Sisa Waktu Ayah
Oleh : Jeminarsih
Sebenarnya aku sudah tidak sanggup lagi menahan sakit. Sebab semenjak jatuh di kamar mandi setahun yang lalu, dokter memvonisku terkena stroke. Aku lumpuh total dan hanya terbaring di atas ranjang. Sehari-hari aku hanya bisa menatap langit-langit kamar yang kian usang dan membosankan. Tak ada kawan selain sepi.
Satu-satunya hal yang bisa menghiburku adalah jendela. Dari jendela aku bisa melihat langit sedang cerah atau mendung, menatap awan yang seolah mengejek ketidakberdayaanku, atau aku melempar tanya pada awan, kapan kematianku tiba? Tapi lagi-
lagi hening, tak ada jawaban. Angin berembus menguarkan bau apak dan pesing yang membuatku mual, awalnya. Tapi sekarang, karena sudah terbiasa, perutku menjadi kebal. Sudah tak ada lagi drama mual-mual.
Pagi-pagi sekali Hamid, putra tunggalku, buah cintaku dengan Mae datang ke kamar membuka jendela, mengelap badanku, dan menggantikan diaper. Tidak ada obrolan atau sapaan hangat layaknya anak dan ayah. Entah, kapan terakhir kali kami bercengkerama atau bermain catur. Setelah kuingat-ingat, tidak ada. Sepayah itu aku menjadi ayah. Tak ada momen manis untuk dikenang.
Teringat dulu, saat Hamid masih kecil, dia mendatangiku yang sedang asyik ngopi di teras sembari membaca koran. Dia menghampiriku dengan wajah berseri, menunjukkan hasil gambarnya.
“Ayah! Lihat, bagus, kan?”
“Ya. Bagus,” kataku menoleh sekilas pada hasil karyanya.
Tanpa kuminta, Hamid duduk di kursi dan menceritakan isi gambarnya. Sesekali aku menimpalinya dengan dehaman. Pernah juga dia memintaku untuk mengantarnya ke sekolah yang kutolak dengan alasan sibuk. Ya, aku sibuk mencari uang. Biar mendidik Hamid menjadi urusan Mae. Tampak jelas Mae keberatan dengan keputusanku. Tapi meski begitu dia tetap mematuhinya. Ada satu kenangan yang sampai saat ini masih membekas yaitu pertengkaran pertama kami. Waktu itu, aku dan Mae baru saja tiba dari kondangan. Rumah tampak sepi. Mae bergegas ke kamar berganti pakaian. Aku menyusuri ruang demi ruang mencari Hamid. Tapi masih belum tampak juga batang hidungnya. Lantas aku segera menuju kamarnya. Hal pertama yang kulihat adalah sosok remaja empat belas tahun sedang duduk di jendela sambil merokok. Entah sudah berapa batang yang dia hisap. Hal ini membuatku murka tersulut amarah. Aku merampas rokok itu sembari menyemburkan sumpah serapah. Hamid gemetar dan masih diam tertunduk. Andai saja Mae tidak segera datang, wajahnya akan bengkak oleh tamparanku. Setelahnya aku tak pernah minta maaf. Sejak itu, hubungan kami kian merenggang. Lama-kelamaan aku merasa ada yang kosong karena hilangnya rasa kehangatan.
“Melamun lagi? Makan, Yah. Biar aku tidak terlambat lagi ke toko.”
Teguran Hamid membuyarkan lamunanku. Tangannya sudah siap menyuapiku, tapi aku menggeleng. Pagi ini aku malas makan. Ditambah Hamid menampakkan wajah kesal, selera makanku hilang seketika.
“Jangan menyusahkan, Yah. Cepatlah makan!”
Lagi, dia masih membujukku untuk makan. Tapi ucapannya barusan membuat hatiku makin nyeri. Kuterima suapan pertama, kedua, dan ketiga. Saat dia hendak menyuapiku lagi aku menggeleng. Lalu meminum obat yang bentuknya bulat kecil dan besar. Kemudian dia pergi dan akan kembali lagi nanti siang dan sore, seperti biasanya.
Langit yang cerah membuat mataku silau. Aku mesti sering-sering memejam atau menghalangi cahaya itu menggunakan lengan agar mataku terhalang dari sinar matahari. Obat yang baru saja kuminum sudah bereaksi. Aku mengantuk dan tak lama kemudian terlelap. Di dalam tidur, aku bermimpi mengenai sesuatu yang membuatku bahagia. Tapi sial, sekejap kemudian aku terbangun oleh bau pesing dan apak yang tiba-tiba mengepungku. Dan sayangnya, aku lupa dengan mimpiku barusan. Meski sudah berusaha keras untuk mengingatnya, tapi tetap saja aku tak ingat.
Langit menggelap. Malam tiba. Ada satu atau dua bintang yang menggantung di sana. Hamid belum juga kembali. Aku terbaring dengan gelisah. Merasa tak nyaman karena diaperku sudah penuh dengan air seni dan feses. Harusnya siang tadi sudah diganti, tapi Hamid tak datang. Sudah berkali-kali kupanggil dia, tapi tak ada sahutan. Kenapa rumah sepi? Ke mana dia? Apa Hamid sengaja meninggalkanku sendirian? Tega sekali!
Aku lapar.
Nyamuk berkerumun di lengan dan kaki. Aku berharap agar serangga itu segera mati setelah menghisap darah orang yang berpenyakitan sepertiku. Aku sedih dengan ketidakberdayaanku saat ini. Semakin tua, aku merasa semakin tersiksa. Dalam keadaan seperti ini aku berharap Tuhan segera mengirim malaikatnya untuk menjemputku.
Pintu berderit. Hamid datang dan segera menyemprot aroma terapi ke segala sudut kamarku. Kemudian mengganti diaper, menyuapi, dan memberiku obat.
“Maaf,” lenguhku.
Seperti selalu, Hamid tak berminat menjawab ucapanku. Dia sibuk membereskan sisa-sisa makanku.
“Hamid. Maafkan kesalahan Ayah.”
“Sudahlah, Yah! Aku bosan mendengar tiap kali Ayah bilang maaf.”
Hamid memalingkan wajah ke jendela. Aku berpikir, apakah aku sudah sangat terlambat untuk berbaik hati dan memperbaiki hubungan kami? Sehingga tampak sekali dia sangat terpaksa ketika merawatku.
“Kenapa Ayah harus minta maaf? Dulu juga Ayah membiayai hidupku meski hubungan kita seperti orang lain. Sekarang Ayah sakit biar aku yang membiayai hidup Ayah.”
“Tak bisakah hubungan kita seperti Ayah dan anak. Sungguh keadaan ini membuat Ayah tak nyaman.”
“Bukankah ini yang Ayah mau? Sudahlah jangan terlalu banyak berharap. Terima saja.”
Hukum tabur tuai berlaku. Sekarang aku baru merasakannya, putraku serupa orang lain bagiku. Mae, pasti kau senangkan di sana, karena melihat pria yang suka mengatur ini sekarang mendapat karmanya.[]
Jeminarsih, gadis yang masih belajar menulis.
Editor : Uzwah Anna
Grub FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/menjadi penulis tetap di Loker kata