Semangkuk Sup Kacang Merah

Semangkuk Sup Kacang Merah

Semangkuk Sup Kacang Merah
Oleh : Niluh

Aku selalu terperangkap dalam masa lalu jika mengunjungi Ibu. Dia senantiasa berada di pelantaran rumah dengan senyum cerah untuk menyambut kedatanganku. Uban mulai menutupi seluruh rambutnya, lalu kami berpelukan mesra, saling mencium pipi kiri dan kanan.

“Bu, aku ganti baju dan mandi dulu, ya.”

Ibu hanya mengangguk.

Aku masuk ke kamar yang pintunya berwarna cokelat, dengan poster Sailormoon–tokoh pahlawan idolaku–tertempel di depannya.

Aku membuka pintu dan memandang ke segala penjuru. Kamar yang pernah kuakrabi di masa lampau, semua masih sama. Boneka-boneka, kaset lagu anak-anak, komik, album foto yang tak pernah jemu aku buka menjelang tidur, semuanya masih tertata dan terawat dengan rapi, hingga tidak ada debu yang menempel.

Selesai berbenah aku menghampiri Ibu yang sedang duduk di teras, lalu kami berbincang-bincang ditemani secangkir teh mint tanpa gula, serta kudapan yang Ibu buat sendiri.

Ada tiga hal yang Ibu tanyakan secara berurutan. Apakah pekerjaanku menyenangkan, siapa kekasihku saat ini, serta apakah aku bersedia pindah dan tinggal bersamanya.

Aku selalu tertawa menjawab ketiga pertanyaan itu. Jawabanku tetap sama sejak dulu. Pekerjaanku menyenangkan meski ada beberapa gesekan di kantor, aku belum memiliki kekasih, dan yang terakhir aku belum bersedia pulang menemaninya.

Itu dulu, sebelum aku menciptakan dusta-dusta kecil demi menikmati semangkuk sup kacang merah.

***

Aku anak bungsu dari tiga bersaudara. Dua kakak perempuanku telah menikah dan mengikuti suami mereka yang bekerja di luar pulau. Kami tumbuh tanpa seorang lelaki–ayah telah meninggal sejak kami kecil. Namun, Ibu adalah sosok perempuan yang sungguh mengesankan. Beliau berjuang sendiri untuk menghidupi serta menyekolahkan anaknya, hingga kami dapat mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi.

Ada kesedihan saat membayangkan kehidupan Ibu. Dia bekerja keras untuk anak-anaknya. Namun ketika tua, tak satu pun anak yang bersedia tinggal dengannya. Anak-anak tumbuh dewasa dan lenyap terisap dunia kami masing-masing.

Kini Ibu tinggal bersama seorang tetangga yang membantunya membersihkan rumah dan memasak. Dia menghabiskan waktu dengan merawat bunga anyelir kesayangannya, membaca buku serta memasak makanan yang kemudian dibagikan kepada tetangga-tetangga. Itu salah satu kebiasaan Ibu yang hingga kini masih dilakukan.

***

Setelah selesai berbincang-bincang ringan, Ibu masuk ke dapur untuk menghangatkan sup kacang merah dengan iga sapi yang merupakan makanan kesukaanku sejak kecil.

“Bagaimana kabar Bimo?” tanya Ibu yang membuatku sedikit tersedak.

“Bimo?” Aku lupa jika tiga minggu yang lalu pernah berkata bahwa saat ini aku sedang menjalani hubungan dengan Bimo. Bosan ditanya kapan menikah membuatku menciptakan sebuah nama yang dapat membuat hati Ibu tenang.

“Ah, kami sudah putus, Bu,” jawabku sambil memasukkan sesendok sup ke mulut.

“Putus? Kalian, kan, baru beberapa minggu berhubungan dan saling mengenal?”

“Tidak ada kecocokan di antara kami.”

“Secepat itu kau mengatakan tidak ada kecocokan?”

Jawaban yang memicu Ibu memberi wejangan sebanyak sepuluh lembar kertas jika aku tulis.

Dimulai dari, “Itu baru tahap pengenalan, dan butuh waktu lama untuk saling mengenal, memahami, dan mengerti satu sama lain. Ibu dan Ayah butuh waktu dua tahun untuk saling mengenal sebelum memutuskan menikah.”

Ibu pun mulai bercerita bagaimana dia bertemu dengan Ayah, mengenal serta perjalanan kisah mereka yang manis. Cerita yang senantiasa diulang-ulang. Cerita yang lebih banyak menonjolkan hal-hal menyenangkan. Dalam situasi ini aku lebih banyak diam, asyik dengan sup kacang merah kesukaan, berlagak mendengarkan dengan khusyuk, sesekali melemparkan pertanyaan agar terlihat cukup tertarik dengan tema itu, hingga akhirnya menambah tiga mangkuk sup kacang merah sampai Ibu selesai bercerita.

Jika sampai pada titik di mana Ibu berkata, “Buka hatimu, jangan larut dalam luka dan trauma. Mungkin ada seseorang di luar sana yang benar-benar jodohmu. Dan ingat, selalu bawa dalam doa serta minta petunjuk Tuhan.” Wajah Ibu terlihat sedih ketika mengatakan hal itu, dan aku pun segera memeluknya erat.

Aku memahami semua ketakutan dan kekhawatirannya mengenai masa tuaku nanti. Di antara kami bertiga, hanya aku yang sangat dekat dengan Ibu, tidak hanya batin, tetapi kami sama-sama tinggal di daerah yang sama, hanya beda kota saja. Itu memudahkanku untuk selalu pulang menjenguk beliau saat liburan.

Sedangkan aku tahu persis sesuatu yang ideal bagi Ibu adalah aku menikah, beranak pinak, dan tinggal di dekatnya. Dia bisa setiap saat melihatku, ikut bahagia menggendong cucu-cucunya yang lahir dari rahimku. Namun, yang ideal menurutnya itu adalah sesuatu yang berat dan tidak masuk akal bagiku.

Aku tidak tertarik untuk berumah tangga, sebab tanpa harus membina rumah tangga pun aku sudah bahagia.

Dengan semua ketakutan yang Ibu rasakan, ingin sekali aku mengajak perempuan itu ke kota, di mana aku bisa bekerja dan memperhatikannya. Namun, itu pasti sulit karena rumah ini bukan sekadar benda mati baginya. Tempat ini adalah kenangan dan sejarah dalam hidupnya. Suasana begitu tenang, udara yang masih segar, dan saat musim penghujan maka  kita akan disuguhi kabut tipis serta keramahtamahan penduduk. Berbeda dengan hiruk pikuk kota dengan segala polusi dan ketidakacuhan orang-orangnya.

Membawa Ibu ke kota bukan pilihan yang tepat menurutku. Ibu merasa nyaman dan tenang di sini.

“Tenang, Bu, saat ini aku sedang dekat dengan seseorang. Teman kerjaku, namanya Dion.” Entah dari mana aku mendapat nama itu.

Ibu akan bertanya tentang laki-laki itu. Dengan sedikit dusta aku menggambarkan dia sebagai sosok yang baik dan pekerja keras, sama seperti Bimo.

“Cobalah mengenal lebih lama atau ajak sesekali dia main ke rumah.” Wajah Ibu kemudian terlihat tenang setelah aku menyebut nama seorang laki-laki.

“Jaga hubungan kalian baik-baik. Jika ada pertengkaran itu selesaikan dengan kepala dingin, tidak langsung putus. Semua bisa dibicarakan. Ibu yakin Dion anak yang baik. Ibu akan mendoakan kalian biar segera diberi jalan terbaik.”

Ada sedikit rasa bersalah di dalam hati ini mendengar kata-kata Ibu. Berdusta kepada Ibu, meski untuk membahagiakannya tetap saja dusta. Satu kebohongan akan menutupi kebohongan yang lain. Saat ini, aku hanya ingin Ibu tidak cemas dengan kesendirianku.

Sampai kemudian dia mengantarku kembali, lengkap dengan segala nasihat dan wejangannya. Tak ketinggalan serantang sup kacang merah, aneka kue dan lauk-pauk yang telah disiapkan untuk kubawa ke kota.

“Itu yang satu rantang buat Dion, ya. Sampaikan salam Ibu kepada dia. Ingat, ajak dia main ke sini.”

Aku duduk di bus yang akan membawaku ke kota. Dalam kekosongan yang panjang, sesuatu yang tidak pernah kumengerti kembali berkelindan. Aku merasa tidak tertarik kepada laki-laki, sama halnya dengan aku tidak suka minuman beralkohol dan rokok.

Sampai sekarang aku tidak pernah bisa mengerti kenapa orang harus saling bersama-sama, berpasang-pasangan, membina rumah tangga.

Harus membagi apa-apa yang kumiliki dengan apa yang dia miliki. Aku sungguh tidak mengerti mengapa orang tahan hidup berpuluh-puluh tahun untuk saling mengerti, saling berusaha menghadapi masalah bersama-sama. Benar-benar tidak bisa kumengerti mengapa ada sesuatu bernama kesetiaan. Saling memberi cinta, tapi sering tersakiti oleh kesetiaan dan cinta itu. Bagiku, itu semua rumit.

Setelah Dion maka aku harus menyiapkan sebuah nama lagi agar Ibu tetap merasa tenang dan bahagia. Dusta yang indah demi semangkuk sup kacang merah yang tak ingin aku bagi dengan orang lain.

***
Salatiga, 29 Januari 2021
Niluh Santi, menyukai kopi pahit dan anak-anak. Bermimpi menjadi penulis dongeng terkenal.
Editor : Rinanda Tesniana

Leave a Reply