Tabir Manusia

Tabir Manusia

Tabir Manusia

Oleh : Anasera Pratista

 

Sudah lima hari jalan sebelah utara kampung ditutup karena ada warga yang mempunyai hajat. Hal ini membuatku harus menempuh jalan yang lebih jauh saat hendak pulang ke rumah. Menyebalkan!

Aku heran dengan orang-orang yang suka seenak jidat mengadakan hajatan, tapi tidak memikirkan kepentingan orang sekitar. Dulu saat masih kecil, guru ngajiku pernah mengatakan bahwa hal itu sangat tidak dianjurkan, karena akan mengganggu kepentingan orang banyak.

Hajatan kali ini bisa dikatakan merupakan hajatan termewah selama dua tahun aku tinggal di kampung ini. Biasanya warga di sini menggelar hajat paling lama dua hari. Hajatan kali ini sudah memasuki hari keempat dengan acara yang silih berganti, mulai dari pengajian, siraman, akad, hingga resepsi.

Jika biasanya warga kampung menyajikan makanannya menggunakan sistem “piring terbang”, pada hajatan kali ini para tamu undangan diberi suguhan berbagai macam makanan secara prasmanan. Selain itu, puncak acaranya nanti konon akan mengundang penyanyi dan orkes dangdut. Benar-benar mewah untuk sekelas kampung kami.

“Enak ya si Rani, nikahannya mewah. Katanya dapat sumbangan dari Wak Haji Udin.”

“Masak, sih, denger dari mana?”

“Halah, yo mesti aja disumbang. Kan Bapaknya Rani itu termasuk kader pendukung Wak Udin waktu pencalonan Lurah.”

“Huss … jangan omong gitu! Pak Haji Udin kan memang dermawan. Jalan di kampung kita bisa paving-an seperti sekarang juga sumbangan dari dia, ‘kan?”

“Iya, bener juga. Pak Haji Udin emang dermawan, beda sama Haji Supri. Kalo Haji Supri peliiitt … mana pernah dia nyumbang kampung? Udah orangnya diem, gak seberapa gaul ama tetangga. Paling banter cuman manggut sama senyum kalo ketemu orang.”

“Iya … ya. Bener juga.”

Sebagai orang baru dibandingkan mereka, aku hanya diam mendengarkan dan tersenyum saat mata mereka melihat ke arahku. Setelah membayar total belanjaan, aku berlalu meninggalkan wartawan-wartawan dadakan itu.

Saat melangkah menuju rumah, aku memikirkan pembicaraan ibu-ibu tadi. Setelah aku pikir-pikir, ternyata ada benarnya juga.

Selama ini Pak Haji Syamsudin memang sering memberikan sumbangan untuk kampung dan warga. Terutama saat menjelang pemilihan lurah enam bulan lalu. Beda dengan Haji Supri yang pendiam dan jarang keluar rumah, paling hanya menjelang waktu salat dia terlihat berjalan menuju masjid di ujung kampung.

***

Saat hendak berangkat kerja, aku menghentikan motor yang kunaiki karena penasaran. Beberapa warga bergerombol di depan rumah Pak Haji Udin. Aku melihat ada mobil polisi tak jauh dari tempat mereka bergerombol.

“Ada apa, Mas?” tanyaku pada seseorang yang paling dekat dengan posisiku berhenti.

“Itu … denger-denger Pak Haji Udin kedapatan jadi bandar narkoba.”

“Hahh! Yang bener, Mas?”

“Iya, itu ada polisi yang mau nangkap,” jawab pemuda itu sebelum berlalu pergi.

Pak Lurah yang baru beberapa bulan lalu menjabat itu bandar narkoba?! Aku mengernyitkan dahi, antara percaya dan tak percaya mendengar hal itu. Bagaimana bisa orang yang terlihat sangat baik dan dermawan itu menjadi bandar narkoba.

Setelah mobil polisi berlalu dengan Pak Haji Udin di dalamnya, gerombolan pun mulai bubar. Ibu jariku urung menekan tombol starter saat telingaku menangkap suara dari speaker masjid.

Innalillahi wa inna ilaihi rojiun …. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya takmir Masjid Ar-Rahman dengan ini mengumumkan bahwa telah meninggal dunia Pak Haji Supri, pada tanggal dua puluh empat bulan Desember tahun dua ribu dua puluh pukul tujuh lebih lima belas menit. Saya bersaksi, beliau adalah orang baik. Almarhum akan dimakamkan pukul sembilan pagi. Mohon dimaafkan jika Almarhum memiliki kesalahan. Dan jika Almarhum memiliki tanggungan, dipersilahkan menghubungi keluarganya. Terima kasih.”

Aku mengurungkan niatku untuk berangkat kerja. Sebelumnya aku sudah mengirimkan pesan ke bagian personalia. Aku akan datang terlambat, karena orang yang memberikan aku rekomendasi pekerjaan telah meninggal. Orang yang aku tahu selalu memberikan bingkisan kepada semua karyawannya saat mereka ulang tahun, meskipun beliau sudah pensiun.

Masih terukir di ingatan, saat aku bingung harus meminjam dana untuk operasi bapakku sedangkan di kantor masih ada tanggungan pinjaman, waktu itu Pak Haji Supri yang masih menjabat kepala cabang memberikan malah memberikan pinjaman dari uang pribadinya. Dan saat aku hendak membayar, beliau malah menolaknya dengan halus.

Pak, saya bersaksi bahwa Bapak adalah orang baik. Dari Bapak, saya belajar bahwa kebaikan tak harus menjadi ajang pencitraan. Selamat jalan, Pak. Semoga bapak ditempatkan di tempat terindah di sisi-Nya. (*)

Kota Pahlawan, 24122020

 

Anasera Pratista. Manusia biasa yang suka membaca dan sedang belajar menulis. Berharap dapat meninggal jejak dengan tulisannya.

Editor : Devin Elysia Dhywinanda

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply