Ketika Domba Kato Mati
Oleh: Rainy Venesia
Setiap kali pulang kampung, bukit sebelah utara desa adalah tempat pertama yang aku tuju sebelum ke rumah melepas rindu bersama Ibu. Meskipun bukit itu tak sehijau dulu dan tak ada satu pun domba yang tampak merumput, namun kenangan masa kecil bersama Kato tak pernah pupus. Aku pikir perubahan zaman yang diikuti perubahan pada kampung dan penduduknya akan juga menghilangkan satu kisah tentang Kato. Nyatanya tidak. Kato tetap hidup di bukit itu juga di ingatanku.
Bagi Kato, aku adalah satu-satunya teman dekatnya. Dia sering mengatakan itu saat kami tiduran berbantal lengan sambil menatap langit. Dia bilang tak ada yang mau berkawan dengannya karena jijik pada borok yang memenuhi lengan dan kakinya. Lalu dia pun bertanya kenapa aku mau dekat dengannya. Aku cuma tertawa dan bilang padanya bahwa aku pun punya borok di pantat, kenapa mesti dipermasalahkan. Lalu dia bangkit dan berusaha membuka celanaku, ingin melihat borok di pantatku. Tentu saja aku menghindar dan pura-pura marah padanya agar dia tak terus memaksaku membuka celana.
Kato terus tertawa. Lalu berdiri untuk menggiring dua ekor domba yang menjauh agar kembali ke kerumunannya. Dia kembali berbaring menatap langit dan bertanya kenapa langit biru dan awan-awan selalu berarak, mereka pergi ke mana.
“Aku tidak tahu.”
“Ke rumahnya. Mereka pulang ke rumahnya di balik gunung. Lihatlah, mereka tampak gembira sekali.”
Aku tak menanggapinya. Dan dia akan bercerita bahwa awan-awan sangat beruntung punya rumah di balik gunung. Gunung-gunung yang menjulang pasti menyayangi dan melindungi mereka. Tak seperti dirinya selalu takut pulang ke rumah karena makian dan sumpah serapah akan menyambutnya. Tak jarang rotan akan menghujani tubuhnya tanpa alasan. Aku diam mendengar semua ceritanya. Kubiarkan dia mengeluarkan seluruh keluhan dan rasa sakitnya.
Aku selalu kasihan padanya, tapi kalau bukan karena perintah Bapak, sebenarnya aku lebih suka bermain sama Godam. Dan siapa pun pasti lebih suka bermain dengan anak orang kaya itu. Satu-satunya anak di kampung yang memiliki sepeda. Pernah aku dimarahi Bapak gara-gara Kato ke rumah dan aku menolak ajakannya bermain di sungai. Saat itu Godam sudah janji akan meminjamkan sepedanya kepadaku. Dan sejak itu aku menjadi kesal pada Kato. Aku selalu berpikir keras bagaimana cara agar dia menjauh dariku.
Tubuh kurus, mata cekung, rambut tipis kemerahan karena terbakar matahari membuat Kato tampak berbeda di antara teman sekelas. Suaranya cempreng kala berteriak menghalau domba-dombanya yang gemuk, sedangkan saat disuruh membaca terdengar pelan dan terbata-bata. Setiap hari dia harus berdiri dengan sebelah kaki di depan kelas. Alasannya selalu sama. Tak sempat mengerjakan PR.
Memang aku sering merasa iba padanya. Namun, lebih sering menertawakannya bareng teman sekelas. Kadang, memberinya pinjaman pensil, tapi lebih sering mengolok sepatunya yang bolong atau bajunya yang sobek. Dia tak pernah marah atau menangis. Diam duduk di sudut kelas sendirian adalah hal yang selalu dilakukannya saat kami mengolok-oloknya. Namun, dia tak pernah menjauh dariku. Saat pulang sekolah tetap saja dia menghampiriku, mengajak ke bukit menggembala domba bersama-sama.
Sampai satu hari, aku merasa kehilangan. Ketika dia tak terlihat di sekolah, sungai, dan bukit. Hanya domba-dombanya yang tinggal delapan saja yang tetap merumput bersama domba-dombaku. Tempo hari, satu domba mati karena keracunan. Kali ini pamannya sendiri yang menggembalakan domba-domba itu. Aku memberanikan diri bertanya pada pamannya yang selalu berwajah sangar itu, tak pernah sekali pun berwajah ramah meski pada anak kecil. Namun, dia malah memelotot dan mengancam akan memukulku dengan rotan jika bertanya lagi soal Kato. Aku berlari ketakutan, buru-buru membawa dombaku pulang dan bercerita pada Bapak.
“Kau jangan pernah dekat-dekat dengan bapaknya Kato. Mulai besok biar Bapak saja yang membawa domba-domba ke bukit,” kata Bapak tampak cemas.
Sejak hari itu aku tak lagi ke bukit dan tak lagi merasa kehilangan Kato. Aku sangat senang bisa bermain dengan Godam. Bisa sampai seharian aku bermain di rumah gedong yang besar dan banyak perabotan bagus. Aku gembira sekali bisa nonton TV tiap hari dengan bebas sambil main mobil-mobilan yang beragam. Aku tak peduli pada Bapak yang selalu marah karena aku selalu pulang terlambat, telat mengerjakan RP, dan berakibat tidur terlalu malam. Saat pagi Bapak mengomel karena aku susah dibangunkan. Beruntunglah ada Ibu yang selalu berhasil membungkam mulut Bapak.
Namun, kesenangan itu hanya berlangsung tiga hari. Kesenangan itu berakhir ketika kampung ramai oleh mayat Kato yang mengambang di sungai. Aku merasa terpukul. Aku menangis tiap hari mengingat dombanya mati setelah aku memberinya rumput beracun. Saat itu aku merasa kesal sekali pada Kato. Dia bicara pada Bapak bahwa aku mengolok-oloknya di sekolah. Karenanya aku dimarahi Bapak dan dihukum membersihkan halaman dan seluruh rumah. Aku ingin Kato juga dimarahi bapaknya.(*)
Bandung, 24 Desember 2020
Rainy, seorang wanita yang senang hujan-hujanan.
Editor: Lily
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata