Review Novel: Rumah Panggung Wak Isah
Oleh : Rinanda Tesniana
Buku : Rumah Panggung Wak Isah
Penulis : Syifa AimBine
Novel ini lahir pada bulan Ramadan 2020 dalam sebuah parade menulis yang diadakan salah satu penerbit. Kabar baiknya, Rumah Panggung Wak Isah merupakan naskah terbaik pertama dari tujuh puluhan peserta saat itu. Setelah membaca hingga selesai, saya mengangguk, memang tulisan ini layak mendapatkan predikat itu.
Mengeja huruf demi huruf yang melekat dalam lembaran novel ini, saya seperti sedang menonton di depan layar televisi yang masih menampilkan gambar dua warna, hitam dan putih. Cerita yang digarap pada masa kekinian dengan rasa tempoe doeloe. Yah, saya seperti dibawa terbang jauh ke negeri Melayu Kepulauan, suatu tempat di mana sepeda ontel masih menjadi alat transportasi tercanggih.
Jadi, apakah novel ini bercerita tentang kisah orang Melayu tempo dulu?
Sebenarnya tidak, hanya setting awal diramu sedemikian rupa, sehingga gambaran tentang kehidupan orang Melayu Kepulauan amat terasa di sini. Bahkan sebagai orang yang pernah tinggal lama di Kota Istana yang kental dengan adat Melayu, saya akui, semua yang digambarkan dalam buku ini benar adanya. Begitulah kehidupan orang Melayu yang sesungguhnya, terutama generasi tua.
Premis novel ini sederhana, perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya, dan ingin anaknya bersekolah setinggi mungkin. Lika-liku perjalanan Wak Isah untuk menyekolahkan si Sulung hingga ke jenjang sarjana merupakan inti dari cerita ini. Sebagai perempuan yang ditinggal mati oleh suami, ditambah tidak memiliki pekerjaan tetap, tentu hal ini tidak muda bagi beliau.
Ada lima tokoh sentral dalam cerita novel Rumah Panggung Wak Isah. Merekalah yang menggerakkan cerita menjadi begitu dinamis. Pertama, tentu saja Wak Isah sang tokoh utama. Perempuan sederhana dari tanah Melayu yang memiliki sifat manja dan kekanakan. Selanjutnya ada Bang Zul, suami Wak Isah. Lelaki baik hati yang diceritakan meninggal mendadak ini adalah lelaki yang penyabar, hanya dia yang sanggup menghadapi sikap sang istri yang digambarkan bisa membuat siapa pun suaminya makan hati berulam jantung.
Lanjut, Farida. Si Sulung keluarga Wak Isah ini digambarkan sebagai anak salihah yang bercita-cita tinggi. Ketika ayahnya meninggal, dia menghapus mimpi untuk menjadi dokter. Ada juga Dedi, cinta pertama Wak Isah yang muncul belakangan. Lelaki kota ini menggilai Wak Isah sejak muda. Setelah sama-sama ditinggalkan pasangan, takdir seolah berpihak pada mereka. Tak sengaja bersua, dan Dedi tak ingin lagi kehilangan perempuan itu. Terakhir, ada Wak Haji, serigala berbulu domba yang kelaparan ini ternyata menyukai Wak Isah sejak muda dulu. Ketika Wak Isah menjadi janda, dia sibuk menolong dan bersikap baik, di balik semua itu dia menyimpan harapan untuk memiliki Wak Isah kembali.
Kisah dibuka dengan adegan perempuan bernama Aisyah Kemala yang uring-uringan kepada suaminya. Terang saja suaminya yang baik hati bingung. Setelah dicari akar masalahnya, ternyata Wak Isah iri dengan tetangga yang baru saja membeli rantai emas. Wak Isah–perempuan “busuk hati” itu–sampai demam saking kesalnya.
Lucu memang awalnya, saya dibuat tertawa oleh kelakuan Wak Isah yang ibu-ibu banget, tapi menjadi miris ketika adegan selanjutnya digambarkan Wak Isah memberi makanan buka puasa untuk tetangganya yang kaya, dengan harapan tetangga tersebut akan membalas dengan makanan yang lebih mewah. Di sini saya tertohok dalam, betapa kita sulit memberi tanpa berharap balasan.
Drama dimulai saat suami Wak Isah mendadak meninggal dunia. Betapa perempuan itu sangat terpukul, karena sebelumnya Wak Isah baru saja diberikan hadiah rantai emas agar sembuh dari demam.
Perempuan manja itu dipaksa bangkit dari ketenangan hidupnya. Dia melakukan semua pekerjaan, yang terkasar sekali pun, agar anaknya bisa sekolah dan tetap makan. Wanita yang digambarkan berparas cantik itu menjadi tukang potong getah karet, hingga melakoni pekerjaan sebagai pencuci piring.
Di tengah kisah pahit kehidupannya, Kelakuan buruk Wak Isah di masa lalu terbalas satu per satu ke dirinya sendiri. Dari tetangga yang mengirimi makanan basi untuk keluarganya, gosip tidak baik beredar di kampung, dan paling berat saat Farida yang dikabarkan lulus tes Fakultas Kedokteran di Yogyakarta, pulang ke kampung sebab tak ingin melanjutkan kuliah.
Cerita haru biru kehidupan Wak Isah tentu tak lengkap jika tidak disisipi cerita cinta. Saya sempat senyum-senyum sendiri saat Wak Isah bertemu kembali dengan cinta pertamanya, Dedi.
Pada bagian ini, digambarkan bahwa jatuh cinta pada usia yang tidak lagi muda malah agak repot. Sebab, ada perasaan banyak orang yang harus dijaga. Ditambah, Wak Isah merasa sungkan pada kedua anaknya.
Kisah dalam novel ini berjalan alami. Saat Wak Isah membuang segala tabiat buruknya itu, rasanya memang harus begitu. Tidak dipaksakan. Peristiwa demi peristiwa yang terjadi, membuat saya mengangguk, pantaslah dia berubah, hidupnya sepahit itu. Benang merah dari tiap adegan terjalin baik, dan sebagai pembaca, saya cukup membaca cerita ini. Jadi, Wak Isah bukan ujug-ujug langsung baik. Perempuan itu melewati banyak ujian sebelum berada pada titik sekarang.
Banyak adegan lucu di dalam novel ini, sekaligus bagian yang membuat air mata menetes. Iya, sesedih itu.
Adegan yang paling saya suka adalah ketika Dedi menyelipkan sepucuk surat ke dalam tas Wak Isah. Kalimat yang dikatakan Wak Isah ketika membacanya, “Huwek … cilako oghang tue satu ni. Meloye tekak aku bace surat die, kande dinde, tahun berape die tulis surat ni?” gumam Wak Isah sambil memegang lehernya seakan hendak muntah.
Artinya kira-kira begini,
“Huwek … celaka orang tua satu ini. Enek baca suratnya, kanda dinda, tahun berapa dia tulis surat ini?”
Buat saya dialog ini sangat berkesan. Sebab, sebagai orang yang tinggal lama di tanah Melayu, dialog ini sangat akrab di telinga saya. Dan ketika Wak Isah mengucapkan hal yang sama setelah membaca surat cinta dari sang Mantan, saya tak bisa berhenti tertawa. Teringat teman-teman saya pun mengatakan hal yang sama jika sedang kesal dengan sesuatu.
Rumah Panggung Wak Isah ditutup dengan akhir yang menarik. Bukan ending menye-menye tentang kesuksesan Farida, atau kehidupan Wak Isah yang berbalik menjadi kaya. Namun, keikhlasan Wak Isah melepas sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya menjadi klimaks yang menutup bagian akhir pada cerita.
Tentu saja novel ini tidak sempurna. Dengan segala kebaikan yang ada di dalamnya, novel ini memiliki kekurangan, terutama bahasa yang digunakan dalam dialog. Mungkin tidak dipahami oleh seseorang yang tidak akrab dengan bahasa Melayu.
Koto Tangah, 04.01.2021
Rinanda Tesniana. Ambiver yang suka membaca.
Editor : Lily
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata