Pertanyaan di Kepalaku

Pertanyaan di Kepalaku

Pertanyaan di Kepalaku

Oleh : Vianda Alshafaq

 

Hari ini, setelah dipaksa Ibu, aku menghadiri upacara pemakaman salah satu tetanggaku, Arti, perempuan yang usianya tiga tahun di atasku. Ia meninggal kemarin sore, setelah mengalami kecelakaan lalu lintas di SPBU yang berada di Eler, sekitar sepuluh menit dari kampung kami jika ditempuh dengan sepeda motor. Dari yang kudengar, ia ditabrak truk saat akan menyeberang setelah selesai mengisi bensin. Katanya, keadaan Arti cukup mengenaskan. Darahnya melumuri aspal hingga bau anyirnya merasuk ke hidung—begitu kata Pak Nurdin, tetanggaku yang lainnya yang kebetulan saat itu juga sedang mengisi bensin. Ia terpental cukup jauh. Motornya rusak parah. Badan motornya hancur—ah, tentu saja, jangankan motornya, tubuh Arti saja juga hancur. Kata Pak Nurdin, darah bercucuran dari kepalanya, matanya terbelalak, dan kakinya seperti terpisah dari paha.

Arti kehilangan nyawanya di tempat kejadian selagi menunggu ambulance. Sebelum benar-benar mengembuskan napas terakhirnya, Pak Nurdin melihat Arti menangis. Mungkin ia kesakitan. Atau, mungkin ia ketakutan. Atau, entah apa yang ia pikirkan—sebenarnya. 

Jenazah Arti sudah mulai dimasukkan ke kuburan. Dari sini, sekitar tiga meter dari kuburan itu, aku melihat ibu Arti dan keluarganya yang lain—yang berada di barisan pertama—menangis dan menunduk saja, seperti tak tega menatap sang putri yang sudah dibalut kain kafan. Sementara di depanku, ada orang-orang yang berbisik-bisik—apa bisa disebut berbisik jika masih didengar oleh orang lain? Mereka mengasihani Arti dan keluarga yang ditinggalkan. Hanya saja, setelah—tanpa sengaja—mendengar pembicaraan mereka, sebuah tanda tanya muncul di benakku: apakah hal ini perlu dikasihani? Bukankah kematian itu adalah hal yang wajar?

***

Aku duduk di bangku di depan rumah, dekat bunga-bunga yang sedang mekar yang ditanam Ibu beberapa waktu lalu. Tadinya, aku ingin membaca buku. Bahkan aku sudah menyiapkan secangkir teh yang kutaruh di sebelahku. Sore yang mendung, secangkir teh, dan sebuah buku berjudul TSUKURU TAZAKI TANPA WARNA DAN TAHUN ZIARAHNYA, benar-benar kombinasi yang sempurna. Sebetulnya aku sudah pernah membaca buku ini beberapa kali, tetapi kali ini aku ingin membacanya lagi. Kau tahu, aku benar-benar menyukai buku itu. Kehilangan dan kesepian, begitu jelas tergambar di sana. Dan, aku merasa seperti bercermin ketika membaca buku itu, sebab itu aku menyukainya. Namun, niatku itu gagal. Alih-alih membaca buku itu, aku lebih fokus mengamati anak tetangga di samping rumahku yang baru saja pandai berjalan. Sesekali ia terjatuh, lalu bangkit, dan berjalan ke arah ibunya yang tidak jauh. Senyumnya mengembang selagi berjalan ke arah sang ibu, dan begitu pun dengan perempuan yang kira-kira berusia 35 tahun itu.

“Anak Ibu pintar. Sudah bisa jalan.” Itu perkataan perempuan tadi sambil menggendong dan menciumi putranya.

Kau tahu apa yang aku pikirkan saat itu? Tiba-tiba aku teringat pada kematian Arti dan kelahiran bayi ini—yang aku lupa kapan tepatnya—secara bersamaan. Kelahiran bayi itu adalah awal dari sebuah kehidupan. Dan, kematian Arti adalah akhir dari kehidupan. Lalu, apakah kita benar-benar hidup atau hanya sedang berjalan pelan-pelan menuju kematian, seperti anak itu yang berjalan pelan-pelan ke arah ibunya? Ah ….

Lelah dengan pikiranku sendiri, aku memilih kembali ke dalam rumah. Ini tidak benar. Pikiranku benar-benar kacau. Sepertinya lebih baik aku berbaring dan mengistirahatkan kepalaku yang sudah berpikir terlalu jauh. Mungkin, pikiranku akan lebih baik nanti setelah tidur. Tapi, sungguh, ini menyebalkan! Aku tidak bisa tertidur. Belum semenit aku menutup mata, aku kembali membukanya. Pikiran itu benar-benar tak bisa hilang dari kepalaku. Benar-benar mengganggu!

Aku mengubah posisi menjadi telentang, menatap langit-langit kamar yang berwarna biru. Sekali lagi, pertanyaan itu muncul di kepalaku: apakah saat ini aku hidup atau sedang berjalan pelan-pelan menuju kematian?

***

Sudah seminggu lebih aku tidak bersemangat menjalani hari-hari. Setiap kali aku bangun tidur dan melihat jam di dinding kamar, lagi-lagi aku bertanya kepada diriku sendiri, berapa lagi waktu yang tersisa hingga aku sampai pada kematian?

Sepertinya Ibu menyadari perubahan suasana hatiku akhir-akhir ini. Tadi pagi ia bertanya apa yang terjadi padaku, kenapa aku terlihat lebih sering melamun, dan beberapa pertanyaan lain yang serupa dengan itu. Tentu saja, aku tidak menjawab pertanyaan itu dengan sungguh-sungguh, tetapi aku juga tidak berbohong.

“Mungkin aku hanya kelelahan karena akhir-akhir ini terlalu sering berpikir,” jawabku setelah Ibu melayangkan pertanyaannya.

Ibu mengernyit, matanya menatapku lekat-lekat seperti mencari sebuah kebohongan dari wajahku. Tapi, Ibu hanya menghela napas. Mungkin ia tidak menemukan kebohongan itu—ya, karena aku memang tidak berbohong.

“istirahatlah. Jangan terlalu banyak berpikir. Mengerti?” kata Ibu yang hanya kubalas dengan senyum dan anggukan.

“Apa aku boleh bertanya sesuatu, Bu?”

“Ya, tentu saja. Siapa juga yang melarangmu bertanya.”

“Apakah kita benar-benar hidup atau sebenarnya perlahan-lahan meninggal?”

Sekali lagi Ibu menatapku lama. Ia bungkam. Apa pertanyaanku salah? Atau, apakah pertanyaan itu terlalu aneh sehingga Ibu bingung bagaimana harus menjawabnya?

“Kenapa kamu bertanya begitu?”

“Hanya ingin. Kebetulan pertanyaan itu terlintas di benakku,” jawabku sedikit berbohong.

“Dengar,” Ibu memegang pundakku, ”kau tidak perlu memikirkan hal semacam itu. Entah disebut hidup atau perlahan-lahan meninggal, tidak ada bedanya. Pada akhirnya kita semua akan tetap meninggal. Hanya saja, sebelum kematian itu datang, kita mempunyai kewajiban dan kesempatan untuk melakukan hal-hal baik. Hidup ini adalah kesempatan, Sayang. Jadi, tidak usah dipikirkan, mengerti?”

Aku tidak langsung mengangguk. Tetapi berusaha mencerna perkataan Ibu. Jadi, apa benar dua hal itu tidak ada bedanya? Lalu, apa aku bisa menjawab pertanyaan “apa yang sedang kau lakukan” dengan “aku sedang berjalan menuju kematian”?

***

Sebulan sejak saat itu, aku lebih sering mendengar berita kematian dan kelahiran. Kadang-kadang berita itu dari kampungku sendiri, kadang dari kampung sebelah, dan kadang dari televisi. Tapi, tak ada bedanya. Kematian tetaplah kematian, tidak peduli ia sengaja dipercepat atau datang di saat yang tepat. Kelahiran tetaplah kelahiran, tidak peduli diinginkan atau tidak diinginkan. Tetapi, Tuhan tetap memberikan mereka kesempatan untuk melihat dunia.

Sebuah kesempatan, seharusnya bisa diambil atau dilepaskan. Jika hidup ini benar-benar sebuah kesempatan, maka aku seharusnya bisa memilih untuk melanjutkan atau mengakhiri kesempatan ini, kan? Ya, kurasa begitu.

Aku mengunci pintu kamar. Sekali lagi aku merenung, apa sebenarnya aku memang hidup atau perlahan-lahan meninggal? Atau, kedua itu tidak ada bedanya seperti kata Ibu. Dan, waktu yang aku dapatkan saat ini hanyalah sebuah kesempatan yang dapat kuakhiri jika aku sudah tidak menyukainya, seperti ketika aku membuang foto-foto bersama sahabatku setelah mereka pergi begitu saja? Apa aku benar-benar bisa mengakhiri kesempatan yang Tuhan berikan ini?

Aku memejamkan  mata, berusaha berhenti memikirkan pertanyaan-pertanyaan itu. Aku sudah lelah memikirkannya. Aku … tidak ingin lagi berpikir. (*)

 

Vianda Alshafaq, anggota Kelas Menulis Loker Kata yang menyukai segala hal berbau cokelat.

Editor : Devin Elysia Dhywinanda

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply