Pada Sebuah Taman

Pada Sebuah Taman

Pada Sebuah Taman

Oleh : Wisnu Aji. K

Aku duduk di sebuah bangku panjang yang terletak di bawah pohon kersen, tepatnya di sudut taman. Selasa sore—sama seperti hari kerja yang lain—tempat ini memang tidak banyak pengunjung. Hanya orang-orang yang sekadar singgah, atau pekerja yang tidak terikat oleh waktu. Seperti aku yang telah berhari-hari suntuk di depan laptop tanpa ada kemajuan untuk menyelesaikan tulisan.

Aku suka menulis sejak duduk di bangku SMP, dan beberapa kali tulisanku berhasil dimuat di media. Kala itu, tambahan uang saku dari hasil menulis sudah membuatku sangat senang. Namun setelah lulus kuliah, aku mulai merasa bimbang, apakah aku mampu hidup mapan mengandalkan pendapatan dari menulis?

Dari arah jalan, sepasang laki-laki dan perempuan, sepertinya suami-istri, datang dengan mendorong gerobak bertuliskan “nasi goreng”. Mereka berhenti di pinggir taman. Sang suami mulai menyiapkan peralatan memasak, sementara istrinya menggelar tikar di samping gerobak mereka. Sambil bekerja, keduanya asyik bercakap-cakap, lalu sesekali tertawa. Aku jadi ikut tersenyum, bahkan seorang penjual nasi goreng pun bisa terlihat mesra dengan istrinya.

Di tengah taman yang berumput, terlihat seorang gadis kecil—aku perkirakan berusia lima tahun—tengah berlari riang. Kerudung merahnya berkibaran tertiup angin, sementara dari bulatan kecil di ujung tangkai kayu yang dia acungkan tinggi-tinggi berhamburan gelembung sabun. Di dekatnya, laki-laki dengan wajah cerah tampak tengah mengawasi sambil sesekali bertepuk tangan dan berteriak memberi semangat.

Setelah beberapa saat bermain, si gadis kecil berlari menghampiri lelaki itu—yang aku rasa adalah ayahnya. Entah apa yang ia katakan, tapi ia terlihat menarik tangan ayahnya, berjalan menghampiri seorang penjual es. Keduanya kemudian duduk santai di bawah pohon, menikmati minuman yang baru saja mereka beli.

Tanpa sadar aku membandingkan diriku dengan laki-laki itu. Entah apa pekerjaannya, tetapi sepertinya ia juga tidak terikat waktu. Yang jelas, ia terlihat sangat menikmati kebersamaan dengan gadis kecil itu. Keceriaan mereka membuat dadaku terasa hangat. Aku sendiri sebagai penulis juga bebas menggunakan waktu walaupun dengan penghasilan yang tak menentu. Jangankan untuk berkeluarga, menjalin hubungan dekat dengan seorang perempuan saja masih ragu.

“Aw! Mas, jangan, ah!”

Tiba-tiba suara pekikan seorang perempuan membuyarkan perhatianku. Meskipun tidak terlalu keras, tetapi suara itu terasa menusuk di telinga. Sepasang laki-laki dan perempuan tengah duduk di sebuah bangku panjang yang lain. Kedua tangan perempuan itu tampak menggenggam pergelangan tangan si laki-laki, sementara mulutnya tak berhenti mengeluarkan tawa.

Pasangannya adalah seorang pria paruh baya. Bagian tengah kepalanya licin tanpa rambut dengan perut buncit. Hanya saja setelan jas yang dipakainya terlihat mentereng, lengkap dengan sepatu kulit warna hitam yang mengilat. Laki-laki itu mendekatkan bibirnya ke telinga si perempuan. Bibirnya bergerak, tapi suaranya terlalu pelan untuk bisa kudengar.

“Salah Mas sendiri jarang-jarang mengunjungi aku.” Perempuan itu membalas sambil terkikik-kikik tanpa bisa mengontrol volume suaranya.

Keningku berkerut, tapi bukan karena rasa ingin tahu akan apa yang mereka perbuat. Wajah perempuan itu berseri dengan alis tebal dan sinar mata berbinar. Tulang pipinya yang tinggi tampak lebih menonjol disaput perona merah muda. Warna bibirnya membuat buah kersen yang tergantung di pohon terlihat pucat. Hanya saja suaranya yang cempreng itu menghapus semua kesan menarik pada penampilannya.

“Jangan di sini ah, Mas. Masa kita bermesraan, sementara di sebelah ada jomlo kesepian lagi melamun sendirian?” lanjut perempuan itu. Meskipun berusaha tidak menghiraukan mereka, tapi nada suara tinggi perempuan itu tetap sampai di telingaku.

Sesaat aku mengedarkan pandangan. Di dekat mereka tidak ada lagi orang lain. Kali ini bukan saja suaranya, tapi kata-kata itu juga terasa menusuk ulu hati. Perlahan aku mengeluarkan ponsel, pura-pura membaca, sementara kamera smartphone milikku berusaha menangkap gambar mereka tanpa kentara. Aku mulai membayangkan kalau kedua orang ini bukan pasangan suami-istri yang sah. Betapa berharganya foto dan video mereka suatu saat nanti.

Ah, walaupun aku tidak senang mendengar kata-kata perempuan itu, tetapi aku bukan orang yang suka usil. Tidak ada alasan untuk tersinggung, justru peristiwa ini memberi ide baru di kepalaku. Aku segera bangkit dari bangku taman, lalu ketika berjalan melewati mereka, tak lupa melemparkan senyum yang ramah. Sebagai ungkapan terima kasih telah mengembalikan semangatku untuk menulis.

Tolitoli, 31 Januari 2021

Wisnu Aji. K, pembaca yang baru belajar menulis.

Editor : Rinanda Tesniana

Leave a Reply