Malam Pertama

Malam Pertama

Malam Pertama

Oleh: Ketut Eka Kanatam

Pernikahanku tinggal menghitung hari. Hatiku semakin resah, memikirkan satu masalah yang sampai detik ini tak tahu cara menyelesaikannya.

Sore ini, kuputuskan menghubungi Indah, sahabatku. Meminta dia segera datang ke rumah karena aku sudah dipingit, tidak boleh keluar rumah lagi. Aku merasa tidak tahan lagi memendam kemelut yang terasa begitu menyesakkan dada, harus ada yang bisa kuajak bicara dari hati ke hati.

Begitu dia datang, segera kuajak ke kebun di belakang rumah. Tempat yang paling strategis bagiku mengobrol secara bebas dengannya. Rumah kami mulai ramai didatangi oleh keluarga jauh yang berniat membantu dan menyaksikan acara pernikahanku.

Sewaktu aku masih SMP, ayahku membangun sebuah gazebo berciri khas Bali, sesuai tempat tinggal kami, di sudut kebun. Gazebo yang biasa kami sebut Bale Bengong tersebut menjadi tempat favorit bagi keluarga untuk bercengkrama sambil menikmati camilan.

Ayah dan Ibu bisa bersantai di Bale Bengong saat melihat aku dan kedua adikku asyik mencoba naik ke pohon-pohon yang ada di kebun.

Di antara ketiga saudaraku, aku sebagai anak sulung, paling jago memanjat pohon. Ibu sering berteriak memberi peringatan saat melihat aku berayun santai di pohon sawo, pohon tertinggi di kebun kami.

Pemandangan pohon-pohon yang kini mulai berbuah biasanya mampu mengembalikan kesegaran mataku yang lelah seharian bekerja di depan komputer, tapi kini tidak lagi berefek sama.

“Kenapa ekspresimu seperti itu?” tanya Indah begitu kami duduk sekian lama.

“Memangnya ekspresiku seperti apa, In?”

“Setiap calon pengantin yang pernah kutemui, selalu terlihat berseri-seri wajahnya, sedangkan kamu seperti orang yang sedang menunggu vonis dari hakim.”

Hanya Indah yang menyadari selama berhari-hari ini aku telah memakai topeng.

“Ada apa, Dini? Katakan kepadaku!” desaknya sambil menggenggam jemariku, terlihat sangat cemas dengan keadaanku.

“Aku takut, In. Membayangkan malam pertama yang akan kami jalani nanti.”

Matanya mengerjap kemudian melotot, rupanya dia sangat kaget mendengar pernyataanku.

“Kenapa dengan malam pertama, Din? Jangan-jangan kamu sudah pernah melakukan hubungan suami ….”

Mulutnya segera kututup, entah kenapa, aku malu mendengar kelanjutan dari ucapannya. Meskipun kami sama-sama wanita karir dengan kehidupan modern. Gaya hidup kami begitu berbeda.

Hobinya Indah adalah menghabiskan masa muda dengan berpetualang. Setiap saat dia bepergian, baik itu karena urusan pekerjaan maupun pribadi.

Dia senang menjelajahi satu per satu pulau-pulau yang ada di Indonesia.

Aku selalu menunggu kedatangannya setelah bepergian sekian lama, mendengar cerita-cerita seru yang keluar dari mulut mungilnya membuatku merasa hadir dalam setiap momen itu.

Budaya yang berbeda dari pulau yang berbeda membuat kisah yang diceritakannya selalu bervariasi. Matanya yang berbinar-binar saat bercerita tentang keindahan alam pulau-pulau yang disinggahi dan budayanya membuat aku betah berjam-jam menyimak ceritanya. Oleh-oleh khas yang dia bawa juga membuat aku mulai memiliki hobi yang sama dengannya, mengoleksi souvenirsouvenir dari daerah-daerah yang disinggahinya.

Aku sangat ingin seperti dia, bebas berpetualang. Tinggal di daerah wisata tapi belum pernah benar-benar menjelajahi semua tempat yang katanya indah menurut orang-orang yang datang membuatku malu sendiri.

Namun, keinginan itu harus kembali kukubur dalam-dalam. Saat aku memiliki uang sendiri yang seharusnya bisa kupakai membiayai perjalanan berkeliling dunia, kedua orang tuaku mulai sakit-sakitan. Mereka membutuhkan kehadiranku sebagai anak sulung dengan mendukung mereka baik secara moral maupun materiel.

Trauma dikhianati oleh kekasih yang membuatku enggan menjalin hubungan kembali, alasan yang sulit diterima oleh kedua orang tuaku. Bagi mereka, kesuksesan seorang wanita bukan berupa kemandirian dan karir yang cemerlang, tapi melihat aku sebagai putri satu-satunya bisa memenuhi kodratnya sebagai wanita, menikah dan memiliki keturunan.

Keenggananku selama ini memenuhi keinginan mereka dengan memakai kedua adikku sebagai alasan selain traumaku, juga mulai terdengar begitu mengada-ngada. Andre dan Rian yang selama ini kubiayai pendidikannya, kini sudah bisa mandiri.

Aku yang menjalani rutinitas tanpa merasa beban, menganggap jodoh, rezeki, dan mati sudah ditentukan oleh pemilik kehidupan dan tinggal menunggu saja ketentuan-Nya, mulai kebingungan bagaimana cara memenuhi keinginan orang tua yang katanya adalah impian terakhirnya.

Permintaan dan keadaan mereka yang menjadi alasan terkuat bagiku melepaskan masa lajang di usia tiga puluh lima tahun dengan mengambil jalan pintas. Aku memenuhi permintaan mereka melalui perjodohan. Kuterima lamaran Mas Bram yang dikenalkan oleh Indah sebagai rekan kerjanya di travel.

Kepribadiannya yang begitu dewasa membuat hatiku luluh pada pandangan pertama. Jaminan Indah bahwa dia laki-laki yang pantas mendampingiku juga sedikit banyak menambah keyakinan kalau kali ini, pilihanku tidak salah.

“Jangan berpikir ngawur seperti itu, aku tidak sebebas kamu, In!” tukasku seketika, meluruskan pikirannya yang mungkin sudah liar ke mana-mana.

“Lalu kenapa kamu takut seperti ini, Din?”

Aku menghela napas, menatap pohon sawo di hadapan, kembali mengenang masa lalu.

Setelah dewasa, aku baru mengerti bahwa mahkota seorang gadis bisa hilang tidak hanya karena direnggut oleh seseorang, tapi juga bisa karena kecelakaan. Seperti yang kualami saat pubertas dahulu. Aku terus melakukan perbuatan itu, merasakan kenikmatan bagian intim tubuhku berayun di batang pohon itu. Perbuatan bodoh yang kini sangat kusesali. Bagaimana meyakinkan diri sendiri bahwa perbuatan di masa lalu itu tidak merenggut keperawananku? Haruskah kukatakan semua kepada Mas Bram yang baru kukenal selama tiga bulan ini? Akankah dia percaya dengan ceritaku? Bagaimana jika dia tidak terima? Apakah impian Ayah dan Ibu akan berakhir menyedihkan?

Indah terdiam lama saat mendengarkan cerita dan pertanyaanku. Sikapnya membuat diriku semakin tersiksa.

“Sebenarnya, aku juga menyukai Mas Bram, Din, tapi gaya hidupku membuat kesempatan mendekati dirinya tertutup rapat.”

Ungkapan isi hatinya membuat aku kaget setengah mati.

“Jangan menatapku seperti itu, Din. Itu kisah lama. Seiring kebersamaan kami, perasaan itu mulai memudar. Aku senang dia mendapat pasangan seperti kamu, Din.”

Aku hanya bisa membalas remasan tangannya.

“Meskipun tempat kerja kami memungkinkan dia menganut paham bebas seperti aku, tapi dia laki-laki yang memiliki prinsip, dia bisa menjaga diri.”

Ucapannya itu yang membuatku semakin ketakutan memikirkan apa yang terjadi jika dia tahu keadaanku yang sebenarnya.

“Kamu orang yang jujur. Kamu tahu apa yang harus dilakukan. Jangan ragu untuk melakukannya. Selama ini, aku mengenal Mas Bram sebagai orang yang berpikiran terbuka. Dia akan mengerti keadaanmu dan menghargai kejujuranmu. Aku akan mendukungmu, Din.”

Tatapan dan ucapannya menyejukkan hati dan menguatkan tekadku. Lebih baik memulai sesuatu dengan berterus terang, karena sesakit apa pun akibat dari keterusterangan itu masih lebih baik dari pada hidup tersiksa dalam kebohongan. (*)

Ketut Eka Kanatam, penulis asal Bali.

Editor: Evamuzy
Sumber Gambar: pinterest.com

Leave a Reply