Aku Telah Menemukannya

Aku Telah Menemukannya

Aku Telah Menemukannya

Oleh : Ika Mulyani

 

Aku mencari sosokmu di tengah kerumunan mahasiswa yang tengah mengurus KRS—kartu rencana studi—semester ini. Akhirnya aku menemukanmu, duduk di salah satu kursi di depan ruangan para dosen, tengah mengisi KRS-mu. Kau mendongak dan tersenyum saat kupanggil dengan suara sedikit parau.

Senyummu yang selalu manis, kali ini membuat hati ini bergetar dengan nuansa yang berbeda. Terasa ada yang mencabik salah satu sudut hatiku, yang selama ini—tanpa ada seorang pun yang tahu—diisi oleh sosokmu.

Kau berhenti menulis dan bertanya dengan nada khawatir, “Kamu sakit?”

Hatiku semakin tercabik. Perih.

Aku hanya mampu menggeleng, dan mengangkat bahu, saat kau mengatakan wajahku terlihat pucat.

Aku duduk di sampingmu, berusaha menenangkan debar jantung dan merancang kata-kata yang ingin kusampaikan, nanti, di saat yang tepat. Dadaku tiba-tiba terasa sesak.

“KRS-mu udah selesai?”

Aku menggeleng.

“Pilih Teknologi Daging, yuk!”

Aku kembali menggeleng, dan dahimu berkerut, membuatku tersenyum kecut. Memang tidak seperti biasanya. Semester ini, aku bertekad untuk mengambil mata kuliah pilihan yang berbeda denganmu.

“Terus? Pilih apa, dong?”

Aku menunjuk salah satu dari deretan nama mata kuliah di lembar KRS-mu. Teknologi Pengolahan Sayur dan Buah.

“Mau jadi vegetarian?” Kau terkekeh. “Enggak kapok dapet C lagi ketemu si Ibu itu?”

Aku meringis dan berdalih, “Waktu itu kan salah strategi.”

Kau terbahak.

“Ya udah, aku pilih itu juga, deh.”

“Jangan!” tukasku cepat.

Kau tersentak dan menatapku … sedih. Maafkan aku, Nay.

“Makan siomai sama es doger, yuk! Nanti aku jelasin.”

Keduanya favoritmu, tetapi kau masih belum melepaskan tatap sedihmu, membuatku menghela napas.

“Aku traktir.”

Kau tersenyum. “Tumben?”

Kukatakan bahwa salah satu puisiku—yang terinspirasi olehmu—dimuat di sebuah koran daerah. Kau memekik gembira dan berulang-kali mengucap selamat.

***

Siomai di piring kita sudah tandas, begitu pun minuman pengiringnya. Namun, aku masih belum menemukan kata-kata untuk menjelaskan sesuatu yang sangat penting. Amanat dari seorang teman Ibu, untukmu.

Aku malah teringat lagi pada percakapan kami—aku dan Ibu—sebelum keberangkatanku kembali ke kota ini.

“Dandi, temen Ibu mau minta tolong sama kamu,” ucap Ibu saat aku sedang membereskan barang bawaan untuk besok kembali ke Bogor, setelah hampir sebulan menghabiskan waktu libur akhir semester hanya di rumah saja.

“Teman Ibu yang mana?”

“Sebut saja dia Bunda Asti.”

“Kenapa harus kusebut Bunda?”

Kisah pun bergulir.

Dulu, Bunda Asti tinggal di sebelah rumah kami. Kedatangannya sebagai tetangga baru, berselang sekitar empat-lima bulan setelah kelahiranku. Ibu dan Bunda Asti langsung berkawan akrab.

“Enggak tahu kenapa, Ibu langsung klik sama dia.”

Suatu hari, Ibu menitipkan aku yang sedang tidur kepadanya. Ibu bermaksud berbelanja sayur di depan gang.

Sepulang dari berbelanja, Bunda Asti berulang kali meminta maaf, karena ia memberiku ASI. Katanya, aku terbangun dan menangis. Tangisku tidak juga reda meski ia sudah menggendong dan mencoba menghiburku. Ditambah lagi, Ibu tidak juga kembali.

“Memang waktu itu cukup banyak yang antre belanja,” kenang Ibu dengan pandangan menerawang.

Setelah disusui oleh Bunda Asti, aku kembali tertidur lelap.

Ibu bertanya padanya, bagaimana mungkin payudaranya bisa menghasilkan ASI bila tidak melahirkan?

Maka Bunda Asti menceritakan kisahnya—yang bagaikan cerita dalam sinetron—dengan air mata berlinang. Perempuan itu dinikahi secara siri oleh seorang laki-laki kaya-raya. Istrinya yang mandul ingin sekali memiliki keturunan. Ditandatanganilah kesepakatan, bahwa Bunda Asti akan diceraikan setelah melahirkan anak yang mereka inginkan. Imbalan yang cukup besar pun mereka janjikan. Jumlah yang lebih dari cukup untuk membiayai operasi jantung ayah Bunda Asti.

Singkat cerita, Bunda Asti berhasil hamil dan melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik. Pasangan suami istri itu membuat kesepakatan baru. Mereka ingin si Bayi mendapatkan ASI eksklusif secara penuh selama enam bulan.

Bunda Asti lalu dibayari untuk tinggal mengontrak di sebelah rumah kami. Selama itu, ia diminta untuk memerah air susunya setiap hari. Kembali, imbalan besar mereka janjikan.

“Setiap hari, dia antarkan botol-botol berisi ASI itu. Sambil menengok bayinya, katanya. Kasihan. Dia cuma bisa ngelihat bayinya dari jauh. Kalaupun mendekat, hanya boleh sebentar saja.”

“Berarti, mereka tinggal di kota ini juga, dong?”

Ibu menggeleng.

“Sekarang enggak. Selesai ASI eksklusif itu, mereka pindah ke Bandung, dan Bunda Asti kerja jadi TKW di Malaysia.”

Entah bagaimana caranya, beberapa bulan lalu, setelah Bunda Asti pensiun dari pekerjaannya dan kembali ke Indonesia, ia mendapatkan informasi tentang keluarga itu. Perempuan itu bahkan berhasil mendapatkan selembar foto putrinya yang tentu saja sudah beranjak dewasa.

“Kabarnya, anaknya itu satu kampus sama kamu, Dan. Sepertinya seangkatan juga, ya. Umur kalian kan hampir sama.”

Aku mengangguk.

“Eh, berarti dia saudara sesusu kamu! Jangan sampai kamu naksir dia, ya,” lanjut Ibu sambil terkekeh. “Saudara sepersusuan haram dinikahi.”

Tentu saja aku tahu itu.

Ibu pun menyodorkan amplop sambil berucap, “Fotonya ada di dalam amplop ini. Cari dia sampai dapat, ya. Nanti segera kabari Ibu. Bunda Asti kepingin banget ketemu anaknya.”

“Siapa namanya? Biar gampang nyarinya.”

“Nayla kalau enggak salah. Ada ditulis di belakang fotonya.”

Aku tertegun. Perlahan, kubuka amplop itu seraya berharap, bukan wajahmu yang akan kutemukan di sana.

Ternyata, tidak perlu lama untuk mengabari Ibu dan Bunda Asti. Senyummu tergambar jelas di sana, Nay. Sejelas saat ini, ketika sekali lagi kau ucapkan terima kasih atas traktiran siomai dan es doger kesukaanmu. (*)

Ciawi, 31 Januari 2021

 

Ika Mulyani, lulusan Teknologi Pangan yang tersesat di dunia literasi, dan sedang belajar untuk menulis lebih baik.

Editor : Devin Elysia Dhywinanda

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply