Hati yang Tersakiti
Oleh : Ina Agustin
Kita tidak pernah tahu akan berjodoh dengan siapa, termasuk aku yang menikah dengan seorang duda beranak satu. Aku menerima jodoh yang Ayah ajukan. Selain tak kuasa menolak permintaan Ayah, aku pun melihat Mas Arif orangnya jujur. Ia bercerita panjang lebar tentang keadaan keluarga dan masa lalunya. Ia pun berjanji tidak akan pernah kembali lagi pada mantan istrinya dan hanya sebulan sekali menemui anaknya yang tinggal bersama sang ibu. Namun, menjelang dua tahun usia pernikahan kami, ia mulai berubah. Ia semakin sering berkunjung ke rumah mantan istrinya dengan alasan menemui anaknya.
Perjalanan Serang-Tangerang hanya memakan waktu sekitar empat jam pulang pergi. Tapi ia hampir seharian di sana—bahkan terkadang menginap—entah apa yang dilakukannya. Ia pergi sehabis subuh dan pulang sekitar jam dua belas malam. Namun setiap aku bertanya tentang itu, Mas Arif selalu berkelit. Ia mengatakan aku posesif dan terlalu berlebihan.
“Aku hanya menemui anakku, Ra!” bentaknya padaku.
“Tapi, Mas, kenapa begitu lama dan sering? Seminggu dua kali!”
“Karena Gilang ingin berlama-lama denganku! Aku ayahnya, apa kamu lupa?!” teriak Mas Arif.
“Kalau boleh tahu, apa saja yang Mas lakukan di sana?”
Mas Arif meninggalkanku. Ia pergi ke kamar dan membanting pintu dengan keras. Suara debumnya membuat jantungku hampir meloncat keluar. Kuusap perlahan perutku yang semakin membuncit. Berharap janin yang ada di dalamnya baik-baik saja.
Saat aku mengusap-usap perutku, lama kemudian Mas Arif keluar dari kamar sambil membawa tas ransel di punggungnya.
“Mau ke mana, Mas?”
“Barusan aku baca WA, Gilang sakit, tiba-tiba demam tinggi.” Wajah Mas Arif terlihat panik.
Gegas ia menyambar kunci mobil tanpa berkata apa-apa lagi padaku dan calon anak kami. Hatiku teriris, pedih. Padahal ia sudah tahu bahwa seminggu lagi aku akan melahirkan. Aku merantau dan tinggal jauh dari orang tua. Begitu pun dengan Mas Arif. Sempat kuminta izin pulang agar aku melahirkan di kampung saja, tetapi Mas Arif menolak.
Seminggu sudah Mas Arif tidak pulang. Pesanku tak pernah dibalasnya. Telepon pun tak diangkat. Aku menatap jendela kamar, memandangi bunga-bunga layu di halaman, selayu hatiku saat ini. Tak terasa kedua sudut mataku basah dan perlahan menitik. Di tengah isakan tangis, kurasakan sesuatu yang beda dari perutku. Rasa mulas seperti ingin buang hajat. Awalnya masih mulas ringan, namun lama-kelamaan menjadi tak tertahankan. Gegas kumasukkan beberapa baju bayi dan kain ke dalam tas. Namun, saat aku membuka pintu, susah sekali entah kenapa. Kutarik sekuat mungkin gagang pintu lalu mengenai perutku, nyeri. Beberapa detik kemudian cairan hangat merembes dari kedua pahaku. Banyak dan semakin banyak hingga aku merasakan kesakitan yang luar biasa.
Aku mengerang sembari memegangi perut dengan posisi duduk di lantai dan pintu terbuka. Rasa sakitnya semakin menjadi-jadi hingga kulihat seorang tetangga mendekat dan menolongku mengantar ke rumah sakit. Selama perjalanan berulang kali kutelepon Mas Arif namun hasilnya nihil. Kukirim pesan memberitahunya bahwa aku akan melahirkan di RS Drajat Prawira Negara. Tetapi hanya centang satu kulihat.
Aku pulang sore hari dengan menyewa taksi online. Tetangga yang tadi pagi menolong punya kesibukan yang tidak bisa ditinggalkan. Saat taksi memasuki halaman rumah, kulihat mobil Mas Arif sudah terparkir di sana. Ia celingukan seperti sedang mencari sesuatu. Begitu aku turun dari mobil, ia mendekat.
“Maafkan aku, Ra. HP-ku dipakai Gilang setiap hari main game sampai lowbat.”
Selalu Gilang dan Gilang. Apa hanya Gilang yang layak dapat perhatian? Aku tak menjawab apa-apa. Kemudian masuk rumah sambil menggendong bayi yang baru kulahirkan.
“Ayo dong, Ra! Mengertilah sedikit! Gilang itu belum paham dengan perceraian. Ia tidak mengerti bahwa orang tuanya telah berpisah.”
Mas Arif menjelaskan bahwa Gilang sudah pulang dari rumah sakit tiga hari lalu. Hanya saja ia tak kuasa menolak permintaan anaknya untuk tinggal beberapa hari lagi. Walaupun Mas Arif berkata bahwa ia tidur di kamar Gilang, tetapi entah kenapa hatiku tetap terasa sakit saat mendengarnya. Apakah aku berlebihan?
“Cantik sekali anak kita, Ra.” Mas Arif membelai pipi bayi mungil kami yang sedang terlelap.
Aku hanya diam dan perlahan berjalan ke dapur mengambil minum. Entah kenapa aku merasa tidak nyaman berada di dekatnya. Hatiku sakit tatkala ia berada di sana di rumah mantan istrinya dengan alasan menemani Gilang. Dua tegukan sudah membasahi tenggorokan, tiba-tiba gawaiku—yang kukantongi—bergetar pertanda pesan masuk. Kuusap layar ponsel lalu kubuka aplikasi berwarna hijau itu.
Assalamualaikum. Halo Mbak Rara, saya Fani mantan istrinya Mas Arif. Saya dapat nomor Mbak dari HP Mas Arif yang dipinjam Gilang main game. Mbak, maaf kalau saya lancang. Maukah menolong Gilang? Sejak ayahnya pergi, Gilang kembali sakit. Dia berjanji tidak akan makan kalau ayahnya tidak tidur di sini. Saya sudah membujuknya, tetapi hasilnya nihil. Beberapa waktu lalu, saya pun sudah mengenalkan calon suami saya pada Gilang, tapi dia menolak dan berteriak histeris. Dia hanya ingin ayah kandungnya. Mbak, dengan penuh kerendahan hati, tolong izinkan Mas Arif menikahi saya lagi. Saya siap jadi yang kedua. Semua saya lakukan demi Gilang, anak kami. Please!
Kepalaku bagai dihantam godam. Jantungku berdebar kencang laksana genderang perang yang sedang ditabuh. Hatiku sakit, retak, dan koyak. (*)
Serang, 28 Desember 2020
Ina Agustin, seorang penulis pemula yang sedang belajar merangkai kata, mengekspresikan cinta melalui aksara.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata