Lonceng Gereja dan Pelangi di Halaman Sekolah
(Juara 1 Event Cerpen Penerbit Baswara)
Oleh: Rachmawati Ash
Melewati jalan Dr. Wahidin, kota Semarang. Jalanan hampir lenggang, suasana asri masih tetap sama dari tahun ke tahun. Sore ini, aku melaju dengan mobil yang mengantarku untuk berkunjung ke rumah Daniel. Aku menggigit bibir, menahan perasaan kehilangan yang tiba-tiba melesak ke dalam dada. Sepanjang jalan, mataku tak lepas dari gedung peninggalan Belanda yang megah. Sebuah gereja kokoh di sampingnya. Juga sebuah gereja kecil yang apik, bangunannya masih asli tanpa renovasi. Kuhentikan mobil, berhenti di tepi jalan untuk turun dan menengok sebentar almamater SMA ku.
Senja merekah, dibelah oleh pucuk-pucuk dedaunan yang rimbun dari Akasia depan Sekolah. Langit berwarna jingga, persis saat dulu aku menunggunya keluar lapangan basket. Menantinya di teras gereja tua yang sepi. Setiap selasa dan sabtu sore, dengan taat aku menunggunya menyelesaikan latihan dengan teman-temannya.
Sore ini, aku duduk kembali di tembok setinggi paha orang dewasa. Semilir angin dari hutan lindung samping gereja tua, menerpa tengkukku yang terbuka. Wajah Daniel tersenyum, saat mataku menangkap gambar di tembok pembatas gereja dengan parkiran. Kuraba lukisan itu dengan teliti, dua bocah bergandengan tangan dengan riang. Dulu, Daniel bilang itu adalah aku dan dirinya.
Aku melihatnya tersenyum, berjalan mondar-mandir di tempat ini. Sebentar-sebentar kepalanya menyembul ke parkiran, memastikan hujan akan segera reda dan mengantarku pulang. Dia tersenyum, kedua telapak tangannya tengadah memainkan air yang turun seperti tirai yang dramatis. Lelah menunggu hujan reda, dia menggambar di tembok dengan pecahan batu yang ditemukannya.
Dengan rona gembira, dia menujukkan kepadaku,”Ini aku, ini kamu.”
“Ih, mana bisa aku seperti itu, rambutku tidak sepanjang itu, Dan.” Aku memprotes.
Daniel membulatkan mata, sejenak berpikir. Lalu menambahkan bunga di atas kepala gambar perempuan di tembok itu. Dia berhasil membuatku tertawa dan melupakan waktu saat menunggu hujan reda.
“Bagaimana? Sudah mirip kamu belum?” matanya menyipit saat tersenyum.
Aku mengangguk. Mengambil pecahan batu dari tangannya, aku hampir saja memahat namaku dan namanya di sana. Tetapi, tangan Daniel menarik lembut jari-jariku.
“Jangan menulis nama kita, biar jadi rahasia saja. Lebih seru.”
Aku kembali mengangguk dan menuruti kata-katanya. Aku tidak bisa memprotes pada laki-laki yang kusayangi. Aku berdiri, disusul oleh Daniel yang mengajakku berjalan ke tepi teras gereja. Dia mengamati langit yang masih sedikit gelap, menebak-nebak kapan hujan akan berhenti.
Waktu sudah sore, sebentar lagi senja akan datang menyambangi kami. Beberapa anak basket dan Cheerleaders sudah meninggalkan sekolah, nekat menembus hujan. Hanya kami berdua di teras gereja tua yang sunyi.
Sore ini, aku mengamati sekitar, tidak ada yang berubah. Gedung sekolah yang klasik, gereja yang kokoh dan pohon-pohon akasia yang rimbun. Semua masih ada di sini, sama seperti kenanganku bersamanya, kenangan yang tidak akan mati terbunuh oleh waktu. Tetapi, aku tidak ingin terjebak dalam kenangan dengannya, apalagi aku telah bersuami sekarang ini. Aku tidak ingin mengkhianati suamiku yang sangat menyayangiku.
Suami pilihan hati yang kudapatkan dengan menyakiti Daniel. Aku meninggalkan Daniel demi laki-laki yang saat ini menjadi suamiku. Aku mengenalnya saat pertama masuk ke Universitas setelah lulus SMA. Daniel kecewa dan bersedih hatinya. Semua memang salahku, aku tidak sengaja terpesona dengan laki-laki lain. Entah, ada perasaan lain yang membuatku terpikat dan ingin selalu dekat dengannya. Hari-hariku selalu nyaman saat bersamanya. Dia lebih dewasa dan memahami perasaanku. Sampai suatu hari, Daniel menyadari pengkhianatanku dan memintaku meninggalkan laki-laki itu. Tetapi aku memilih meminta putus darinya, meminta Daniel pergi dan melupakanku.
Aku berdiri hendak berjalan ke mobil, tetapi suara lonceng dari gereja menahan langkahku. Tiba-tiba wajah Daniel yang manis berkelebat di depan mataku, gigi gingsulnya terlihat begitu manis saat tersenyum. Dia berlari ke parkiran dan mengambil helm untukku. Dengan lembut dia pakaikan helm di kepalaku, lalu menggandeng tanganku ke motor dan mengajakku menuju parkiran. Hujan sudah benar-benar berhenti, matahari sore itu tampak istimewa. Sinarnya terang benderang, memanggil tujuh warna bidadari melengkung di atas sekolah kami.
Aku menghentikan langkah, menatap pelangi dari halaman sekolah yang masih basah. Daniel berdiri di sampingku, tersenyum-senyum dan mengamati pelangi serta wajahku secara bergantian.
“Pelanginya cantik, sama kayak kamu.” Ucapnya sambil melepas helmnya.
Kami berdiri mematung, tidak ingin menyia-nyiakan pemandangan indah yang langka. Dan, pipiku merona saat mendengar pujiannya.
Lonceng gereja mengalun, membuat kami sedikit terkejut, lalu tertawa bersama. Perlahan-lahan pelangi memudar, kami berlari kecil meninggalkan halaman sekolah. Lonceng dari gereja terus mengalun, mengiringi kepergian pelangi juga kepergian kami. Suaranya semakin mengecil, saat motor kami melaju di jalan Dr. Wahidin yang senyap. Aspal jalanan masih basah dan licin, Daniel mencari tanganku, memintaku memeluknya dari belakang. Mulutnya bersenandung lagu cinta. Menggodaku dari kaca spion, membuatku makin tersipu dan merona-rona karena malu.
Sore ini, aku mengerjap-ngerjapkan mata, berusaha menahan air mata yang hendak turun ke pipi. Aku merasa bersalah karena telah menyakiti hati dan meninggalkannya. Tetapi, di sisi lain aku tak pernah menyesal. Karena aku pergi bukan tanpa alasan, aku seorang Islam sedangkan Daniel adalah seorang Katholik taat. Kami memang saling menyayangi, tetapi ada rasa takut yang menghantuiku. Ketakutan seorang remaja labil yang belum bisa mengambil sikap dengan benar. Padahal, bukankah perbedaan tidak seharusnya menjadi alasan? Di luar sana, banyak pasangan berbeda keyakinan tetapi tetap rukun dan saling mencintai sampai kematian memisahkan.
Kuhirup udara dalam-dalam, melangkahkan kaki sepanjang halaman sekolah, melewati halaman gereja. Sepatuku menapaki paving block yang mulai basah oleh rintik hujan. Sore ini, aku seperti mengalami dejavu. Lonceng kembali bergema, mengantar langkahku menuju mobil. Aku menengadahkan kepala ke langit, melihat mendung berduyung-duyung ke utara. Kali ini, mataku benar-benar basah oleh dua hal; hujan dan air mata. Daniel seperti berlari mengejarku, di tangannya membawa helm yang akan dipakaikan di kepalaku. Seperti biasa, dia akan menggandeng tanganku, membawaku ke parkiran dan segera melaju melewati pohon-pohan akasia sepanjang dokter wahidin.
Kulajukan mobil, menuju ke rumah Daniel. Sebenarnya aku enggan pergi ke sana, jika bukan mamanya yang menelpon dan memohonku untuk datang. Aku berusaha menyakinkan hati, bahwa kedatanganku bukan untuk menganggu Daniel dan calon isterinya. Aku akan mengucapkan selamat atas pernikahannya yang sedikit terlambat dibanding dengan pernikahanku.
Aku gugup, saat memasuki halaman rumahnya. Dadaku berdebar lebih kencang dari sebelumnya, entah ada sesuatu yang membuatku tidak nyaman. Rumah ini, dulu yang selalu rajin kukunjungi setiap sabtu dan minggu. Aku telah banyak menghabiskan waktu dengan Tante Marta, membuat kue atau sekadar nonton TV bersama. Keakrabanku dengan keluarga Daniel membuatku gugup dan takut. Ini adalah kedatangan pertamaku setelah lima tahun memutuskan hubungan dengan Daniel.
Tante Marta menyambut kedatanganku, dia berdiri tidak tenang di teras rumahnya. Aku masih di dalam mobil, mencari kata yang tepat untuk memulai berbicara. Tetapi Tante Marta lebih dulu menyapaku, memeluk tubuhku dengan kerinduan yang dalam. Dia memelukku seperti seorang Ibu yang telah lama tidak bertemu dengan putrinya. Aku tidak dapat menahan air mata, aku memeluknya dengan penuh kasih dan penyesalan.
“Apa kabar anak Mama?” ucapnya saat melepas pelukannya.
Aku hanya tersenyum, menahan air mata agar tidak lebih banyak keluar dan membasahi pipiku. Aku menurut, saat Tante Marta mengajakku masuk ke dalam rumahnya. Aku terkejut, melihat Daniel terbaring di sebuah sofa. Tidak beranjak, matanya melihat sebuah bingkai foto yang ada di tangannya. Lalu melirik ke arahku.
Sekuat hati aku berusaha menyapanya, “Hai, Dan” hanya kalimat yang keluar dari mulutku.
Aku duduk di depannya, menunggu jawaban darinya. Daniel duduk dan menatapku. Aku semakin gugup dan tidak keruan. Aku memperhatikannya dengan seksama, tidak ada yang berubah darinya. Dia tetap manis, hanya tatapan matanya saja yang sulit kuartikan.
“Hai.” Kalimat itu menjawab kegugupanku.
Beberapa menit suasana canggung, kami tidak saling bicara. Aku menunggunya menyapaku, atau menanyakan kabarku. Tetapi hanya jarum jam yang justru terdengar di ruang tamunya yang sunyi.
Daniel membetulkan posisi duduknya, “Mama yang memintamu datang ke sini? Katakan pada mamaku, aku tidak mau menikah. Hatiku sudah mati untuk mencintai perempuan lain. Aku takut tidak bisa membuatnya bahagia, karena hati dan cintaku masih untuk cinta pertamaku.”
Seketika, aku bagai disambar petir di sore hari. Aku benar-benar merasa bodoh dan bersalah. Ternyata kedatanganku ke sini adalah untuk membujuknya menikah dengan perempuan pilihan mamanya. Aku tertunduk, tangisku pecah mewakili penyesalan yang begitu menyesakkan dada. Daniel mencintaiku dengan begitu dalam, tetapi aku mengkhianatinya. Aku membuat cinta pertamanya gugur dan tidak mau bersemi kembali. Aku menjatuhkan diri di pangkuannya, memohon ampun.
Daniel mengusap lembut kepalaku, meletakkan bingkai foto di sampingnya. Aku semakin tertunduk, dengan air mata yang leleh, saat melihat fotoku dalam pelukannya begitu manis dalam bingkai itu.
“Aku tidak membencimu, Bel, pulanglah. Aku akan baik-baik saja. Aku akan hidup sendiri, karena bagiku melihatmu bahagia sudah cukup bagiku. Jangan minta maaf, aku tidak bisa melihatmu memohon seperti ini. Sini, duduklah di sampingku, temani aku sebentar.” Wajah dan kata-katanya jauh lebih dewasa dari lima tahun lalu saat aku meninggalkannya.
Aku duduk di sampingnya. Sampai Daniel menggandeng tanganku, berjalan ke teras rumahnya. Hujan mulai reda, pelangi datang di sebelah barat, tetapi tampak jauh dan samar-samar.
“Aku minta tolong, katakan pada mamaku, jangan pernah memaksaku untuk menikah dengan siapapun. Karena pengantinku sudah pergi. Sama seperti pelangi itu, dia hanya muncul sebentar dan menghiburku, tapi sebentar lagi dia akan pergi dan entah kapan lagi dia akan datang mengunjungiku.” Kalimat Daniel sambil menunjuk pelangi yang samar-samar menghilang.
Aku berdiri mematung, tidak berani mengangkat wajah. Aku tidak sanggup melihat matanya yang penuh kekecewaan. Aku memeluknya, mengucapkan maaf berkali-kali. Daniel hanya diam, tidak menjawab sepatah kata. Aku merasakan getaran dadanya penuh kesedihan.**