Pohon Rindang di Kepala

Pohon Rindang di Kepala

Pohon Rindang di Kepala

Oleh : Liz Nasution

 

Pertama kali bertemu, kuakui dia bukan lelaki paling manis di kantorku. Tetapi, dari banyaknya lelaki yang kukenal, hanya dialah yang memiliki pohon rindang di atas kepalanya. Dahan-dahan yang kokoh dan daun paling hijau yang pernah kulihat membuatku tersihir olehnya. Aku bahkan bisa mendengar derap kaki-kaki kuda jantan yang berlari saat tanpa sengaja mata kami saling bersitatap. Kupu-kupu cantik berceloteh riang menyampaikan pesan dari binar mata yang kerap kami kirimkan.

Baiklah … katakan saja aku menjadi dungu sejak tatapan kami sering beradu. Medan magnet yang semakin kuat di antara kami membuat otakku tidak berfungsi. Pendekatan dan pertemuan yang dilakukannya pada beberapa waktu kemudian membuatku melihat pohon di kepalanya semakin rindang. Bahkan, aku juga bisa melihat hujan di atas kepalanya menguatkan akar-akar yang kian kokoh hingga dahinya. Rerimbunan daun yang memenuhi batok kepalanya memberiku banyak oksigen yang mampu memenuhi rongga dadaku. Aku merasa bahwa berada dekat dengan pemilik pohon rindang adalah hidup yang sebenarnya, hidup yang kucari-cari maknanya.

“Berhentilah bekerja dan jadilah ratu di rumahku,” ucapnya suatu kali memberi penawaran.

Sangat sulit bagiku memutuskan untuk berhenti bekerja. Sangat banyak pengorbanan yang dilakukan orangtuaku agar sampai pada posisi yang kudapatkan sekarang ini. Namun, jika menolak permintaannya, entah kapan lagi bisa kutemukan lelaki dengan pohon rindang di atas kepala pada usiaku yang sudah tidak muda lagi. 

Orangtuaku murka mengetahui pilihanku. Aku tidak tahu apakah ini kedunguan atau rasa cinta yang meluap. Mungkin, bisa jadi keduanya. Aku memutuskan memulai hidupku meski tanpa restu. Saat janji hidup bersama terucap, Arasy bergetar. Kulihat beberapa daun jatuh dari atas kepalanya dan melayang di telapak tanganku. Kusembunyikan daun di dalam gaun pengantin yang terjurai panjang. Keesokan harinya, daun-daun semakin banyak berguguran. Di kasur, sofa, dapur bahkan di tas kerja miliknya. Aku enggan bertanya, takut menyinggung perasaan halus miliknya.

“Aku berangkat,” ucapnya datar pada suatu pagi.

Seperti biasa, setiap akan berangkat kerja dia memasukkanku ke sebuah sangkar buatannya yang berisi duplikat pohon rindang seperti di kepalanya agar aku merasa nyaman. Sangkar kemudian digantungkannya di ruang TV. Saat dia pulang kerja, sangkar dibuka dan aku akan menghirup oksigen nyata yang semakin sedikit dari pohon yang tidak lagi rindang.  

Bila dia tertidur, kulihat daun-daun yang tinggal sedikit kian layu. Entah ke mana perginya air hujan yang selalu mengguyur pohon-pohon di atas kepalanya. Aku bahkan lupa kapan hujan terakhir yang kulihat mengguyur kepalanya, sebelum menikah mungkin.

Suatu hari, aku tidak tahan untuk tidak bertanya tentang pohon-pohon rindang yang kini terlihat sekarat meski saat itu sudah masuk musim penghujan. Tidak ada daun, ranting-ranting​ pohon mengering dan akar di kepalanya mulai tercerabut. Biarlah kali ini aku keluar dari sangkar demi mendapat jawaban

“Ke mana perginya pohon rindang di atas kepalamu?” tanyaku pelan saat menemuinya di kantin kantor pada jam makan siang. Kuabaikan kemarahannya saat mengetahui aku mengabaikan perintahnya.

“Kau tidak hanya dungu, tapi juga buta sekarang, ya? Kenapa pohon sebesar ini tidak kau lihat? Jika kau sudah menemukan pohon rindang lainnya, pergilah!” 

Aku tergugu beberapa saat kemudian, bukan karena mendengar ucapan kasarnya, tetapi detik itu juga aku tidak lagi melihat pohon di atas kepalanya. Bahkan pohon yang sekarat itu pun lenyap. 

Aku berlari dan terus berlari tanpa arah, berharap aku punya tujuan setelah lelah. Entah berapa ratus purnama aku berlari. Suatu hari, saat tengah hujan deras, aku terus berlari tanpa sedikit pun pandanganku terhalang curah hujan. Beberapa pasang mata orang yang berpapasan denganku menatap aneh.

“Lihatlah perempuan itu, dia memayungi dirinya dengan pohon rindang di atas kepalanya.”

Aku berhenti dan meraba kepalaku, pohon rindang itu kini justru tumbuh di atas kepalaku, mengakar kuat dan mencengkeram otak yang tidak pernah kugunakan sejak bertemu lelaki itu. Aku tidak tahu sejak kapan pohon itu tumbuh rindang di atas kepalaku dan tiba-tiba saja aku merindukan orangtuaku. (*)

 

Choliza Nasution, perempuan yang lahir pada bulan Juli di Medan. Tahun 2015 menyelesaikan pendidikan di Pascasarjana Universitas Negeri Medan. Beberapa buku solo dan belasan antologi telah diterbitkan. Pengurus PSSU ini juga pernah menjadi finalis diseminasi literasi dan guru berprestasi dari hobinya menulis.

Editor : Devin Elysia Dhywinanda

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply