Pertemuan Malam Itu

Pertemuan Malam Itu

Pertemuan Malam itu

Oleh: Jemynarsyh

Sore itu, aku baru saja pulang kerja. Saat sedang melepas sepatu dan meletakkannya di rak, Bude Aning dengan tergopoh menghampiriku. Napasnya tersengal-sengal, ditambah keringat yang mengucur di pelipisnya. Penasaranku kian memuncak, tak sabar ingin tahu apa yang terjadi. Kuusap pundaknya, menelisik wajahnya yang dipenuhi keriput di dahi, dekat mata. Wajah yang termakan usia.

“Manda, Lan!”

“Manda kenapa, Bude?”

Bude Aning seperti ragu dengan apa yang akan  diucapkannya. Dengan menghela napas berat, ia  memegang lenganku.

“Manda pergi ke rumah Kevin sejak pagi. Sampai sekarang, belum balik. Bude takut, Lan! kamu tahu kan, Kevin pemuda seperti apa. Suka mabok, bikin onar!”

Benar apa yang dikatakan Bude Ning. Kevin, pemuda itu sudah seperti sampah masyarakat di kampung ini. Perbuatannya yang suka berbuat onar, membuat resah para warga. Meski begitu, orang tua Kevin juragan walet, orang terkaya di kampung ini. Kami yang rakyat jelata, bisa apa? Saat hukum selalu bisa dibeli dengan uang.

Sudah lama aku mewanti-wanti Manda untuk tidak dekat dengan Kevin. Tapi, lagi-lagi ia mengulanginya. Bukan sekali atau dua kali, aku memergokinya berjalan dengan Kevin. Dan setiap Manda pulang ke rumah, aku selalu menasehatinya agar berhati-hati dalam memilih teman.

“Bude, tolong tenang, ya. Di rumah aja. Biar aku ke tempat Kevin untuk menyusul Manda.”

Tanpa berganti pakaian, segera kuambil sandal dan menstarter motor. Rumah Kevin tiga gang dari sini. Kevin tinggal sendiri di ujung jalan sana. Sedangkan orang tuanya tinggal di gang pertama. Tidak jauh dari gapura, akan ada rumah paling besar dan mewah di antara rumah lain. Itulah rumah orang tua Kevin.

Tiga gang sudah kulewati. Jalanan sepi. Hari sudah senja. Lampu-lampu rumah warga sudah menyala, menjadi penerang di malam yang kelam.

Tiba di ujung jalan, aku belok kiri. Menuju rumah yang cukup besar bila hanya dihuni satu orang. Tapi, rumah itu tampak sepi. Bahkan lampu di terasnya masih belum menyala.

Dengan tergesa aku turun dari motor dan mengetuk pintu dengan tidak sabaran. Cukup lama. Entah apa yang dilakukan penghuni rumah ini. Membuatku ingin mendobrak pintu saja!

“Sebentar!”

Sahutan itu berasal dari dalam. Terdengar suara krasak-krusuk. Hening. Derap langkah mendekati pintu dan pintu pun terbuka. Berdiri seorang Kevin dengan penampilan yang acak-acakan, matanya merah, dan berdiri agak sempoyongan.

Aku segera menerobos masuk. Menelisik ruang tamu yang berantakan. Botol-botol minuman berserakan, puntung rokok di mana-mana. Mataku sendu kala kudapati adik semata wayangku duduk dengan santainya sambil tersenyum. Penampilannya pun tidak jauh berbeda dengan Kevin. Berantakan!

“Pulang!”

Aku menarik paksa tangannya dan segera meninggalkan rumah. Di tengah perjalanan pulang, sebisa mungkin kutahan gejolak amarah. Dada ini  terasa sesak.

Ayah, Ibu, maaf. Belum bisa menepati amanah kalian untuk menjaga Manda.

Setiba di pekarangan rumah, Manda segera turun dan masuk ke rumah. Sedangkan aku mengekor di belakangnya. Bude Ning langsung beranjak dari sofa dan menghampiri kami. 

“Jangan buat kami khawatir, Manda,” kata Bude Ning dengan seulas senyum keibuan.

“Aku sudah besar, Bude. Jangan anggap aku anak kecil lagi. Biarkan aku bebas, berteman dengan siapa saja yang aku mau!”

“Manda!”

“Kenapa? Kakak mau ngelarang aku lagi? Aku ingin bebas seperti yang lain. Main, nongkrong, bukannya di rumah terus. Aku bosan. Kalian ngerti, gak!” teriak Manda sambil berlalu meninggalkan kami.

Aku dan Bude Ning terdiam, saling pandang. Kami hanya bisa menghela napas berat melihat sikap Manda yang kian hari semakin berbeda.

“Mandi sana. Bau asem kamu.”

Bude Ning berlalu sambil menutup hidung. Refleks  aku mencium aroma badanku. Ya! Ternyata memang benar. Membersihkan diri mungkin bisa membuat badan sedikit lebih segar.

***

“Manda ke mana, Bude? Kok di kamarnya kosong?

“Bude sudah memohon agar dia tidak pergi. Tapi Manda keukeh pergi dengan Kevin. Maafkan bude, Lani.”

Aku memijat pelipis yang mendadak pening.

“Iya, Bude. Biar nanti aku tunggu Manda sampai pulang,” kataku seraya mengajak Bude Ning kembali duduk di sofa.

Aku duduk dengan hati tak tenang. Sekali lagi, mencoba menghubungi Manda, tapi masih belum bisa juga. Entah sudah panggilan ke berapa dan sekarang hanya ada suara operator.

Aku beranjak dari kursi, kusibak gorden. Di luar sana tampak gelap, hanya sedikit cahaya remang dari kunang-kunang yang bertebaran. Kulirik jam di dinding, sudah pukul dua belas lewat sepuluh.

Bude Ning terbangun dari tidurnya. Ia terlihat mengucek mata, kemudian pandangannya memindai sekitar. Saat matanya menatapku, Bude Ning tersenyum dan menghampiriku. Ikut melihat ke pekarangan.

“Lan, bukannya, itu Manda?” tanya Bude Ning menunjuk pada sosok wanita memakai dress warna navy dengan rambut terurai. Manda memang tak pernah mengikat rambutnya. Ia selalu membiarkan rambutnya tergerai. Benar, itu Manda. Tapi kenapa tidak masuk saja? Banyak tanya berkelebat di dalam pikiran. Aku dan Bude Ning saling pandang.

“Suruh masuk, jangan dimarahi dulu,” perintah Bude yang langsung aku setujui.

“Manda, masuk. Udara malam tak baik untuk kesehatan,” kataku saat menghampiri Manda. Ia hanya menoleh. Tatapannya sendu. Seperti ada penyesalan, tapi entahlah, biar esok pagi kami bicarakan bersama.

Manda pun beranjak dari kursi, melewati aku dan Bude Ning begitu saja. Sikapnya tampak aneh malam ini. Tapi biarlah, setidaknya ia pulang dengan selamat. Aku dan Bude Ning pun pergi ke kamar masing-masing melepas penat dan bersiap menyambut hari esok.

***

Ketukan pintu disertai seruan yang tak sabaran membuatku dan Bude Ning yang sedang membuat sarapan segera membuka pintu. Terlihat Pak RT dan dua orang polisi.

“Begini, Bu Ning dan Nak Lani, polisi ini menemukan barang-barang milik Manda,” kata Pak RT memberikan penjelasan yang membuat detak jantungku kian cepat. Kuterima tas selempang dari pak RT. Benar, ini semua milik Manda. Dompet, handphone, dan beberapa alat make up.

“Terima kasih, Pak. Pantas saja, tadi malam Manda pulang tidak dengan tas selempangnya.”

Kening pak polisi dan pak RT mengernyit. Mereka seperti sedang mencerna apa yang barusan kuucapkan.

“Tapi, Mbak Lani, kami menemukan jenazah adik Anda di tempat kejadian,” terang salah satu polisi.

Aku dan Bude Ning saling pandang. Tak mempercayai apa yang diucapkan oleh polisi tersebut.

“Tapi, Pak, adik saya ada di rumah. Dia sedang istirahat. Kami menyaksikan sendiri kalau dia memang pulang tadi malam.”

Bude Ning mengangguk, menyetujui apa yang aku ucapkan. Kedua polisi dan Pak RT saling pandang. Seakan ada hal ganjil yang sudah menimpa kami.

“Bisa dipanggilkan kemari, Mbak, adiknya,” pinta salah satu polisi.

Aku mengangguk dan segera menuju kamar Manda. Saat aku membuka pintu, kamarnya kosong. Bahkan ranjangnya masih rapi seperti belum dipakai. Tak ada jejak-jejak orang sudah tidur di kamar. Perasaanku kian tak enak. Jantung berdegup semakin kencang. Dengan wajah pias, kuhampiri Bude Ning, bertanya apakah mungkin Manda sudah bangun. Namun, jawaban Bude Ning memupuskan harapanku.

Di pagi yang mendung, kami harus menerima bahwa Manda tidak pulang ke rumah. Melainkan pulang ke tempat keabadian.


Kota Cantik, 20-12-2020

Jemynarsyh, yang masih belajar menulis

Editor: Imas Hanifah N





Leave a Reply