampir dua minggu aku berusaha mengajaknya berbicara.
“Tidak. Tentu saja tidak. Aku akan menemanimu jika kau masih ingin menikmati pemandangan indah ini. Matahari terbenam selalu tampak menakjubkan. Iya, ‘kan?” Aku tersenyum ke arahnya. Berharap, dia tidak buru-buru pergi.
Dia hanya mengangguk kecil. Kemudian, kembali menatap samudra. Beberapa saat aku hanya memandangnya dari samping. Namun, tidak ada tanda-tanda gadis itu akan kembali berbicara denganku. Aku mengalah. Baiklah, aku akan menemaninya menikmati matahari terbenam. Aku pun meluruskan dudukku, dan ikut memandang ke arah samudra, pada bola raksasa yang mulai tenggelam di ujung cakrawala.
Sampai bola raksasa itu benar-benar tenggelam seutuhnya, kami masih saling berdiam diri. Keadaan mulai gelap. Kemudian, gadis itu tiba-tiba berdiri sambil menoleh sekilas ke arahku. “Terima kasih,” ujarnya cepat, lalu bergegas menuju pintu keluar.
Aku bahkan tak sempat mengangguk padanya. Benar-benar gadis yang unik. Biarlah, setidaknya hari ini ada sedikit kemajuan. Dia mengucapkan kalimat lain selain “maaf”. Kuraih kantong plastik yang isinya tak tersentuh, lalu bergegas pulang.
Sejak hari itu, aku semakin sering menemani gadis itu. Duduk berdua di bangku ruang tunggu pelabuhan hingga matahari tenggelam sepenuhnya. Awalnya, dia irit bicara. Kata-kata yang terucap dari bibirnya sangat terbatas. Aku tak peduli. Duduk menemaninya hingga hari menjelang malam telah menjadi candu bagiku.
Perlahan, gadis itu mulai membalas pertanyaan-pertanyaanku. Dia tak lagi diam seperti awal-awal aku menyapanya. Aku sudah tahu nama dan tempat tinggalnya. Dia bahkan sudah menceritakan alasannya datang ke pelabuhan setiap hari. Alasan yang membuatku patah hati.
Yah, hatiku terluka ketika tahu bahwa dia datang ke pelabuhan hampir setiap hari karena menunggu kekasih hatinya yang sedang berlayar. Kekasihnya yang berjanji akan segera pulang, tapi nyatanya tak ada kabar hingga belasan purnama.
Setelah mendengar penuturan gadis itu, seharusnya aku mundur. Seharusnya aku tahu diri dan menjauhi. Aku telah mencoba, tapi hanya mampu bertahan selama dua hari. Dua hari yang sungguh menyiksa. Aku tak mampu hanya melihatnya dari kejauhan, sementara seluruh hal tentang dirinya melekat erat dalam hati dan pikiranku.
Setelah dua hari mencoba menghindar, aku kembali menyapanya. Dia tersenyum melihatku.
“Ke mana saja kau dua hari ini? Aku kesepian duduk di sini. Apakah kau sakit? Aku ingin bertanya pada teman-temanmu, tapi aku malu.” Ada binar di mata indahnya.
Aku terpaku melihat senyum gadis itu. Ya Tuhan, betapa aku merindukannya. Baru dua hari. Bagaimana jika kelak kekasihnya datang, dan dia tak lagi berkunjung ke sini? Apakah aku mampu tak melihatnya berhari-hari?
“Apa yang kau pikirkan? Duduklah.” Tangan mungil itu menepuk bangku kosong tepat di sebelahnya.
Aku menatap bangku itu. Apa dia ingin aku duduk tepat di sampingnya? Bagaimana denganku? Siapkah aku hancur jika nanti dia benar-benar pergi? Ah, aku tak peduli. Itu urusan nanti. Aku ingin menikmati waktuku bersamanya, sebelum kekasihnya datang dan membawanya pergi. Aku tak ingin memikirkan hal yang lain.
Kembali, aku hanyut dalam perasaanku. Menikmati setiap detik yang kami habiskan bersama. Hingga hari yang kutakutkan akhirnya tiba. Hari di mana kekasihnya datang. Aku sedang melipat sajadah ketika seorang temanku bergegas masuk dan menyeretku ke pintu.
Dari pintu musala aku melihatnya di sana. Berdiri berhadapan dengan seorang lelaki. Sepertinya lelaki itu tiba dengan kapal besar yang baru saja bersandar. Ada yang berdebar kencang di dadaku.
Mereka saling menatap untuk sesaat. Ketika lelaki itu melangkah maju, gadis itu pun melangkah lebih cepat dan segera menghambur ke pelukan kekasihnya. Aku bergerak mundur. Tak ada lagi yang perlu kulihat di luar sana. Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menghirup oksigen yang seketika terasa berkurang dalam udara di sekitarku. Inilah saatnya. Saat gadis itu akan benar-benar pergi.
Sore ini, seperti sore-sore sebelumnya. Sunyi. Semuanya telah pulang sejak tadi. Aku duduk sendiri di bangku ruang tunggu pelabuhan. Bangku yang selama ini selalu diduduki oleh kekasih hatiku. Aku tersenyum. Bodoh! Aku menertawai nasibku sendiri. Sudah hampir satu purnama sejak aku terakhir melihatnya dalam pelukan sang kekasih. Mirisnya, aku masih saja terus memikirkan gadis itu.
Bola api raksasa itu telah benar-benar tenggelam sepenuhnya. Kegelapan mulai mengambil alih. Aku memejamkan mata. Sampai kapan aku begini? Sampai dia benar-benar pergi dari hati dan pikiranku? Kapan?
Aku berdiri. Sudah saatnya pulang. Aku melangkah pelan menuju pintu keluar, dan baru menyadari ada sesosok tubuh yang berdiri di dekat pintu. Siapa itu? Itu ….
“Hai. Apa kabarmu?” Aku menyapanya duluan, setelah beberapa saat kami berhadapan dan tak ada tanda-tanda dia akan berbicara.
Dia diam.
“Kau … kau dari tadi di sini? Apakah kau butuh sesuatu?” Tuhan, betapa ingin aku menariknya ke dalam pelukanku dan mengatakan aku sangat merindukannya.
Dia masih diam.
Sial! Kenapa pikiranku buntu? Apa yang harus kulakukan? Kenapa dia tak menjawab?
“Baiklah, jika kau tak ingin bicara. Ayo, kita pulang. Aku akan mengantarmu.” Astaga, kenapa kata-kata itu yang keluar dari mulutku? Bodoh! Katakan bahwa kau merindukannya!
“Apa kau sering duduk di bangku itu? Bahkan saat aku tak ada?” Akhirnya, mulut mungil itu mengeluarkan suara.
Aku hanya mengangguk pelan.
“Apakah kau seperti aku? Baru menyadari sesuatu setelah sekian lama?”
Aku mengernyit. Maksudnya? Sekarang, aku yang diam. Kubiarkan dia menatapku dengan matanya yang berair. Mata indah dengan bola mata hitam besar yang selalu kurindukan.
Dia menelan ludah, lalu menunduk. Tangannya memilin-milin ujung kemeja biru tua yang dikenakannya. Apakah dia gugup?
“Maaf. Aku baru menyadarinya. Aku … ternyata alasanku datang ke sini setiap hari telah berubah. Aku tak lagi datang untuk menunggunya, tapi untuk bertemu denganmu. Aku tak tahu sejak kapan. Maafkan aku …. “
Apa dia bilang? Aku masih diam dan berdiri kaku di depannya. Jangan-jangan aku salah dengar!
Dia mulai terisak. “Aku baru menyadarinya. Saat bersamanya, aku hanya memikirkan tentangmu. Tentang kita. Aku tak tahu, ada apa denganku? Aku rindu duduk bersamamu setiap senja. Rindu bercengkerama denganmu, berbagi cerita dan tawa. Aku … aku …. “ Sekarang, isaknya semakin keras.
Terima kasih, Tuhan. Semoga kami berjodoh. Aku akan melamarnya malam ini.
Kamar Cokelat, 15022021
***
Cokelat, jatuh cinta pada cokelat dan semua turunannya.
Editor: Rinanda Tesniana
Sumber gambar: https://images.app.goo.gl/HxPuL4GBqogaQQ6MA