Benih
Oleh: Lutfi Rosidah
Tak ada orang yang ingin hidup dengan dendam. Dan begitu pula seharusnya Satria. Perasaan yang sangat ia benci itu terus saja menggerogoti hatinya. Perasaan yang kelak, beberapa waktu kemudian, ia sesali keberadaannya.
Pemuda berjambul dengan giwang bulat besar, hingga melubangi telinganya itu mendengkus kesal. Hampir saja dia melempar gelas berisi air ke arah jendela ketika seekor kucing hitam melompat dari luar. Dia mengumpat melihat kucing itu kembali melompat dan mengambil sepotong paha ayam goreng di atas meja. Sial! Keluhnya. Sudah tak ada lagi sisa lauk yang bisa dimakan. Kalau saja dia tak sedang malas bergerak, sudah dipastikan kucing itu akan menggantikan lauknya malam ini.
Pandangan Satria tak acuh pada meja bundar berdebu di depannya. Air putih dalam gelasnya sudah tandas menyisakan beberapa tetes di dasarnya. Matanya menerawang menembus tembok yang permukaannya telah mengelupas di depannya. Nampak seorang gadis menunduk, meremas rok hitamnya sambil tersedu.
“Tidakkah kamu ingin menikahi saya?”
“Kita sudah sepakat dari awal. Kamu mau melakukannya, rela, tanpa paksaan. Kita sama-sama menikmatinya. Apalagi yang kau inginkan.”
“Saya mencintaimu.”
“Aku? Berandal terminal ini. Ah! Ayolah jangan bercanda!” Satria tertawa keras, membuat beberapa orang yang kebetulan sedang menunggu angkutan menoleh padanya.
Mereka hanya menatap sekejab. Mereka tampaknya sudah terbiasa dengan hal remeh macam itu, terlalu sering menjadi biasa dan tak menarik lagi.
“Seharusnya kamu sudah pikirkan dari awal!”
Suasana kembali bising dengan teriakan kondektur bus, desau mesin kendaraan yang sudah tak layak dipakai. Udara mulai tak bersahabat untuk kesehatan paru-paru, asap kendaraan yang membuat jelaga di bagian belakang bus dan bau minyak wangi murahan yang bercampur dengan keringat orang-orang. Gadis itu menutup mulutnya mual. Perutnya menggelinjang, ingin mengeluarkan isinya. Ayahnya tak terlalu pandai memasak, mie instan dan telur ceplok menjadi makanan istimewa tadi pagi. Sejak kecil dia selalu sarapan menu yang sama hampir setiap hari. Kalau ada rejeki lebih, ayahnya pulang dengan sekantong kresek berisi 2 bungkus nasi padang. Ayahnya tak pernah lupa makanan favorit putri semata wayangnya.
“Saya harus bilang apa pada ayah?”
“Itu urusanmu. Apa pentingnya untukku.”
“Kamu kejam!” Gadis itu berbalik setelah berteriak. Dia lupa akan perutnya yang mual. Kakinya menghentak penuh amarah. Dibelahnya kerumunan orang yang mengantri di depan peron. Terdengar umpatan seorang lelaki membawa tas besar yang sempoyongan, terdorong tangan kecil gadis itu. Dia tak lagi peduli. Dia terus berlari, tak pedulikan suara sirine kedatangan kereta api di persimpangan aspal dan ril.
Teriakan orang-orang seperti gema takbir yang saling bersautan di malam lebaran. Satria tersadar dari lamunannya, menoleh, mencari sumber keributan. Hatinya tergerak mendekati kerumunan.
Seketika jantung Satria berhenti berdetak. Waktu tak bergerak detik itu juga. Gadis itu terkulai dengan satu kaki yang sudah tak berbentuk lagi. Kaki Satria turut kehilangan tulang. Dia tak mampu menopang berat badannya sendiri. Dia berlutut di depan gadis yang mungkin pingsan atau malah tak akan pernah bangun lagi.
Seorang petugas penjaga palang pintu mengeluarkan ponsel, menelepon rumah sakit terdekat. Seorang lagi yang mengenakan seragam serupa meminta orang-orang menjauhi TKP, termasuk Satria.
“Dia teman saya, Pak. Izinkan saya di sini.”
Petugas itu mengangguk, kembali meminta orang-orang menjauh.
Satria ingin memeluk gadis itu, tapi tangannya seketika tremor tak mampu bergerak. Mulutnya membuka menutup, namun tak keluar sepatah kata pun. Dia ingin berdoa, mungkin dengan doa gadis itu akan selamat. Sayangnya Satria lupa cara berdoa, sudah terlalu lama dia tak melibatkan Tuhan pada setiap urusannya.
Suara ambulan memecah keriuhan orang-orang. Kerumunan membelah dengan sendirinya ketika sirine makin nyaring mendekat. Petugas jaga mendekati Satria menanyakan perihal nomor telepon yang bisa dihubungi. Dia tak punya. Dia tersadar tak benar kenal siapa gadis yang diaakui sebagai teman itu. Dia tak punya nomor kontak keluarganya.
Beruntung petugas itu masih waras menghadapi situasi. Dia mendekati ambulan di mana tubuh gadis itu telah dimasukkan. Dia mengambil tas, mencari sesuatu yang bisa menjadi petunjuk. Sebuah ponsel masih selamat, segera dibukanya dan mencari nomor yang terakhir dihubungi.
Satria mengamati segala tindakan orang-orang berbaju putih. Mereka memintanya ikut masuk dalam mobil ambulan menuju rumah sakit. Seperti orang dungu, Satria hanya mengangguk dan menoleh setiap ada pertanyaan. Dia hanya sempat berkata satu kalimat yang dia sendiri tak sadar mengapa dia ajukan, “Apakah dia akan selamat?”
Petugas tak memberi jawaban. Tangan kanannya menjulur ke depan sejajar dengan perutnya, menyilakan Satria masuk. Dia duduk, menunggui gadis yang wajahnya kini seputih kertas.
Dalam perasaan yang asing, Satria mengingat peristiwa siang itu. Tak semua mampu dia urai, semua terjadi begitu lekas. Alkohol membuat otaknya tak sepenuhnya mencerna apa yang di hadapannya. Ketika seorang gadis mendekatinya, Satria menarik tangannya, tak memedulikan tangan mungil yang terus berontak, menarik jemari Satria, hendak melepaskan diri.
Sudah kepalang basah, pikir Satria. Perempuan toh sama saja. Dia pikir gadis itu adalah penyaluran dendamnya. Misinya sudah bulat, 100 gadis harus tunduk di kakinya. Dan gadis mungil itu melengkapi yang ke 100.
Dalam kamar remang sempit, yang baunya apek, dengan sebuah kasur busa lipat tipis yang sudah sangat kumal. Dia mendapati gadis itu sudah meringkuk tanpa sehelai benang di pojok kamar. Satria menyeringai puas. Rasakan perempuan! Makinya tanpa belas kasihan.
Setengah sadar, Satria melempar baju gadis itu. Lalu membuka pintu tanpa kembali menoleh. Dia terus berjalan keluar kedai remang-remang murahan yang sudah menjadi karibnya sejak usianya masih belasan. Sepanjang langkahnya terngiang ucapan ibunya, “Berhentilah bertindak seperti ini, Sat. Mau sampai kapan?”
“Sampai aku tak lagi menemukan perempuan menjajakan tubuhnya.”
Suara sirine berhenti. Satria kembali ke dunia di mana dia berpijak.
Gadis itu dibawa masuk ruang ICU, lampu di atas pintu ruang operasi menyala. Seorang lelaki berusia sekitar 50 tahun tergopoh mendekat. Lelaki dengan kantung di sekitar matanya, kerutan berjajar di dahi, dan seulas senyum kaku untuk Satria.
Kali ini Satria tak ingin membela diri, dia sadar ada yang tak akan memberi maaf atas kebajingannya.
“Saya lalai menjaganya,” gumam pria itu.
Jiwa Satria kembali ke dapur rumahnya. Dalam perjalanan hidupnya, baru kali ini dia merasa menyesal atas dendamnya. Dendam yang telah membuatnya menjadi bajingan. Dia bangkit, gontai menuju kamar perempuan yang tak pernah dia dengar ucapannya.
“Aku akan menikah, Bu.”
Demi mendengar ucapan putranya. Perempuan yang warna rambutnya berhias helai-helai keperakan itu, tersenyum. Air merembes di ujung matanya. Tanpa kata dia memeluk pemuda di hadapannya.
**
Dua pasang kaki melangkah gegas menuju ruang rawat rumah sakit. Seminggu sudah gadis itu dirawat dan sudah dipindah ke kamar rawat inap setelah hampir dua hari tak sadarkan diri.
Satria dihadiahi sebuah senyuman sehangat mentari pukul tujuh pagi, saat membuka pintu kamar. Satria meraih tangan pucat yang tampak makin mungil. Ada debar serupa detak jarum jam dengan ritme konstan, membuat dadanya menghangat juga.
Mata ibu Satria mengisyaratkan tanya, yang dijawab anggukan kepala Satria. Senyum mereka bertemu dengan begitu tulus yang bakal berubah 180 derajat beberapa saat kemudian.
Waktu bisa berputar lebih cepat dari yang diperkirakan manusia. Laksana anak panah yang terlepas dari busurnya yang langsung menghunjam hati ibu Satria, saat lelaki tua itu masuk ke dalam ruangan. Perempuan yang sedang duduk di pinggir ranjang tempat gadis itu dirawat, seketika berdiri dengan pandangan nanar.
Tak jauh berbeda apa yang dirasakan pria tua itu. Mereka seolah masuk dalam dimensi berbeda dari orang lain. Saling menatap dengan tanpa sepatah kata mampu terucap.
Seketika ingatan mereka kembali ke masa di mana rambut di kepalanya masih sepenuhnya hitam, keriput di wajah mereka belum tercetak.
“Aku akan pulang besok. Orangtuaku memintaku menikah,” ucap pria itu.
Perempuan di depannya membenahi selimut yang menutupi tubuh mereka berdua. Dia tahu diri, tak boleh melibatkan hati dalam menjalani profesinya. Sayangnya, pada pria di depannya itu, dia tak mampu berkomitmen. Hatinya jatuh dan sekarang terdapat luka yang mulai berdarah.
Dia tak ingin membahas apapun malam ini, jika pria di hadapannya harus pergi besok, dia ingin ada yang bakal dia tinggalkan. Dipagutnya bibir itu, dipasrahkannya seluruh raga tanpa menggunakan pengaman. Dia ingin benih ditanam sebagai kenangan.
“Ayah,” suara gadis yang berbaring di ranjang memecah lamunan mereka berdua.
Pandangan mereka kembali pada realita. Kedua manusia itu diam, bergumul dengan hati masing-masing, apa yang akan mereka katakan pada anak mereka? (*)