Pahatan Ibu

Pahatan Ibu

Pahatan Ibu

Oleh: Erien

Bertahun-tahun hidup bersama Ibu, ternyata tidak cukup membuatku mengerti tentangnya. Di mata beliaku, Ibu adalah sosok yang menakutkan. Ia cepat sekali marah. Berulang kali, kaki-kaki kecilku dan kedua saudaraku menjadi sasaran sabetan sapu lidi, hanya karena tidak menjawab panggilan, main dengan suara keras, atau saat kami malas mandi. Kami diam, menahan air mata hingga ia selesai dengan amarahnya. Jika kami menangis, Ibu tidak akan berhenti. Bahkan, Ibu akan menambahkan teriakan di tiap sabetan.

Sejujurnya, banyak hal tentang Ibu yang kukubur dalam-dalam. Semua nyaris terlupakan. Aku sungguh tidak mau mengingatnya dalam kenangan yang buruk, meski kemudian kudapati sangat sedikit momen indah yang kami punya. Bagiku, Ibu tetap nomor satu.

Aku duduk di kelas dua SMP ketika Ibu mengajakku ke satu toko pakaian di pasar kota kecil kami. Tangannya menunjuk satu penutup dada–yang kemudian aku tahu namanya miniset–di etalase. Kemudian, ia menunjuk setumpuk bra dan meminta pelayan memberi ukuran dengan nomor terkecil. Aku masih ingat, bra itu berwarna cokelat terang dan nomor yang diberikan adalah 32.

Dadaku memang baru saja tumbuh waktu itu. Sudah tiga hari terasa nyeri sekali jika tersenggol atau tanpa sengaja tertekan. Aku yang polos, memberi tahu Ibu. Ia menarik kaosku dan memeriksa. “Kamu harus pakai BH.” Kupikir Ibu bercanda. Ternyata, ia benar-benar membelikan bra untukku.

Ibu mengaitkan bra cokelat itu ke dadaku untuk mencoba ukurannya. Dan itu membuatku ingin mati saja. Malu. Ibu memaksa. Untungnya hanya ada satu pengunjung perempuan selain kami. Sementara, pelayan toko tampak menahan tawa. Aku hanya bisa pasrah. Kami pulang dengan dua miniset dan satu bra ukuran 32. Sesampainya di rumah, aku memandangi bra dan dadaku dengan geli. Dada yang masih rata begini, sudah mau pakai bra?

Itu satu kenangan manis yang tersimpan dan kembali kuingat bila merasa Ibu tidak peduli padaku. Aku heran dengan sikap Ibu. Kadang terlihat sangat penyayang, kadang memandangku pun seperti tak mau. Sikap Ibu sedikit banyak mempengaruhiku. Aku tumbuh jadi gadis pendiam dan penurut.

Aku ingat saat kami mudik ke rumah Mbah Kakung, Ibu marah besar. Aku lupa kenapa Ibu marah waktu itu dan tak mengerti kenapa aku yang jadi sasarannya. Sementara, kedua saudaraku sudah menyingkir terlebih dahulu. Mbah Kakung melambaikan tangan, menyuruh mendekat. Bapak dari ibuku itu mengajak duduk di taman sebelah rumahnya, setelah aku selesai dimarahi habis-habisan oleh Ibu.

“Sing sabar, ya, Nduk.”

Tangannya mengusap kepalaku. Ah, aku jadi sedih mengingat momen itu. Seharusnya waktu itu aku menangis, tetapi tidak. Aku malah tersenyum dan mengangguk. “Nggih, Mbah.” Sekilas kulihat sorot sedih di matanya. Entahlah.

Hubunganku dengan Ibu tak berkembang. Makin hari makin jauh. Emosinya juga sering tak terkendali. Namun, semakin dewasa bukan lagi sabetan lidi yang aku terima. Ibu mulai menghunjamkan pisau-pisau kecil dan silet tajam lewat ucapannya. Semuanya menggores hati, sampai rasanya sudah tertulis jelas di dada ini. “Aku tak bisa apa-apa.” Itu doktrin yang seperti kudengar dari tiap teriakannya.

Aku sudah dewasa ketika akhirnya melihat sosok lain dari seorang Ibu. Waktu itu entah bagaimana mulanya, Ibu bercerita tentang almarhum Mbah Kakung dan Mbah Uti. Perlahan, Ibu seperti mengkerut menjadi anak kecil, dan terisak pelan. “Mbah Uti nggak pernah pengen ibu lahir. Katanya, kalau bukan karena dipaksa, Mbah Uti tidak akan pernah mau melahirkan ibu.” Ibu mengusap air matanya.

Setahuku, Mbah Uti memang dijodohkan paksa dengan Mbah Kakung sewaktu masih berumur empat belas tahun. Meski sempat menolak keras, Mbah Uti tak bisa mengelak dari kewajibannya sebagai istri. Beliau melahirkan Ibu di usia lima belas tahun. Ibu adalah saksi bagaimana Mbah Uti sering kali menyalahkan Mbah Kakung atas terbatasnya hidup mereka.

“Ibu sakit hati, waktu Mbah Uti bilang kalau sebenarnya ibu ini nggak diharapkan lahir karena Mbah Uti nggak suka sama Mbah Kakung.” Ibu mengusap matanya yang basah.

Aku teringat mata Mbah Kakung yang menghiburku di taman kala itu. Matanya sama seperti Ibu yang sedang bercerita di hadapanku saat ini, penuh duka dan luka.

Cerita tentang masa kecil Ibu dan perjuangan Mbah Kakung menghadapi Mbah Uti, semakin banyak kudengar dari tanteku. Ibulah sasaran kemarahan Mbah Uti jika ada perilaku Mbah Kakung yang tidak ia sukai. Bukan pukulan, sabetan atau jeweran, Mbah Uti menancapkan pisau lewat kata-kata tepat di hati Ibu. Lukanya terlalu dalam, membekas dan ternyata tak pernah sembuh.

Aku yang sudah cukup dewasa akhirnya berusaha memahami perasaan Ibu. Kadang aku melihatnya menciut seperti anak-anak ketika amarahnya muncul. Aku hanya perlu diam seperti biasa. Bedanya, kini hatiku tak lagi terluka. Pisau dari mulut Ibu seperti menumpul dan terpental dari telingaku.

Sayangnya, doktrin dari teriakannya terlanjur terpahat di kepala dan hatiku. “Aku tak bisa apa-apa.” Begitu bunyinya. Meski berkali-kali kubasuh dengan air dan kalimat suci, pahatannya tetap terasa.

Seorang lelaki datang saat usiaku lebih dari cukup untuk menikah. Ia menerima pahatan di hatiku, dan perlahan berusaha menghapus dengan lembut sikap dan halus tutur kata. Kami pun menikah. Ia menjadikanku seorang ibu dari dua anak yang lucu.

Ibu–yang kini dipanggil Nenek–tampak sangat bahagia. Ia ikut merawat kedua anakku. Kami memang masih tinggal satu rumah dengan pertimbangan usia Ibu dan kedua saudaraku yang merantau. Rumah kembali dipenuhi jerit tangis dan canda tawa anak-anak.

Aku jauh lebih toleran dengan emosi Ibu setelah merasakan sendiri betapa tidak mudah merawat rumah dan anak-anak. Lucunya, Ibu malah kian hari kian sabar menghadapi anak-anak. Mungkin betul kata orang-orang, cucu jauh lebih disayang daripada anak sendiri. Ia makin jarang terpancing emosi.

Satu hari, si Sulung bercanda dengan adiknya di teras. Aku meninggalkan mereka dan mulai memasak untuk makan siang. Sementara Ibu ada di kamar. Suara benda berat yang jatuh terdengar, disusul tangisan si Bungsu. Aku berlari ke teras dan mendapati si Bungsu yang berjongkok memegangi kepalanya. Sementara, si Sulung di sebelahnya berusaha menenangkan.

Masih dengan sutil di tangan, aku melakukan hal yang aku benci saat kecil dulu. Puluhan pisau tajam keluar dari mulut ini. Bahkan aku tak ingat apa yang kupahat di hatinya saat itu. Kusalahkan si Sulung karena membiarkan adiknya terjatuh. Ia hanya menunduk terisak dan itu membuatku seketika terdiam. Sambil menggendong si Bungsu, aku berbalik hendak kembali ke dapur. Tepat saat tubuh ini memutar, Ibu keluar dari kamar. Matanya tampak sedih memandangku.

Sejak saat itu aku tahu pahatan di hati ini ternyata masih ada. Aku belum berdamai dengan hasil karya Ibu itu. Bahkan, aku merasa menjelma menjadi sosok Ibu yang dulu, sosok yang kutakuti ketika aku seusia si Sulung.

Ibu lebih pendiam sejak aku mengamuk. Ia banyak menemani kedua anakku. Beberapa kali kudengar Ibu menasehati agar keduanya menurut padaku dan ayah mereka, dan mendoakan setiap salat. Kala itu, napasku serasa berat.

Saat makan malam, Ibu mengambil nasi, telur, dan kecap. Padahal, di meja ada sayur pare kesukaan dan sambal bawang kesukaannya. Ibu menghampiriku, kemudian tangannya menyodorkan sesuap nasi kecap dengan cuilan telur.

“Ibu pengen nyuapin kamu.”

Meski heran, aku membuka mulut. Begitu suapan pertama masuk, ada rasa yang tak bisa kujelaskan. Kukerjapkan mata beberapa kali lalu mulai mengunyah. Di otakku, semua kenangan buruk tentang Ibu bermunculan satu persatu. Mataku menghangat. Aku mengusap pelan, mencoba memasukkan kembali air yang berusaha menggenang di sudut mata.

Tiap butir nasi yang terkunyah dan tertelan, kurasakan perlahan memenuhi hati dan otak yang terpahat. Doktrin itu kurasakan mengabur pelan.

Aku berharga.

Aku bisa jadi ibu yang baik.

Aku pantas bahagia.

Kutatap Ibu walau wajahnya tak jelas karena genangan di sudut mata yang perlahan turun. Ia mengulurkan tangan, mengusap air mataku.

“Maafkan ibu ….”

Kotabaru, 24122020

Erien, seseorang yang suka belajar.


Editor: Imas Hanifah N

Leave a Reply