Kappa : Satu-Satunya Kewarasan adalah Ketidakwarasan
Oleh : Vianda Alshafaq
“Untuk berbuat, harus mampu untuk berbuat dan mampu untuk berbuat adalah berbuat. Betapa pun kita tak dapat lolos dari lingkaran setan ini. Dengan kata lain: seluruh kehidupan kita berlawanan dengan logika.” (hal. 49)
Tahun 2016 lalu, Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) telah menerbitkan sebuah novel singkat dari Ryunosuke Akutagawa yang berjudul Kappa. Novel yang—hanya—terdiri dari 83 halaman ini berhasil membuat saya menemukan betapa “gilanya” imajinasi Ryunosuke Akutagawa. Novel ini berkisah tentang pasien no. 23 sebuah rumah sakit jiwa. Ia meninggalkan penginapan di Kamikochi menuju Gunung Hodaka dengan melewati lembah sempit yang disebut Lembah Azusagawa.
Pria itu—si pasien no. 23—berjalan di dalam kabut yang tebal. Ketika ia hendak makan, ia melihat kappa yang sedang bergelayut di Pohon—untuk pertama kalinya, yang kemudian dikejarnya dan membuatnya terjatuh ke sebuah lubang: pintu masuk ke Dunia Kappa. Kappa sendiri adalah makhluk serupa manusia umur 10 tahun, telanjang, berdiri tegak, bisa berbicara dengan bahasa manusia—tentu juga dengan bahasa Kappa, kepalanya berambut pendek dan memiliki cekung yang berisi air, dan berlendir.
Di Dunia Kappa, pasien no. 23 itu mengenal Kappa lebih baik. Ia mengetahui kebiasaan-kebiasaan Kappa yang berbeda dari kebiasaan manusia dari tempatnya. Seperti kebiasaan kappa betina yang mengejar-ngejar kappa jantan, bagaimana hukum yang berlaku di Dunia Kappa yang bisa membebaskan pelaku kejahatan karena sudah berganti status—misalnya kasus salah satu Kappa yang mencuri pulpen si pasien untuk mainan anaknya yang kemudian dibebaskan dari hukuman karena anaknya telah mati, dan ini membuat ia berganti status dari seorang ayah menjadi bukan seorang ayah. Di Dunia Kappa, si pasien no. 23 juga memahami bagaimana Kappa memandang kesenian dan kepercayaan. Di Dunia Kappa, ia juga mengetahui bahwa hanya karena satu kata, Kappa bisa mati. Barangkali, kata-kata memang dapat membunuh seseorang. Jika tidak membunuh raga, kata-kata mampu membunuh nurani dan jiwa.
Melalui Kappa, Ryunosuke Akutagawa menyentuh segala bidang dalam kehidupan ini. Keluarga, sosial, politik, seni, dan bahkan ia juga menyentuh agama. Meski buku ini sangat tipis, tetapi novel ini benar-benar “berisi”. Di dalam novel, Akutagawa bahkan mengabulkan apa yang tidak bisa dikabulkan di dunia manusia—melalui peristiwa “pembatalan” kelahiran anak kappa yang tidak ingin dilahirkan ke Dunia Kappa.
Jika kita kaitkan dengan kehidupan manusia, tentu hal itu—“pembatalan” kelahiran anak kappa—sangat tidak mungkin dan tidak logis. Namun, seperti yang dikutip di awal tulisan ini, seluruh kehidupan sebenarnya memang tidak logis—entah kehidupan Kappa atau mungkinkah kehidupan manusia? Dan, begitu pulalah novel ini dituliskan: menjadi sesuatu yang logis di tengah ketidak-logisan.
Kembali ke cerita Kappa, novel ini berakhir dengan kembalinya si pasien no. 23 ke dunia manusia. Namun, karena sudah terbiasa di dunia kappa, ketika kembali ke dunia manusia ia mengalami kesulitan untuk kembali membiasaan diri di sana. Ia membenci bau manusia yang lebih kotor dari Kappa. Ia masih terbiasa dengan bahasa Kappa sehingga sesekali ia tanpa sengaja berbicara dalam bahasa kappa.
Satu lagi kutipan paling menarik menurut saya dalam buku ini adalah sebagai berikut:
“Apa yang ingin kita banggakan ialah yang tidak ada pada diri kita.”
Kalimat tersebut betul-betul relevan dengan keadaan manusia saat ini—setidaknya sejauh pengamatan saya—yang tidak bisa bersyukur atas keadaannya sendiri. Manusia selalu memiliki keinginan di atas keinginan yang lain, sama seperti penyair kappa yang bunuh diri untuk mencari hal yang ia inginkan.
Sekali lagi saya teringat bagaimana kata-kata dapat membunuh Kappa. Sebuah pertanyaan muncul di kepala saya, mungkinkah itu adalah refleksi dari alasan mengapa Akutagawa memilih untuk mengakhiri hidupnya sendiri? Akutagawa mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri pada usia 35 tahun. Ia meninggal di tahun yang sama dengan tahun pertama kali buku ini diterbitkan yaitu tahun 1927.
Terlepas dari semua itu (mengapa Akutagawa mengakhiri hidupnya), Kappa benar-benar berhasil membuat saya “masuk” ke dalam imajinasi Akutagawa. Segalanya benar-benar terasa nyata, tetapi sebenarnya tidak nyata. Bahkan akhir kisah ini—yang kembali pada keadaan “aku” di rumah sakit jiwa, membuat saya ragu, apakah kisah ini benar-benar terjadi ataukah hanya sekadar imajinasi dari si pasien no. 23 di sebuah rumah sakit jiwa? (*)
Vianda Alshafaq, anggota Kelas Menulis Loker Kata yang menyukai segala hal berbau cokelat.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata