Hati yang Lebih Besar

Hati yang Lebih Besar

Hati yang Lebih Besar

Oleh: Putri Khalid

Hampir sebelas tahun kami berpisah–aku dan Bang Satria. Hari pertama kami bertemu, adalah saat bencana tsunami Aceh. Aku menemukannya tengah mengerang kesakitan. Meski wanita di sampingnya tak kekurangan apa pun kecuali pakaian yang melekat, namun berbeda dengan sersan satu itu. Kaki kanannya patah dan telapak tangannya penuh luka robek. Sebagai mahasiswa keperawatan tingkat empat, aku tentu tak bisa membiarkan mereka berdua menggelandang di tepi jalan.

[Andai waktu itu abang ngomong jujur, mungkin ….]

 

Ia katakan itu saat kami berkomunikasi via pesan singkat. Perjumpaan tak sengaja di sebuah grup Facebook bernama Hits from 80’s dan 90’s yang fenomenal seperti membuka kembali cerita patah hatiku yang terberat.

Entah, seperti takdir yang mengikat, aku ditugaskan membantu tim medis di rumah sakit darurat di Banda Aceh. Sungguh, aku masih bisa mengingat ucapan terima kasih, juga senyum tulus setiap kali selesai memeriksa laki-laki asal Jawa Barat itu.

“Nama Adek siapa?”

Ini adalah kali ketiga ia bertanya. Sebelumnya aku pura-pura tak mendengar pertanyaan pelan itu. Aku hanya mengangguk dengan senyum tipis tiap kali ia bercanda padaku dengan menyebutku perawat pribadi. Ya, sejak aku menjahit luka di telapak tangannya waktu itu.

“Cut Asma, panggil saja Asma,” jawabku di hari ia hendak dipindahkan ke Rumah Sakit Militer.

Sejujurnya, selama itu aku diam-diam telah jatuh hati pada sosoknya. Andai waktu itu aku tak bersembunyi dari rasa trauma pada pria berlabel “aparat”, tentu aku akan menahannya lebih lama dalam perawatan. Menjadikan bungkamku sebagai alasan menjaga hati wanita lain.

Dan berharap waktu berjalan lebih lambat, sekadar menyiapkan hatiku untuk mengatakan aku telah jatuh hati.

Insyaallah kita akan ketemu lagi, Dek.”

Kata-kata itu seperti memberi harapan padaku.

Namun, waktu lima bulan cukup untuk membuat bayangan Bang Satria memudar. Meski aku masih berharap suatu saat bisa berjumpa kembali dengan sosok ramahnya, tapi aku sepenuhnya sadar bahwa dunia kami sangat jauh berbeda. Ditambah lagi, ia sudah memiliki kekasih di sisinya. Kemungkinannya sangat kecil untuk bertemu kembali.

[Bagaimana tangan Abang?]

 

Jariku gemetar menjawab pesannya.

Tentu aku tak berharap ia menjawab pertanyaan konyol itu, serupa basa-basi agar waktu berlari lebih cepat.

Seperti saat itu. Aku bertanya saat berjumpa lagi dengannya di koridor rumah sakit. Seakan tak percaya sosok tegap itu berjalan cepat, mendekat. Bedanya, meski aku sangat ingin waktu berlari, entah mengapa detik seolah berhenti.

“Dek Cut? Cut Asma?”

Riang nada suaranya seumpama kecipak air sungai di letihnya hari-hari praktik lapangan. Sejenak tertegun saat ia bertanya kabarku selama ini.

“Abang cuma chek up kaki. Udah baikan.”

Seolah membaca pikiranku, laki-laki berseragam hijau itu berkata dengan senyum lebar. Seperti biasa, tuturnya selalu sopan. Apakah ia biasanya memang setampan ini?

“A … abang sudah nikah?”

Pertanyaan itu begitu saja meluncur dari bibir. Aku segera menyesalinya dan berharap bisa menyembunyikan muka. Namun, alih-alih membantah, tawanya memenuhi udara, mengalirkan rasa hangat dan mencairkan kegugupanku.

Semua kenangan itu membuatku mengumpat diri sendiri.

[Maafkan abang, ya.]

 

Entah harus memberikan respon seperti apa atas perkataannya. Kutinggalkan pesannya begitu saja.

Sebelas tahun adalah waktu yang panjang untukku melunturkan semua rasa kecewa. Kalau pun ia merasa benar-benar menyesal, harusnya tak perlu berkata seperti itu lalu membuka lembaran lama.

Memang bukan murni salahnya, aku memberikan lampu hijau saat ia mengatakan ingin mengenalku lebih dekat. Kupikir takdir memang memihak padaku dan Bang Satria yang tanpa sengaja menempatkan kami lebih dekat bersama. Aku terlalu berbaik sangka.

“Bagaimana dengan Rina, tunangan Abang?” tanyaku di suatu sore saat menyantap jagung bakar.

Masih kuingat matanya serupa belukar yang tak terjamah, menatap jauh ke garis senja tanpa berkata sepatah kata pun. Sejak saat itu aku menahan diri untuk tak menyinggung hubungannya yang dahulu, juga tak ingin tahu.

Kupikir hanya sampai di situ. Ternyata nama itu terlalu memberi sakit dalam hatinya. Hampir dua tahun bersama tak membuat hubungan yang kuanggap berhasil akan kemana-mana, terlebih saat tak sengaja kami bertemu Rina di sebuah restoran. Dari tatapan Bang Satria, aku tahu bahwa luka dan cintanya untuk wanita itu masih begitu dalam.

Meski mantan tunangannya itu telah berbadan dua, aku tahu bahwa rasa sayangnya padaku hanya pelarian saja. Sejujurnya, aku sakit dan cemburu, tapi kutekan dalam diam.

Aku berusaha percaya padanya. Kepercayaan yang dibalasnya dengan segunung kekecewaan.
Malam itu hujan rintik-rintik. Gawaiku bergetar berkali-kali.

“Bang Sat ….”

“Dek, Adek lagi di mana? tanyanya terdengar panik.

Belum sempat aku menjawab, kata-katanya memberondongku seperti peluru.

“Adek di mana? Di rumah sakit? Abang minta tolong.

“Ya, di rumah sakit, Bang.”

“Kawan abang mau melahirkan.”

Kukatakan, aku terlalu berbaik sangka.

Malam itu wanitanya melahirkan dan laki-lakiku dengan cemas menunggu. Wajahnya kusut, kaosnya basah oleh air hujan, rambutnya yang biasa rapi terlihat kacau. Aku sakit melihatnya secemas itu, yang tak pernah ia tunjukkan meski aku tengah sakit sekalipun.

Aku melihatnya dalam diam. Diam yang membuatku sadar, bahwa cintanya yang selama ini sempurna hanyalah khayalanku saja. Meskipun, selama ini raganya berada di dekatku, tapi keping hatinya masih tertinggal pada sosok masa lalu. Sosok yang masih dicintainya.

Aku pikir, aku tak akan sanggup jika ia jauh, aku pikir akan gelisah jika ia tak mengabariku, aku pikir akan lebih menyakitkan jika melihatnya sakit. Ternyata lebih sakit melihat cintaku hanya sekadar pelarian dan tak berarti baginya.

Sesakit itu, membuatku sesak dan tak berdaya berhari-hari. Membuatku tak ingin melihatnya meski rindu berdentam-dentam dalam dada.

[Abang boleh ketemu Adek?]

 

Pesannya masuk kembali, aku belum memutuskan untuk sarapan apa. Sejujurnya, mood-ku untuk sarapan juga tak ada sama sekali. Yang kuinginkan saat ini adalah menikmati hariku dalam gelungan selimut.

[Untuk apa, Bang?]

 

Akhirnya pesan terkirim setelah berkali-kali menghapusnya.

[Abang mau minta maaf, juga ….]

 

[Asma udah maafin Bang Satria, udah lama. Sejak Bang Satria mengaku ayah bayi itu ke bidan, Asma udah maafin Abang. Justru harusnya Asma yang minta maaf.]

 

[Abang bukan ayah bayi itu, Dek …. Abang ngaku begitu supaya Rina cepat tertolong.]

 

Jemariku beku.

[Boleh abang hubungi?]

 

Ada yang mencair di hatiku, apa pun itu membuat kerongkonganku tersumbat saat gawaiku berbunyi.

“Ya?”

“Dek … kenapa Adek pergi enggak kabari abang?
Kenapa Adek begitu aja ninggalin abang?”

Aku merindukan suaranya yang cemas padaku. Seperti saat ini, membuat hatiku hangat, sehangat perhatiannya bertahun-tahun dulu.

Kupikir hatikulah yang lebih lapang, telah memaafkannya dan bangkit dari rasa kecewa. Namun, ternyata hatinyalah yang lebih besar, berbuat lebih baik pada yang telah membuatnya terluka. Kupikir aku telah sembuh sepenuhnya dari luka, tapi ternyata ia yang telah menyembuhkan luka itu hari ini, saat kudengar kembali suaranya. Kupikir aku tak akan pernah lagi jatuh cinta, tapi ternyata keping hatiku masih tertinggal pada orang yang sama. []


Putri Khalid. Nama pena dari Sari Saputri Ibrahim. Emak anak (soon) tiga. Domisili di Tangerang Selatan.


Editor: Imas Hanifah N

Leave a Reply