Wanita yang Membenci Hujan

Wanita yang Membenci Hujan

Wanita yang Membenci Hujan
Oleh: Lusiana Ayuningtyas

Namanya Sukma, Sukma Ayu Prabandari lengkapnya. Perawakannya langsing dengan kulit sawo matang. Rambut panjangnya yang mencapai pinggang lebih sering dikepang rapi. Senyumnya manis sekali saat pandangan kami tak sengaja bertemu pada pagi itu di hari Selasa, dua hari setelah aku menjadi penghuni kos yang ada tepat di sebelah rumah Sukma. Kala itu kulihat Sukma sedang menyapu halaman. Dasternya yang berwarna bunga-bunga pink terlihat sedikit kebesaran di badannya.

Sejak pertemuan pertama, sungguh aku langsung jatuh hati pada wanita itu. Jadi aku memutuskan untuk mencari info tentang Sukma. Sayangnya agak sulit, mengingat aku adalah penghuni baru di kos ini. Ibu kos datang seminggu sekali untuk mengecek semuanya. Jadi sepertinya aku harus bertanya pada tetangga kanan kiri. Hanya saja sejak pindah aku masuk middle terus, yang berarti jam kerjaku pukul sepuluh pagi, dan pulang setelah magrib. Siapa yang mau aku tanya?

Di hari kelima aku di sini, akhirnya aku berhasil berkenalan, walau dia lebih banyak tertunduk dengan pipi yang bersemu merah. Namanya sesuai dengan orangnya. Saat dekat, terlihat senyumnya lebih manis lagi, dan wajahnya juga lebih cantik. Sungguh, aku benar-benar terpesona. Logikaku mengatakan jangan terlalu buru-buru. Jadi setelah berkenalan, sampai beberapa hari ke depan aku tak menampakkan wajah. Aku hanya mengamatinya dari balkon kamarku yang ada di lantai dua.

Dua minggu kemudian saat hujan deras, samar aku mendengar teriakan dari sebelah. Aku bangkit berdiri di depan jendela kaca. Terlihat samar di bawah sana, di halaman rumah Sukma, beberapa sosok tampak berkejaran. Aku memicingkan mata, mencoba melihat lebih jelas. Hanya saja karena hujan terlalu deras sosok-sosok tersebut terlihat kabur. Akhirnya aku memutuskan untuk kembali merebahkan tubuh. Rasa lelah, udara dingin, tak butuh waktu lama untukku berpindah ke alam mimpi. Pikiranku yang penasaran tentang siapa sosok yang sedang berkejaran di halaman rumah Sukma pun menghilang.

Sebulan sejak kepindahanku, akhirnya aku bisa menanyai Ibu Kos tentang Sukma. Bu Retno, ibu kosku malah bercerita banyak tentang siapa Sukma. Aku termangu setelah tahu sedikit tentang wanita yang sudah membuatku jatuh cinta karena senyumnya yang malu-malu tersebut. Ya, pikiranku mendadak kalut, hatiku seperti tak menerima kenyataan yang telah terjadi pada Sukma. Beberapa saat aku hanya berdiri saja di depan pintu ruang TV setelah Bu Retno pulang. Perasaanku campur aduk.

“Bro, bengong aja.” Handi menepuk pundakku sedikit keras, aku hanya tersenyum, lalu beranjak ke kamar.

“Ke kamar dulu, Han,” pamitku lalu beranjak menuju tangga. Di kamar aku tiduran, pikiranku melayang. Menurut Bu Retno, Sukma itu usianya sudah 35 tahun. Jiwanya terganggu sejak kematian anak dan suaminya beberapa bulan lalu. Mereka mengalami kecelakaan perjalanan pulang saat berwisata. Ban mobil yang ditumpangi selip karena jalanan licin terguyur hujan yang membuat mobil tergelincir. Tanpa disangka dari arah berlawanan muncul sebuah mobil bak terbuka menghantam mobil yang ditumpangi Sukma sekeluarga. Bagian pengemudi dan penumpang di belakang pengemudi yang terkena hantaman keras. Sedang Sukma yang duduk di kursi penumpang sebelah pengemudi hanya luka ringan, tapi jiwanya terguncang hebat.

Sejak kematian suami dan anaknya, Sukma menjadi aneh. Setiap kali hujan deras turun, dia akan berlari ke halaman. Berteriak-teriak marah. Bahkan tak jarang akan berguling-guling di sana. Setelah lelah, kemudian wanita itu akan menangis keras. Ketika hari cerah perilaku Sukma terlihat normal. Seperti saat perkenalan kami dulu. Aku bahkan tak tahu kalau ada yang salah dengannya.

Tak lama terdengar suara air berjatuhan di atap. Hujan. Dalam hitungan menit, hujan turun dengan deras. Bergegas aku turun dan mengambil payung. Aku ingin memastikan sendiri cerita Bu Retno. Dan ya, ketika aku berdiri di depan halaman rumah Sukma, kulihat wanita itu berlari keluar rumah. Dasternya yang berwarna hijau, basah dalam hitungan detik. Semua yang dikatakan Bu Retno benar. Aku masuk rumah dengan lunglai. Badan ini terasa lemas sekali. Ada harapan yang pupus. Sejak itu aku hanya tersenyum pada Sukma ketika pandangan kami bertemu. Walau hatiku menginginkan lebih, tapi logikaku membuatku menekan rasa hati sampai ke batas minimal.

Dua bulan kemudian hatiku terasa disayat, dan aku tahu luka ini akan membekas selamanya. Hari masih teramat pagi saat aku mendengar jeritan keras dari halaman rumah Sukma. Itu suara ibunya. Bergegas aku turun. Jeritan itu terdengar pilu, lalu aku mendengar ibu Sukma memanggil nama Sukma dengan suara yang menyayat hati. Saat aku sampai di depan pintu pagar, terlihat sosok tergantung di pohon mangga. Aku memicingkan mata mencoba melihat lebih jelas, tapi terlalu gelap. Tergesa aku memukulkan gembok besi berkarat yang masih mengunci. Tak lama sesosok manusia tergopoh berlari ke arah pagar. Setelah dekat aku baru tahu dia Edo, adik Sukma. Tanpa kata segera dibuka gembok dan pagarnya lebar-lebar.

Aku berlari ke arah sosok yang tergantung. Mata ini seakan tak percaya meihat sosok yang saat ini tergantung kaku. Sukma, wanita yang kucintai diam-diam, lebih memilih mengakhiri hidupnya pada seutas tambang. Mataku mendadak memanas. Ada air mata yang mendesak di ujung mata, ada sesal yang memenuhi dada. Aku menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskan perlahan. Rasa sesak membuatku kesulitan bernapas.

Tak lama dengan dibantu Pak RT dan ketua karang taruna, aku menurunkan jenazah Sukma. Satu-satu air mataku akhirnya jatuh. Lalu tanpa suara aku menangis sembari menggotong jenazah wanita yang telah mencuri hatiku.

Banyak kata andai yang bergaung di kepala, tapi semua telah terlambat. Setelah ini, hanya akan tersisa kenangan tentang Sukma. Wajahnya yang tertunduk malu, pipi yang merona merah, juga senyumnya yang memesona membuat hati ini jatuh. (*)

Lusiana Ayuningtyas, seorang TKW yang belajar lagi untuk menulis.
Editor: Fitri Fatimah

Leave a Reply