Ketika Kirmin Ikut Berjuang
Oleh : Rainy Venesia
Kirmin tak ingin tinggal lebih lama di kandang para bedebah yang telah merampas seluruh miliknya. Rumah dan kedai kopi telah dia serahkan demi kebebasannya. Juga untuk pembebasan anak istrinya. Sebenarnya dia tidak menyerahkannya, tapi ia terpaksa menandatangani surat jual beli tanpa menerima uang sepeser pun. Saat lelaki berseragam putih selesai mengobati luka-lukanya, dengan tertatih-tatih dia meninggalkan tempat itu menuju rumahnya yang berjarak lebih dari lima kilometer. Dia berjalan sambil meringis menahan rasa sakit di kakinya, hidung dan juga bibirnya. Bukan itu saja, hatinya harus menahan beban cemas, waswas, dan gelisah karena memikirkan anak dan istrinya. Seperti yang dikatakan lelaki tadi, anak dan istrinya telah dibawa anak buah Pak Bupati selepas dia diseret oleh polisi.
Kirmin mencoba menghentikan beberapa kendaraan yang menuju arah desanya. Namun, tak ada satu pun yang berhenti. Hari yang sudah gelap mengharuskan sopir tak sembarangan membawa tumpangan karena begal sering beroperasi. Bahkan angkutan kota pun hanya berani sampai Magrib. Beruntunglah ada mobil bak yang bersedia dia tumpangi. Mungkin rasa iba terbit di hati sopir dan temannya melihat kondisi Kirmin.
Setelah sampai di gapura desa, Kirmin masih harus berjalan kaki menuju rumahnya. Terseok-seok dia menyusuri jalan yang sepi. Benar-benar sunyi. Tak ada seorang pun yang berkeliaran, bahkan seekor kucing atau anjing. Seolah-olah semua orang takut jika hantu-hantu bergentayangan menerkam tengkuk mereka tiba-tiba. Berkali-kali Kirmin mengusap matanya untuk mempertajam penglihatan. Sekilas dia melihat seseorang sedang mengintip di balik gorden di rumah bercat putih. Kirmin mafhum jika tak ada seorang pun yang turun dan berusaha memapah tubuhnya menuju rumah. Orang-orang dicekam rasa takut sebab peristiwa yang menimpa dirinya dan dua orang tetangga sebelumnya. Mereka takut akan bernasib sama.
Kirmin tersenyum kecut. Dia ingat perkataan istrinya bahwa menolong Agam sama saja dengan mengantarkan nyawa. Sudah diketahui khalayak bahwa Agam sering membuat Pak Bupati kebakaran jenggot karena opini-opininya yang menyudutkan. Tak jarang dia keluar masuk tahanan. Namun, hal itu tak pernah membuatnya jera.
“Bapaknya seorang pejabat, jadi temanmu itu gak akan dihukum. Cuma satu-dua hari dikurung lalu bebas seperti biasa. Kita ini siapa? Siapa yang akan menjaminmu jika kau ditangkap? Berapa duit yang kau punya untuk membelamu? Pikirkan anak-anakmu jika kau jadi buronan. Kau pikir akan ada yang peduli sama kita karena kau sedang memperjuangkan hak rakyat? Kau pikir rakyat akan berterima kasih dan menyanjungmu sebagai pahlawan? Apa kau tidak lihat temanmu si Edo, bagaimana nasibnya karena membantu si Agam?”
Kirmin merasa dadanya sesak. Sedikit rasa sesal membuat bibirnya gemetar mengucap maaf. Kirmin mulai membenarkan seluruh perkataan istrinya. Semua orang tahu nasib Edo dan keluarganya yang tragis. Edo meninggal di rumah sakit setelah satu hari dibawa polisi karena ikut Agam berdemo menyuruh Pak Bupati mengundurkan diri. Lalu anak istrinya menghilang dua hari setelah pemakaman Edo. Tak ada yang tahu kapan mereka meninggalkan rumah. Mereka menghilang begitu saja dan tak ada satu pun keluarga yang mencarinya.
Kirmin berhenti sebentar merasakan kakinya yang makin ngilu. Dia menarik napas cukup lama dan mengembuskannya perlahan untuk mengurangi nyeri di dadanya. Matanya mulai berkunang-kunang. Berkali-kali pula dia memejamkan mata sambil menggeleng-gelengkan kepala menjaga kesadarannya agar tetap utuh. Setelah pandangannya kembali sempurna, dia menyeret kakinya yang ngilu, mempercepat langkahnya untuk sampai di rumah. Jantungnya berdegup makin cepat seiring dengan jarak rumahnya yang makin dekat.
Kirmin tak sabar ingin melihat anak-istrinya di rumah dan memastikan bahwa mereka baik-baik saja.
Kirmin tersenyum mengingat istrinya tampak bahagia. Berkali-kali perempuan yang sangat dia cintai itu memeluk dan mencium pipinya ketika dia berjanji akan menolak permintaan Agam.
“Aku senang kau tidak egois dan sangat peduli pada keluargamu. Mulai sekarang kau hanya harus memikirkan kami. Aku dan anak-anak kita. Biarkan saja orang-orang seperti Agam yang mengurus Pak Bupati dan rakyat. Kita tak perlu susah payah melakukan apa yang tidak bisa.”
Kirmin menghela napas. Dia masih bisa merasakan kecupan di bibir dan keningnya saat bercumbu kemarin malam. Masih terasa hangat tangan istrinya melingkari pinggangnya. Erat sekali. Harum rambut istrinya saat membenamkan kepala di dadanya masih bisa dia cium. Kirmin makin mempercepat langkahnya. Mendadak kakinya tak terasa sakit lagi. Dia ingin segera menatap mata istrinya lekat, meminta maaf bahwa dirinya telah berbohong. Bahwa dirinya tergoda menggambar wajah Pak Bupati untuk ilustrasi opini yang ditulis Agam di media sosial, sebagai tanda ikut serta dalam melawan kesewenang-wenangan orang nomor satu kabupaten itu.
Tubuh Kirmin terpaku di pintu pagar. Dia menatap nanar reruntuhan rumah yang mulai diguyur hujan. Cukup lama dia mematung, mengumpulkan sesal demi sesal hingga memenuhi dada dan kepalanya. Saat tersadar Kirmin berlari dan berteriak kencang memanggil orang-orang tercintanya. Tak ada jawaban. Hanya kilat disertai petir yang bersedia membalas teriakan Kirmin.
Seorang lelaki berjalan di bawah payung mendekati dan menepuk pundak Kirmin. Lantas membiarkan lelaki malang itu menangis memanggil-manggil anak-istrinya. Dia paham apa yang dirasakan Kirmin sekarang. Tak akan jauh beda dengan perasaannya dulu saat anak gadisnya dibawa paksa di depan mata. Namun, dengan sigap dia segera menangkap tubuh Kirmin yang oleng dan dengan susah payah membawanya menuju rumah di seberang jalan.
Seorang perempuan menyambut mereka, membantu membaringkan Kirmin di bale-bale bambu berlapis tikar plastik, lalu segera membawa baskom berisi air hangat dan handuk. Saat suaminya membantu membersihkan tubuh Kirmin, perempuan itu segera menyiapkan makanan dan teh hangat. Semua itu dia kerjakan dalam diam dan wajah penuh rasa takut. Takut jika bicara maka seluruh kalimat yang dia keluarkan akan merambat melalui dinding, hujan, dan udara hingga sampai ke kantor bupati. Dia tak ingin jika dirinya atau suaminya nanti berurusan lagi dengan orang-orang yang merobohkan rumah Kirmin tadi sore. Tak ingin lecutan cemeti menghujani tubuh suaminya lagi seperti ketika mempertahankan putri semata wayangnya sebulan yang lalu.
Hujan reda saat malam telah larut. Namun, bintang-bintang terlanjur lelap dalam pelukan gelap. Kirmin tertatih-tatih dalam remang cahaya dari lampu di teras rumah tetangga. Dia menuju reruntuhan rumahnya yang dibangun dari hasil keringatnya selama belasan tahun. Dia menatap puing-puing surganya sambil bersandar pada dinding yang masih berdiri. Setiap bongkahan tembok yang berserak seolah-olah mengulang cerita yang tadi didengarnya. Bahwa setelah dia dibawa polisi, anak istrinya juga dibawa anak buah Pak Bupati. Kemudian sore harinya tubuh istrinya dilempar dari sebuah jip hitam.
“Maafkan aku,” gumamnya sambil menunduk lalu berjongkok mengambil pecahan genting. Dia menutup mata saat membayangkan tubuh istrinya yang telanjang tak bernyawa dilempar begitu saja layaknya bangkai binatang. Dia meremas pecahan genting di tangannya hingga telapak tangannya berdarah. Napasnya memburu. Dia merasa gila memikirkan nasib dua anak lelakinya yang belum diketahui. Kirmin menutup wajahnya, lalu meremas kepalanya. Beberapa menit kemudian terdengar teriakannya disusul suara tawanya. Beberapa pasang mata mengintip dari balik gorden dengan wajah ketakutan, waswas jika esok lusa giliran mereka. (*)
Bandung, 6 Januari 2021
Rainy, seorang wanita yang selalu bahagia.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata