Aku Bulan dan Kau Awan

Aku Bulan dan Kau Awan

Sekalipun aku tidak pernah benar-benar melihat bulan, sampai malam ini aku tidak punya pilihan lain kecuali menatapnya lekat-lekat. Saat purnama, ia benar bulat ternyata—seperti yang dikatakan orang-orang.

Bulat seperti wajahmu, Kak. Bulat seperti badannya Anto. Bulat seperti bola matanya Andin. Bulat seperti bibirnya Rina jika ia mengucapkan huruf O saat kuceritakan macam-macam kisah kepadanya.

Aku sedang menopang daguku di jendela kamar. Setelah kepada bulan, pandanganku kulemparkan ke jalan yang senyap di bawah. Dapat kulihat pagar rumah yang terbuat dari pipa-pipa besi. Ia terlihat hitam.

Tunggu, apakah warnanya hitam, ya? Ya ampun aku tidak ingat apa warnanya.

Perihal warna  pagar itu membuatku menyadari bahwa saat pertama kali tiba di rumah ini, aku melewatkan hampir semua hal. Bukan hanya warna pagar, tetapi juga apa warna dindingnya, bunga-bunga apa saja yang ada di halamannya, atau adakah kolam kecil yang berisi ikan-ikan di sana.

Ah, ada apa denganku ini? Aku sudah berjanji kan?

Kugigit bibir bawahku. Bola mataku basah.

Jangan menangis! Jangan Menangis!

Aku sontak berdiri dan bergegas ke arah kasur. Kubaringkan tubuhku pelan-pelan. Beberapa kali aku berusaha memejamkan mata, namun kelopak mataku seakan-akan menolak untuk menutup.

Kupandangi langit-langit. Lagi-lagi bukan karena kemauanku. Aku hanya tidak punya pilihan. Jika pun ada, aku lebih memilih tidur dan melupakan segalanya—kota itu dan kalian.

Aku membayangkan bunga-bunga berjatuhan. Warna-warni seperti lampu kelap-kelip di pasar malam. Yang berwarna merah itu bunga mawar, yang berwarna putih itu bunga melati, yang berwarna hijau kekuning-kuningan itu bunga kenanga, yang berwarna kuning itu bunga kamboja.

Aku segera bangun dari tempat tidur.

Napasku terasa makin cepat dan butiran keringat sebesar biji jagung membasahi dahi dan leher. Bayangan tentang reruntuhan, wajah-wajah, sebuah kota dan makam bolak-balik di pikiran.

Saat duduk di pinggir kasur sambil meredakan napas yang terburu-buru tadi, aku melihat dua tasku yang masih tergeletak tak jauh dari kursi dan jendela tempat aku menatap bulan tadi.

Aku beringsut dan meraih tas itu. Aku mulai membukanya. Satu per satu, kukeluarkan benda-benda yang tersisa dari reruntuhan, yakni beberapa lembar pakaian, buku-buku, sebuah cermin dan sisir yang ada di dalamnya. Masih tersisa jejak-jejak reruntuhan di sana-sini. Setiap aku mengangkat satu buku, pasti ada sejumput pasir yang jatuh ke lantai. Baru kusadari pula bahwa beberapa pakaianku bernoda dan robek di beberapa bagian dan ada sedikit retak pada cermin yang kutemukan.

Cermin itu adalah pemberian Kakak saat pertama kali kami berjumpa di rumahnya—yang memiliki balkon menghadap bukit. Saat yang lain meminta diberikan boneka dan mainan yang ada di gudang rumah Kakak, aku hanya tertarik pada cermin itu. Aku suka dengan ukiran di setiap sudutnya. Saat memegang cermin itu—untuk beberapa saat—aku terkenang padanya, terkenang masa-masa indah itu tatkala kami menghabiskan waktu bersama-sama; belajar apa saja, menari, membaca puisi dan lain-lain. Aku, Anto, Rina, dan Andin selalu berlomba-lomba menarik perhatiannya. Kakak selalu memberikan cokelat kepada siapa saja yang paling baik membaca puisinya atau yang paling baik tariannya.

Kakak sangat suka tidur. Karena itu sepulangnya dari sekolah, kami selalu ingin menjadi yang pertama mengetuk pintunya keras-keras agar ia bangun dan lalu bersembunyi karena ia selalu memarahi kami karena mengganggu waktu tidurnya. Hanya saja, kemarahannya itu tidak mampu menyurutkan keisengan kami.

Selama mengenangnya tanpa terasa air mataku menetes di atas cermin itu. Aku segera mengusapnya dan lanjut membereskan barang-barang.

Kususun pakaianku di dalam laci di samping tempat tidur. Buku-buku kuletakkan di atasnya. Hanya kutumpuk saja. Buku-bukuku tidak banyak. Hanya beberapa buku tulis dan buku pelajaran. Sebuah sisir kuletakkan dan cermin kudirikan di samping tumpukan tersebut.

Aku merapikan tempat tidur—menepuk-nepuk bantal dan mengibas-ibas seprai dan handuk. Setelah itu aku mengambil sapu di belakang pintu dan mulai menyapu lantai. Sampah-sampah kukumpulkan di sudut ruangan lalu kumasukkan ke dalam kantong kresek hitam yang tadinya merupakan bagian dari sampah di sana. Ruangan ini berukuran tiga kali empat, pas untuk sebuah dipan, loker, kursi, meja dan seorang anak manusia di dalamnya. Bagaimanapun aku cukup puas dengan apa yang ada sekarang.

Baca juga: bagian pertama (Diceritakan Angin…)

Aku tidak menangis. Aku tidak akan menangis lagi.

Aku memilih bahagia bagaimanapun juga.

Aku membaringkan tubuhku lagi di atas dipan yang sudah kurapikan tadi. Rasanya sama saja. Aku tetap tidak dapat memejamkan mata. Langit-langit masih terlihat sama seperti tadi. Aku tidak mau membayangkan bunga-bunga yang berjatuhan itu lagi. Jadi, kumiringkan tubuhku ke kanan dan melihat cermin. Aku melihat pantulan wajahku di sana. Aku merasa tidak sendirian lagi—dengan memperhatikan wajahku di cermin.

Keluarga yang membawaku ke rumah ini sudah tidak terdengar lagi suaranya. Setelah mengantarku ke kamar, mereka pastilah tertidur lelap di peraduannya masing-masing. Perjalanan dari kota ke rumah ini cukup melelahkan, apalagi banyak pula yang perlu mereka urus perihal adopsi.

Aku tidak tahu bagaimana kehidupanku esok. Aku tinggal bersama orang-orang asing yang sama sekali tidak kukenali. Aku merutuki diriku sendiri yang masih berumur dua belas tahun. Di usia ini, pendapatku tak pernah dianggap penting. Tidak ada seorang pun yang menanyaikan apa yang kuinginkan sebenarnya. Mereka hanya menaruh simpati padaku, melihatku dengan pandangan iba dan memelukku. Sungguh, jika aku punya pilihan, aku tidak ingin dikasihani seperti itu.

Orang-orang mencarikanku orang tua asuh tanpa kuminta. Mereka tidak tahu atau lebih tepatnya tidak peduli bahwa yang kuinginkan adalah tetap bersamamu, Kak. Tetapi sudahlah, aku hanya harus menerimanya saja.

Kalau kau jadi aku, kau juga berpikir demikian kan, Kak?

Aku tidak tahu berapa lama waktu telah berlalu sejak aku mulai duduk di kursi dekat jendela. Kamar ini tidak mempunyai jam dinding. Aku juga tidak memiliki jam yang lain, jam tanganku tidak tahu ada di mana—barangkali tertinggal di suatu tempat di bawah reruntuhan rumahku yang hancur.

Tanpa adanya jam, waktu itu seolah tak ada.

Apakah di tempatmu sekarang, waktu itu masih ada, Kak?

Orang-orang selalu berpikir bahwa mereka memiliki waktu, tetapi tidak satu pun dari mereka yang benar. Waktu tidak pernah untuk dimiliki siapapun. Ia seperti pinjaman—berjangka dan harus dikembalikan lagi kepada Empunya jika waktunya tiba. Bedanya … kita tidak pernah tahu kapan waktu tenggatnya habis. Ketidaktahuan kita itu yang sering kali melenakan—membuat kita merasa memilikinya.

Sebelum malam terjadinya gempa itu, aku tidak pernah sekalipun berpikir bahwa masa kebersamaanku dengan ayah, ibu, dan kalian hanya tinggal sebentar saja—bahwa waktu pinjaman kita sudah habis.

Pada hari kepergianku dari kota dan reruntuhannya itu, cuacanya tidak terlalu panas. Aku tahu bahwa kau pasti ada di balkon rumahmu. Kau senang sekali duduk di sana sambil melihat bukit dan awan-awan yang berarak. Katamu, awan-awan itu terlihat seksi apalagi saat malam. Aku tidak percaya bahwa awan-awan berpendar saat malam seperti yang kau katakan kepadaku suatu kali. Langit selalu terlihat gelap—bagiku. Tetapi kau selalu menceritakan perihal itu berulang-ulang kali. Aku mengiyakan saja agar kau berhenti dan kita dapat bercerita tentang hal-hal lain.

Sejujurnya, aku tidak pernah bisa melihat apa yang kau lihat. Aku tidak ingin membuatmu merasa berbeda. Jadi, aku tidak memberi tahumu. Seperti malam ini, aku masih tidak dapat menemukan awan-awan seperti yang sering kau ceritakan itu. Aku hanya melihat langit, awan dan bulan—seperti bagaimana kebanyakan orang melihatnya.

Maaf… aku tidak menyapamu untuk yang terakhir kalinya, Kak.

Jika aku menjumpaimu di sana, aku tidak dapat menahan diri untuk memeluk dan bercerita padamu.

Aku ingin merelakan kepergianmu. Aku ingin kau menyadari dan merelakan kenyataan bahwa dirimu pun harus pergi ke tempat lain tanpa aku.

Jika dalam perjalananmu kau berjumpa dengan Ayah, Ibu, Anto, Andin dan Rina. Titip salam rindu untuk mereka ya, Kak.

Hari itu aku ingin menyampaikan itu padamu. Tetapi aku tidak menghampirimu agar sanggup pergi dari kota itu.

Kini aku pula yang harus menjalani kehidupan baru. Semuanya begitu membingungkan sebenarnya. Orang-orang berpikir waktu adalah penyembuh. Mereka juga mengatakan bahwa ia adalah satu-satunya obat yang dapat melenyapkan segala luka hati.

Aku pasti akan berbahagia dengan kehidupan baruku ini, Kak.

Dan akan kupanjatkan doa agar kalian selalu tenang di alam sana.

Seperti kata mereka, waktu akan menyembuhkan segalanya. Jadi, selamat tidur, Kak, Ayah, Ibu, Anto, Andin, Rina….(*)

Baca juga: bagian pertama (Diceritakan Angin…)
Baca juga: bagian ketiga (Diary Ibu Bumi)

Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan

 

Leave a Reply