Sutradara: Jake Kasdan
Produser: Matt Tolmach, William Teitler
Penulis skrip: Chris McKenna, Erik Sommers, Scott Rosenberg, Jeff Pinkner
Tanggal rilis: 20 Desember 2017
Kamu tahu film Jumanji? Kalau kamu termasuk people zaman old (sama seperti saya) kemungkinan kamu tahu film itu. Film yang diperankan oleh Robin Williams itu bercerita tentang permainan papan (serupa ludo) yang berkemampuan mistik. Jika seseorang memainkannya—harus dengan empat pemain—maka mereka akan masuk ke dalam dunia Jumanji. Dunia fantasi yang memungkinkan beragam hal aneh bin supranatural terjadi di sana.
Sederhananya jumanji hanyalah permainan, jika berhasil diselesaikan, segala sesuatu pun akan kembali ke kondisi semula—seolah tak ada apa pun yang terjadi. Mereka yang menyelesaikan jumanji tidak akan kekurangan apa pun dalam kehidupannya yang nyata, malah mereka akan mendapatkan pengalaman luar biasa saat memainkannya. Menyenangkan? Tunggu dulu! Ada satu syarat mengerikan yang harus mereka penuhi saat memainkannya: mereka harus menyelesaikan permainan!
Selain itu mereka, secara harfiah, bisa betul-betul tewas dalam permainan itu atau terjebak di dalamnya hingga bertahun-tahun—jika tidak kunjung menyelesaikannya. Itulah yang menyebabkan permainan ini tidak betul-betul menyenangkan.
Film Jumanji yang rilis pada 1995 merupakan adaptasi dari buku yang berjudul sama, terbit pada tahun 1981 oleh penulis Amerika Chris Van Allsburg. Menurutnya, kata jumanji diambli dari bahasa Zulu (daerah di Afrika Selatan) yang berarti many effects. Film Jumanji saat itu diperankan Robin Williams dan Kirsten Dunst remaja—si Mary Jane dalam trilogy Spider-Man (2002-2007).
Ketika film itu selesai, ceritanya memang menggantung. Permainan papan yang dibuang itu sampai ke sebuah tempat jauh dan ditemukan oleh seseorang, yang tentu membuat kita menebak bahwa film ini pasti ada—atau bisa saja dibuatkan—sekuelnya.
Dibanding pendahulunya, film ini memberi kesegaran baru karena ia dipengaruhi oleh budaya zaman now. Permainan papan? Siapa yang mau main? Maka Jumanji Si Permainan Papan pun bertransformasi menjadi cartridge video game. Sebuah ide yang kreatif dan cerdas, dengan begitu ia berhasil menarik perhatian penonton di kalangan remaja sekaligus membuat penasaran para penggemar Jumanji—apa jadinya jika jumanji menjadi video game?
Selain ide yang bisa kena ke pelbagai target penonton—misalnya remaja (karena tokohnya anak sekolah), penggemar Jumanji dan film fantasi, dan gamers—film ini juga semakin bertambah nilai jualnya dengan pemilihan cast yang populer. Ada Dwayne Johnson—saya mengenalnya lebih dulu sebagai The Rock dalam WWE—dan Jack Black dalam jajaran cast. Dwayne Johnson tentu sangat populer baik itu bagi penggemar WWE dan film aksi, ia akan menarik minat penonton remaja-muda, sementara Jack Black adalah aktor yang bermain bagus dalam banyak genre—khususnya komedi. Aktor senior yang agak gemuk ini nyaris bagus di semua perannya. Jadi, tidak heran ketika film ini meraih box office di berbagai negara. Ia adalah sekuel dari film yang sudah populer sebelumnya, ceritanya dimodifikasi menjadi kekinian, dan berisi aktor-aktor penarik perhatian.
Sebelum menonton film ini, sejujurnya saya agak skeptik saat melihat cast dan posternya. Terlalu komersil untuk film sekeren Jumanji. Ngapain The Rock di sana? Ketiga cast lain pun kurang familiar wajahnya—kecuali jack Black—dan mereka mengenakan pakaian ala-ala Diego (pacarnya Dora). Saya menyayangkan adanya Jack Black di sana.
Man, kenapa main di film begituan sih?
Yap, itu cuma penilaian yang muncul saat melihat posternya saja. Hal ini sama terjadi ketika saya melihat Woody Harrelson dalam film Now You See Me. Wah, aktornya terlalu bagus untuk film fantasi yang juntrungannya nggak jelas begitu (sori pengemar Now You See Me).
Tapi karena saya penggemar Jumanji, maka tidak mungkin saya tidak nonton. Untungnya setelah menonton, saya puas. Bagaimanapun film ini memang lebih kental sisi komersilnya, eksplorasi “dunia fantasi”-nya lemah, pun dramanya—saya tidak mendapat perenungan yang berarti setelah menonton. Akhir film ini tidak jauh berbeda dengan akhir pada film pendahulunya, jadi saya tidak mendapatkan efek perenungan kembali.
Meskipun begitu dua-duanya bagus, layak tonton, sementara target penonton untuk sekuel ini dijadikan lebih luas. Sebagai gamer (paling tidak mainnya di rumah saja), saya senang bagaimana jumanji kali ini dibikin menjadi video game dan penggambaran detail-detail “game”-nya pun meyakinkan.
Cerita diawali dengan seseorang yang menemukan jumanji di pesisir pantai. Karena dianggapnya menarik, dibawalah permainan itu kepada anaknya, Alex. Yang kita tahu, jumanji punya “kemampuan” untuk menarik perhatian anak-anak untuk memainkannya. Tapi tentu saja, Alek tidak tertarik memainkannya karena ia sudah punya video game, lagi pula siapa yang memainkan permainan papan sekarang?
Esoknya, jumanji—permainan papan itu—“membuat” dirinya sendiri dalam versi cartridge yang menyimpan permainan jumanji di dalamnya. Ia melihat bagaimana Alek tidak tertarik memainkannya dan lebih memilih video game, dan ia pun “mengubah” dirinya supaya lebih menarik bagi Alex. Malamnya, Alex yang tertidur dibangunkan oleh jumanji dengan suara genderangnya yang mendebarkan. Setelah membuka permainan papan itu, ia pun menemukan cartridge di sana, dan langsung memainkannya. Malam itu, ia masuk ke dunia dunia jumanji.
Dua puluh tahun kemudian, kondisi rumah Alek menjadi kumuh. Namun, rumah itu masih ditempati seolah lelaki—mungkin ia ayah Alex. Cerita kemudian beralih ke karakter lain, empat anak sekolah yang dihukum oleh kepala sekolahnya karena melanggar aturan. Mereka ditugaskan untuk membersihkan basement sekolah, dan di sanalah mereka menemukan video game dan televisi bekas Alek yang ternyata disumbangkan ke sekolah.
Tentu, karena panggilan dari jumanji, mereka pun memainkan video game itu. Mereka memilih empat karakter yang tersisa karena satu karakter dalam game tidak bisa mereka pilih—sudah lebih dulu dipilih Alek. Yang menariknya, mereka tidak sengaja memilih karakter yang bertolak belakang dengan kepribadian mereka. Spencer yang nerd menjadi Dr. Smolder Bravestone (Dwayne Johnson), seorang penjelahah pemberani dan berbadan kekar; Fridge yang bertubuh atletis dan atlit football menjadi Franklin “Mouse” Finbar (Kevin Hart), seorang zoologist yang berlari pun lambat; Bethany Walker si gadis populer dan feminin menjadi Professor Sheldon “Shelly” Oberon (Jack Black), seorang lelaki pembaca peta paruh baca yang kelebihan berat badan; Martha Kaply si gadis pendiam dan skeptik menjadi Ruby Roundhouse (Karen Gillan), perempuan petarung yang cantik.
Dari perubahan menjadi avatar itu saja penonton sudah dihibur dan mulai membayangkan apa yang akan terjadi setelahnya, yang tentu saja sangat menarik karena fisik dan kemampuan mereka yang bertolak belakang dengan mereka sebenarnya. Spencer tetap penakut meskipun dalam tubuh “The Rock”, Fridge terus menggerutu karena menjadi Moose yang bahkan bisa meledak setelah makan cake, Martha tidak nyaman dengan penampilannya yang baru, dan tentu saja ada Bethany yang tidak terima menjadi Profesor Sheldon. Untuk bagian ini, saya mau mengomentari Jack Black yang sangat bagus memerankan tokoh gadis populer yang tidak bisa melepaskan diri dari gadget-nya—tentu karena ia pun seorang aktor komedi yang bagus. Di antara keempat karakter lain, tentu menjadi Bethany adalah tantangan terberat dan Jack Black memerankannya dengan sangat baik.
