Surya untuk Siti

Surya untuk Siti

Surya untuk Siti
Oleh: Lintang Ayu

“Pikirkan baik-baik ucapan Ibu, ya, Nak?” ucap Ibu.

Saya diam. Saya tidak tahu harus berkata apa. Setelah mengucapkan kalimat itu, Ibu tidak lagi berbicara panjang lebar seperti tadi. Sepertinya, beliau tengah memberikan saya waktu untuk berpikir sejenak. Kami terdiam cukup lama, sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Sudah jam 9, bersiap-siap sana. Katanya ada tugas di perpustakaan,” ucap Ibu memecahkan keheningan di antara kami.

Saya mengangguk, lalu bergegas memasuki kamar. Saya mengganti baju, menyisir rambut, lalu mengambil tas yang sudah dipersiapkan sejak semalam. Setelah merasa tidak ada lagi yang tertinggal, saya keluar kamar.

“Bu, Siti berangkat dulu.”

“Iya, Sayang. Hati-hati. Setelah selesai langsung pulang, ya?”

Saya mengangguk. Lalu melangkah meninggalkan rumah setelah lebih dulu mencium tangan Ibu. Sesampainya di halte, saya duduk di samping ibu-ibu dengan perhiasan yang mencolok. Wanita itu melirik saya sekilas, lalu menggeser pantatnya menjauhi saya.

Sepanjang menunggu kedatangan bus, pikiran saya kembali teringat ucapan Ibu. Mulanya, Ibu bercerita tentang kepergian Ayah demi wanita lain yang merupakan cinta pertamanya. Lalu, menceritakan kesulitan Ibu memenuhi kebutuhan sehari-hari kami. Usaha kue donat yang sudah hampir setahun Ibu lakoni hanya bisa untuk makan setiap harinya, sedangkan untuk membiayai sekolah saya, Ibu harus bekerja lebih keras lagi. Saya mendengarkan curhatan Ibu sembari menatap raut wajah lelahnya.

Namun, ucapan terakhir Ibu membuat dada saya bergetar hebat. Saya masih belum bisa mencerna kalimat terakhir Ibu. Apa sebenarnya maksud dari ucapannya barusan?

“Maksud Ibu?”

“Apa kamu bersedia menikah dengan Surya?”

“Menikah?”

Ibu mengangguk.

“Bu, Siti masih sekolah.”

“Ibu tahu. Tapi Ibu sudah tidak sanggup membiayai sekolah kamu, Nak. Kamu bersedia, kan, Sayang?”

Saya bingung harus berkata apa? Jika saya menolak permintaan Ibu, bagaimana saya bisa membayar uang sekolah yang tidak sedikit itu? Beasiswa? Tidak mungkin. Otak saya saja pas-pasan. Jangankan untuk menjadi juara sekolah, bisa mempertahankan nilai agar tidak mendapat nilai merah saja sudah bagus. Namun, jika saya menerima permintaan Ibu untuk menerima pinangan putra Bu Ribka, bagaimana dengan sekolah saya?

Ah, memikirkan hal itu membuat kepala saya terasa pusing.

“Ya, Allah … Siti harus bagaimana?”

Tiba-tiba terdengar suara klakson motor tidak jauh dari tempar saya. Saya menoleh ke sumber suara. Laki-laki yang baru saja saya pikirkan, kini tengah melambaikan tangan ke arah saya. Saya mengucek mata. Benar. Dia Mas Surya.

“Siti, ayok, saya antar,” ajak Surya.

Saya diam.

“Kata Ibu, kamu mau ke perpustakaan. Biar Mas antar. Lagian kita searah, kok.”

Saya bimbang. Jika menolak, saya akan terlambat sampai ke perpustakaan. Akan tetapi, jika saya menerima ajakannya, apakah Mas Surya akan mengira saya menerima lamarannya? Sedangkan saya belum mempunyai jawaban atas pinangannya tersebut.

“Bus ke arah perpustakaan entah kapan datangnya. Nanti kamu terlambat, loh!”

Ucapan Mas Surya benar. Jika saya masih bertahan di sini menunggu bus, entah kapan saya bisa sampai ke perpustakaan. Toh, tidak mungkin, kan, Mas Surya akan meminta jawaban di tengah jalan?

Akhirnya, saya menyerah. Saya beranjak dari duduk, lalu melangkah mendekati laki-laki yang tengah menyunggingkan senyuman, membuat lesung di kedua pipinya terlihat jelas. Saya mengambil helm yang Mas Surya ulurkan, lalu memakainya.

Kendaraan berjalan membelah kota Jakarta yang panas.

“Pulang jam berapa?” tanyanya setelah ia menjalankan motornya.

“Nggak tahu.”

“Kok nggak tahu?”

“Iya, Siti, kan, nggak tahu kapan selesainya.”

“Nanti hubungi Mas kalau sudah selesai, ya?”

Saya diam saja. Apa-apaan ini?Mengapa sikap Mas Surya jadi begini?

“Siti.”

“Iya, iya. Nanti kalau udah selesai Siti kirim pesan buat Mas,” ucap saya kesal.

Ini bukan pertama kalinya saya dibonceng oleh Mas Surya. Sejak Bu Ribka menjadi langganan kue donat Ibu, saya sering diberi tugas untuk mengantarkan kue pesanan juragan kayu itu. Dari situlah saya berkenalan dengan Mas Surya–laki-laki yang umurnya sepuluh tahun di atas saya. Laki-laki itu sering memaksa saya untuk mengantar pulang.

Sepanjang perjalanan, saya terus memikirkan ucapan Ibu. Hingga tanpa saya sadari, sepeda motor yang saya tumpangi telah berhenti di depan Perpustakaan Bianglala Ilmu. Saya turun dari motor, lalu menyerahkan helm.

“Jangan lupa hubungi Mas kalau sudah selesai.”

“Iya,” jawab saya sedikit kesal.

“Good! Mas jalan dulu, masih ada kerjaan. Ya, udah sana masuk,” perintah Mas Surya.

Saya menurut. Saya berlari kecil menuju pintu masuk Bianglala Ilmu. Sudah beberapa kali saya datang ke perpustakaan Bianglala Ilmu untuk sekedar mencari bacaan novel terjemahan gratis. Jadi saya sudah hafal setiap sudut ruangan perpustakaan. Alhasil, saya tidak perlu bertanya lagi di mana tempat kami belajar. Syukurlah, kelas belum dimulai. Tidak biasanya Bu Meida terlambat. Ah, sudahlah, lebih baik saya kembali menyelesaikan tugas esai yang sudah saya kerjakan semalam.

Bu Meida datang, lalu kelas dimulai. Beliau menerangkan apa saja yang harus kami perlukan untuk membuat esai. Semua mata tertuju pada Bu Meida, termasuk saya. Namun, kepala saya justru sibuk memikirkan Mas Surya dan ucapan Ibu.

Saya terus memikirkan nasib masa depan saya. Jarak usia saya dan Mas Surya terpaut jauh. Meskipun secara fisik Mas Surya terlihat awet muda. Dan yang lebih utama adalah saya masih ingin melanjutkan sekolah saya sampai tamat. Jika saya menerima pinangan Mas Surya tetapi dengan sebuah syarat, apakah laki-laki itu mau menerimanya?

Tiba-tiba terdengar tawa membahana dari teman-teman. Entah apa yang mereka tertawakan, saya tidak tahu. Mungkin lagi-lagi ulah Aura.

Pelajaran telah usai, Bu Meida pun sudah mengakhiri kelas hari ini. Setelah semua teman-teman pergi, saya mengambil ponsel hendak mengabari Mas Surya. Namun, ternyata laki-laki itu sudah lebih dulu memberikan pesan bahwa ia sudah menunggu saya di kafe Poirot. Saya pun segera pergi menemuinya. Kafe Poirot masih berada di samping perpustakaan Bianglala. Jadi tidak membutuhkan waktu lama, saya sudah bisa menemukan sosok laki-laki berlesung pipi itu.

“Sudah lama?” tanya saya.

Mas Surya menoleh ke arah saya dengan senyuman menghiasi wajahnya.

“Lumayan. Mau pulang sekarang atau ….?”

“Bisa kita bicara sebentar?”

“Silakan duduk. Mau minum apa?” tawarnya.

“Apa aja,” jawabku.

Sebenarnya saya memang tidak tahu apa saja yang disediakan di kafe ini. Meskipun sudah sering keluar masuk Perpustakaan Bianglala Ilmu, tetapi tidak pernah sekalipun saya membeli minuman ataupun makanan di sini. Bahkan meskipun beberapa kali saya menemui diskon besar-besaran, buat saya harga kopi di kafe tetaplah tidak bisa saya jangkau.

“Mau makan apa?”

“Tidak usah.”

Berhadapan langsung dengan Mas Surya entah mengapa membuat saya salah tingkah. Saya masih diam. Sebenarnya saya ingin menjawab pinangannya, dengan mengajukan sebuah syarat seperti yang telah saya rencanakan tadi. Akan tetapi, mengapa kalimat yang sudah tersusun rapi tiba-tiba menghilang dalam kepala saya.

Seorang wanita cantik datang membawa secangkir kopi untuk saya, lalu kembali ke tempatnya semula.

“Diminum. Tapi hati-hati masih panas.”

Saya hanya membalas ucapannya dengan seulas senyuman. Saya mengambil cangkir kopi di hadapan saya. Aroma kopi yang tercium membuat saya sedikit lebih tenang. Setelah mengira-ngira sudah tidak terlalu panas, saya menyeruput kopi tersebut. Ada sedikit rasa pahit yang masih menempel di lidah saya.

“Mau membicarakan soal apa?” Mas Surya bertanya tanpa melepas pandangannya dari saya. Membuat saya semakin salah tingkah.

“Itu ….”

Entah mengapa bibir ini menjadi kelu.

“Siti.”

“Saya mau membicarakan soal kita.”

“Oke!”

Mas Surya memperbaiki letak duduknya.

“Apa yang Ibu ucapkan pada saya itu benar?”

“Soal?”

“Mas meminang saya.”

Mas Surya semakin menatap lekat ke arah saya.

“Benar. Lalu, apa jawaban kamu?”

“Saya masih ingin sekolah.”

“Apakah itu berarti kamu menolak pinangan saya?”

“Tidak!”

Mas Surya tampak bingung.

“Maksudnya?”

“Saya menerima pinangan Mas, tapi dengan syarat.”

“Apa syaratnya?”

“Saya masih ingin menyelesaikan sekolah sampai tamat.”

“Hanya itu?”

“Hanya itu?”

“Maksud saya, apakah hanya itu syarat dari kamu.”

Saya mengangguk.

“Deal!” jawab Mas Surya sembari mengulurkan tangan kanannya.

Dengan sedikit rasa ragu, saya membalas uluran tangannya.

“Oke! Minggu depan kita menikah!”

“HAAAH!” (*)

Lintang Ayu, pencinta fiksimini.

Editor: Evamuzy
Sumber Gambar: pinterest.com

Leave a Reply