Petualangan mereka pun dimulai dengan pelbagai tantangan, ketegangan, dan kelucuan yang terasa natural. Detail dalam video game pun dibuat dengan sangat baik, mereka yang menyukai video game pasti akrab dengan beberapa istilah dan “bagian” dalam film—misalnya tentang nyawa pemain, profil yang memuat kelebihan dan kekurangan tokoh, dialog dalam video game yang kaku hingga isi peta yang hanya muncul ketika mereka sudah berada di tempat tertentu saja.
Tugas mereka di sana adalah menyelamatkan Kota Jumanji dari kehancuran yang disebabkan oleh Russel Van Pelt yang mencuri permata dari patung Jaguar keramat. Dengan mengambil permata itu, Van Pelt mendapatkan kekuatan untuk mengendalikan semua binatang dan para penjahat di Kota Jumanji. Oleh rekan Van Pelt, Nigel, permata itu diambil darinya dan diberikanlah kepada para tokoh utama (Dr. Smolder dkk) supaya dikembalikan ke tempat asalnya. Jadi, tugas mereka adalah menyelesaikan setiap babak di dalam game—dengan mempertaruhkan nyawa—untuk menemukan Patung Jaguar dan memasangkan kembali permata itu di sana. Hanya dengan begitulah kekuatan Van Pelt sirna dan Kota Jumanji terbebas dari kekuatan jahat.
Jumanji: Welcome to the Jungle dinyatakan sebagai film tersukses ke-9 sepanjang 2017, yang mana para peringkat lainnya memang bergenre petualangan-fantasi dan super hero. Tidak aneh karena film ini memang salah satu yang sangat ditunggu-tunggu penonton karena pelbagai sebab, seperti film Jumanji (1995) yang memang sudah populer, pemeran yang bernilai jual tinggi dan konsep yang menarik. Ia juga semakin dikenal penonton karena Robin Williams (pemeran utama Jumanji) yang meninggal bunuh diri pada 11 Agustus 2014.
Hal ini disebabkan oleh pernyataan Sony Pictures Entertainment pada Agustus 2015, setahun setelah kematian Robin, bahwa remake Jumanji akan rilis pada 25 Desember 2016. Publik bereaksi negatif terhadap pernyataan tersebut, bagi mereka, mereka terkesan tidak menghargai atau bersimpati dengan duka yang dirasakan para penikmat film—khususnya penggemar Robin. Akhirnya film itu memang tidak rilis pada 2016, tetapi dimundurkan lagi setahun. Ya, apa yang dilakukan oleh Sony Pictures Entertainment memang tidak etis, tetapi karena kontroversi itulah kemudian film sekuel Jumanji ini semakin dikenal masyarakat dan menjadi pembincangan di kalangan penikmat film jauh sebelum filmnya rilis.
Bagi saya sendiri, ada dua hal yang kurang dari film ini, yaitu eksplorasi satwa jumanji yang sedikit proporsinya. Berbeda sekali dengan pendahulunya yang justru “berkesan” karena kehadiran satwa-satwa buas dari Negeri Jumanji. Pada film ini, proporsi humor dan dramanya justru lebih kuat, yang mana membuat ketegangan menonton film ini pun berkurang drastis.
Sayang, padahal yang paling menarik dari film Jumanji adalah negeri Jumanji yang diisi oleh hewan-hewan buas dan langka itu. Terakhir, saya kurang puas dengan karakter Mouse yang terlalu komedik untuk mewakili Fridge. Hal itu mungkin untuk kebutuhan hiburan, bisa dimengerti, tetapi saya tidak melihat karakter Fridge itu humoris. Ia justru cenderung kaku dan tidak banyak bicara. Semestinya sutradara melihat ketidakkonsistenan watak itu dan memperbaikinya.
Lepas dari kelebihan dan keurangan itu, dunia game yang dijadikan tema film benar-benar menarik bagi saya, sebelum ini ada film animasi berjudul Wreck it Ralph yang sangat-sangat bagus. Memuaskan imajinasi saya sebagai gamer yang seringkali bertanya-tanya, seandainya saya masuk ke dalam dunia video game, seperti apa ya rasanya?(*)
Rating: 7/10
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan