Mencari Air Mata Ibu

Mencari Air Mata Ibu

Mencari Air Mata Ibu

Oleh: Ika Mulyani

Karsa menemukan seorang anak manusia kayu, tengah menangis terisak di bawah rumpun bambu di tikungan jalan. Hampir saja bagian depan sepeda motor roda tiganya–yang berat oleh muatan sampah warga satu dusun–melindas kaki bocah itu, yang terjulur di tepi jalan. Beruntung laki-laki itu cekatan menekan pedal rem, menimbulkan suara berdecit. Ia lalu turun dari kendaraannya dan berjongkok di hadapan bocah itu.

“Mengapa kamu menangis?” tanya Karsa dengan lembut.

Laki-laki itu amat mencintai anak-anak, meskipun ia belum juga menikah di usianya yang sudah menginjak pertengahan tiga puluhan. Sebanyak apa pun air mata yang ditumpahkan oleh anak-anak di dusun ini, bahkan bila mereka merajuk atau tantrum hingga berguling-guling di tanah pun, Karsa selalu bisa menghentikannya. Segala jerit dan isak tangis para bocah itu akan berganti senyum malu-malu, begitu Karsa bertanya, “Mengapa kamu menangis?”

Dekapan hangat atau usapan lembut tangan Karsa selalu berhasil melunakkan kemarahan dan menyejukkan hati yang sedih. Tidak jarang, ia dicari oleh seorang ibu, hanya untuk menghentikan tangis bocah yang tidak lagi terkendali.

Anak manusia kayu itu bergeming. Ia masih belum berhenti menangis, bahkan isakannya kini berganti sedu-sedan. Air mata masih saja mengalir dengan deras di pipinya yang licin bagai dipelitur.

Karsa termangu. Rupanya pesona dirinya sebagai pelipur lara, tidak berlaku bagi manusia kayu.

“Siapa orang tuamu? Di dusun mana kalian tinggal? Aku bisa mengantarkanmu pulang.”

Sepanjang pengetahuan pria tiga puluh lima tahun itu, yang setiap dua hari dalam sepekan berkeliling kampung mengumpulkan sampah–hanya ada satu keluarga manusia kayu di dusun ini. Dan setahu Karsa, keluarga itu tidak memiliki anak.

Bocah manusia kayu itu tidak juga mau menjawab pertanyaan Karsa. Ia hanya terus menerus menggeleng sambil tersedu-sedu.

“Siapa namamu?”

Mendengar pertanyaan itu, si bocah tiba-tiba menghentikan tangisannya. “Kai. Namaku Kai!” serunya sambil segera mengusap matanya dengan punggung tangan. Mata kayunya berbinar, meski masih ada sisa air mata tergenang di sana.

Suara anak itu saat berbicara terdengar mengalun seperti suara seruling yang ditiup oleh Handi, si anak gembala. Suaranya bahkan lebih merdu daripada suara Ranti, si perempuan manusia kayu yang tinggal di ujung dusun, di tepi hutan lindung.

Sebenarnya, Karsa baru tiga atau empat kali mendengar suara Ranti. Pertama kali di hari kedua dari kedatangan mereka sekitar setengah tahun lalu, dan beberapa kali lagi ketika kebetulan Ranti sedang berada di luar rumah saat Karsa datang mengambil sampah.

Hari kedua kedatangan keluarga manusia kayu itu, adalah hari Senin, jadwal Karsa untuk mengumpulkan sampah warga. Ketika melihat rumah di ujung dusun itu telah berpenghuni, setelah sekian bulan kosong, Karsa pun bergegas mendatanginya.

Tidak ada kantong plastik berisi sampah di depan rumah itu. Sepertinya mereka belum mendapat pemberitahuan dari kepala dusun mengenai pengumpulan sampah, bahkan mungkin kepala keluarganya belum melakukan lapor diri. Kepala dusun selalu menginformasikan semua hak dan kewajiban warga dusun ini dengan terperinci kepada setiap pendatang baru yang melapor.

Karsa pun mengetuk pintu seraya mengucap salam. Terdengar jawaban dari dalam rumah, dan seraut wajah perempuan manusia kayu muncul dari balik pintu.

“Maaf, siapa, ya?” tanyanya.

Karsa terpesona. Bukan wajah perempuan itu yang membuatnya terpaku dalam kekaguman. Wajah perempuan itu sama saja dengan wajah manusia kayu lainnya. Seperti yang pernah Karsa lihat di televisi atau koran. Cokelat mengilap dengan garis serat kayu di beberapa bagian, serupa permukaan meja kayu jati. Yang membuat Karsa terpesona adalah suaranya. Baru kali ini laki-laki itu mendengar suara manusia kayu. Mendengar perempuan itu berbicara, seolah telinga Karsa tengah menikmati merdunya petikan gitar si Pengamen yang setiap hari Minggu berkeliling kampung.

“Ada apa, Pak?” Kembali si perempuan manusia kayu bertanya, membuat Karsa tersentak dan sedikit tergagap.

“Eh, maaf, saya … petugas kebersihan di dusun ini. Saya … mau mengambil sampah.”

Perempuan manusia kayu itu tersenyum, ada dekik di kedua pipi kayunya. Ia mengatakan bahwa belum ada sampah hari ini. Ia dan suaminya belum selesai berbenah rumah.

Karsa mengangguk-angguk, menikmati alunan merdu suaranya.

“Kapan jadwal Bapak datang lagi mengambil sampah? Berapa yang harus saya bayar setiap bulannya?”

Karsa tidak segera menjawab, ia malah kembali mengangguk-angguk, terbuai oleh merdu suara si perempuan.

“Pak!”

Karsa tersentak. Perempuan itu mengulangi pertanyaannya. Hampir saja Karsa kembali terlena. Laki-laki itu lalu menjelaskan bahwa sampah organik harus dipisahkan dari sampah anorganik. Ia akan datang setiap hari Senin dan Kamis. Karsa juga menyebutkan berapa jumlah iuran sampah, kapan harus dilunasi, dan kepada siapa harus dibayarkan.

Petugas kebersihan itu lalu menganjurkan kepadanya untuk segera melapor dan mendaftarkan diri sebagai penduduk baru kepada kepala dusun.

“Baik. Rencananya siang ini kami akan melapor pada Bapak Kepala Dusun. Maaf, nama Bapak siapa?”

Karsa menyebutkan namanya, tergagap.

“Baik, Pak Karsa. Saya Ranti, dan suami saya Wudi. Tolong sampaikan permintaan maaf kami pada Pak Kepala Dusun, tidak langsung melapor saat tiba di sini kemarin.”

Setelah berjanji akan menyampaikan pesan itu, Karsa pun berlalu, dengan suara merdu Ranti masih terngiang di telinganya.

Hal yang juga menarik bagi Karsa, sampah di rumah Ranti tidak pernah banyak sebagaimana keluarga lain. Selain itu, Ranti selalu disiplin memisahkan antara sampah organik dan anorganik. Rumah yang sudah lama kosong itu pun menjadi asri dengan aneka tanaman berbunga dalam pot yang terbuat dari ban mobil dan sepatu bekas. Karsa mengira, mungkin begitulah sifat semua manusia kayu, selalu ramah lingkungan dan memiliki semangat go green yang tinggi.

Seandainya semua pemilik rumah di dusun ini disiplin dalam memilah sampah seperti perempuan itu, Karsa tidak akan perlu lagi memunguti sampah plastik yang tercampur di kantong sampah organik, sebelum menempatkannya di lubang pembuangan. Ia pun tidak perlu lagi membersihkan sampah plastik dari ceceran sisa-sisa makanan, sebelum mengumpulkannya di kotak penampungan, untuk diangkut ke tempat daur ulang.

Seketika, keluarga manusia kayu itu menjadi favorit Karsa. Ingin sekali rasanya ia sering berkunjung, hingga bisa menikmati asrinya halaman rumah mereka sekaligus merdunya suara Ranti. Karsa juga ingin sekali tahu, apakah suara suami perempuan itu sama merdunya atau tidak. Keduanya belum pernah bertemu.

Ya, suara Kai si bocah laki-laki manusia kayu itu lebih merdu dari suara Ranti yang memesonakan Karsa. Mungkin karena Kai masih kecil, atau suara manusia kayu laki-laki memang lebih merdu dari suara lawan jenisnya? Karsa tidak tahu.

“Kamu tidak tahu siapa orang tuamu?” Karsa kembali bertanya pada Kai.

Alih-alih menjawab, Kai malah kembali terisak, membuat Karsa bingung. Akhirnya Karsa memutuskan untuk membawa bocah itu menemui Ranti. Siapa tahu, sebagai sesama manusia kayu, perempuan itu mengenali Kai.

Namun, melihat bak sepeda motor roda tiganya yang penuh dengan sampah, Karsa sedikit tertegun. Tidak ada tempat untuk Kai duduk selain di atas tumpukan sampah. Jika bocah itu didudukkan di hadapannya, Karsa akan mengalami kesulitan dalam mengendalikan kendaraannya yang saat ini bermuatan penuh.

“Kai, saya akan menolongmu. Tapi, tunggu di sini, ya. Saya antarkan dulu sampah ini di tempatnya. Sepuluh menit, saya sudah akan ada di sini lagi. Tunggu saya, ya. Jangan ke mana-mana.”

Kai berhenti terisak. Ia mengangguk. Karsa memintanya untuk duduk di atas bonggol bambu.

Karsa lalu segera melarikan “kendaraan dinas”-nya ke arah selatan, menuju tempat penampungan sampah di ujung dusun, yang bila ditarik garis lurus, berseberangan dengan tempat Ranti tinggal di ujung utara.

Biasanya, Karsa akan langsung memilah sampah dan menumpuknya di tempat yang sesuai. Namun kali ini, ia tumpahkan mereka begitu saja di salah satu sudut, dan bergegas pergi lagi. Tidak dihiraukannya seruan Pak Kepala Dusun yang kebetulan sedang meninjau lokasi penampungan sampah itu.

Sepuluh menit kemudian, Karsa sudah kembali ke tempat ia menemukan Kai. Namun, tidak ada sesiapa di sini!

“Ke mana anak itu?” desis Karsa, panik.

Lelaki itu segera turun dari kendaraannya dan berseru, memanggil-manggil nama Kai.

“Kai siapa? Siapa yang kamu panggil?” tanya seseorang yang melintas

Karsa menjelaskan, lalu menanyakan, barangkali orang itu mengetahui keberadaan Kai.

“Oh, anak manusia kayu? Dia tadi berjalan ke arah sana sambil menangis. Waktu kutanya kenapa dia menangis, tangisannya malah makin keras.” Orang itu menjawab sambil menunjuk ke arah utara.

Setelah mengucapkan terima kasih, Karsa segera melarikan kendaraannya ke arah yang dimaksud. Ia bernapas lega, saat dilihatnya Kai tengah berdiri di depan rumah Ranti yang dikelilingi pagar hidup.

“Kai! Bukankah sudah kukatakan untuk menunggu?”

Kai menoleh. Karsa merangkul bahunya. Ternyata tubuh manusia kayu hangat sekali. Apakah karena Kai masih kecil? Atau semua manusia kayu sama hangatnya? Karsa tidak tahu.

Karsa mengetuk pintu. Kai di sampingnya melonjak-lonjak gembira. Wajah anak itu cerah, sama sekali tidak ada bekas tangisan di sana. Ia melihat berkeliling dengan mata berbinar.

“Eh, Pak Karsa. Ada apa?”

Setelah sekian lama mengenal Ranti, suara merdunya yang mengalun, masih saja mampu “menyihir” Karsa. Ia tidak segera menjawab. Dan sebelum laki-laki itu bersuara, pandangan Ranti tertumpu pada tatapan Kai yang berseri-seri. Bocah itu senang sekali mendapati ada manusia kayu lain selain dirinya.

“Kai. Namaku Kai.” Bocah itu berkata pada Ranti dengan suaranya yang semerdu tiupan seruling.

Ranti tertegun. Matanya yang bulat terbelalak.

“Aku tersesat. Aku tidak tahu jalan pulang.” Kai kembali bersuara.

Rupanya, bocah manusia kayu itu lebih nyaman berbicara pada sesama manusia kayu. Tanpa ditanya, ia menjelaskan sebab ia menangis sendirian di rumpun bambu tadi.

Warna cokelat kulit wajah Ranti terlihat memucat. Tangannya yang halus tampak gemetar saat berpegangan pada bingkai pintu. Tubuhnya sedikit limbung.

“Pak Karsa, Bapak … menemukan … anak ini, di mana?” Ranti seolah kekurangan asupan udara, bertanya patah-patah.

Suara Ranti tidak lagi terdengar merdu, membuat Karsa mengernyitkan dahi. Ia pun lalu menceritakan pertemuannya dengan Kai. Sementara, bocah itu terus menarik gaun yang dikenakan Ranti, sambil tidak henti merengek, “Aku mau pulang!”

Setetes air keluar dari ujung mata kayu Ranti, mengaliri pipinya yang licin, lalu jatuh di tangan Kai yang tengah meremas ujung lengan gaun perempuan itu. Kai menghentikan rengekannya. Tiba-tiba si bocah menjilat tetesan air mata itu, lantas matanya membulat, dan mulutnya memperdengarkan suara tawa yang merdu.

“Aku sudah pulang!” Kai lantang berseru, kegirangan. “Kaulah ibuku!”

Demi mendengarnya, air mata Ranti menjadi semakin deras, berjatuhan, dan suara tawa Kai semakin nyaring. Serta merta Ranti memeluk bocah itu erat-erat dan berkali-kali menyebut namanya.

Karsa tidak tahu harus berkata atau berbuat apa. Ia pun duduk di salah satu kursi kayu yang ada di teras rumah. Ditunggunya saja hingga “drama” di depan matanya selesai. Ia masih belum mengerti, mengapa tidak seperti anak manusia biasa, Kai tidak langsung mengenali ibunya sendiri. Rupanya air mata Ranti memiliki rasa yang khusus bagi Kai, dan bocah itu langsung mengenalinya.

Ucapan salam membuat Ranti segera mengusap mata dan melepas pelukannya. Ternyata Wudi pulang untuk istirahat makan siang. Pria itu tertegun melihat Kai.

Ranti berlari menyambut Wudi seraya berseru, “Ini Kai! Kai sudah pulang, Bang!”

Pasangan manusia kayu itu lalu duduk di kursi dekat Karsa, sementara Kai berselonjor di lantai kayu yang sewarna dengan kulit kayunya.

“Pak Karsa, terima kasih sudah mengantarkan Kai ke sini.” Wudi berucap dengan suara mengalun.

Akhirnya, setelah sekian lama, Karsa bisa mendengar suara Wudi, yang ternyata lebih merdu dari suara Ranti, tetapi masih kalah merdu dari suara Kai.

“Sebenarnya dia siapa?” tanya Karsa setelah beberapa saat terdiam, menikmati alunan suara laki-laki manusia kayu itu.

Ternyata, Kai adalah putra mereka yang telah lama hilang, saat mereka masih tinggal di pinggir hutan di kampung di balik bukit. Entah bagaimana caranya Kai bisa sampai di kampung ini. Yang selalu diingat Wudi hanyalah, saat-saat sebelum Kai terpisah darinya dalam sebuah perjalananan yang ditempuh berdua saja.

Laki-laki itu menoleh ke belakang. “Perjalananan masih jauh, Nak. Baiknya kamu tidur saja. Nanti dibangunkan saat kita berhenti cari makan,” ujarnya sambil tersenyum.

Kai pun tertidur. Ketika tiba di tempat makan, bocah itu tidak juga bangun meski tubuhnya diguncang-guncang. Berpikir mungkin anaknya kelelahan, Wudi pun meninggalkan Kai untuk membeli makanan. Dan sekembalinya dari sana, pria itu tidak menemukan Kai di mana pun.

Kai hilang. Berhari-hari, bahkan hingga berminggu-minggu, ayah dan ibunya mencari, tetapi anak itu tidak juga ditemukan.

“Kami berpikir, mungkin waktu kami untuk bersama Kai sudah habis, dan dia kembali diambil oleh alam, tempat manusia kayu berasal,” tutur Wudi seraya meraih Kai yang menghambur ke dalam pelukannya. “Kami pun memutuskan untuk pindah rumah, melupakan kesedihan kami.”

Karsa mendengarkan alunan suara Wudi sambil memejamkan mata, menikmati merdunya yang seperti nyanyian.

“Beruntung, ternyata Kai belum ditakdirkan untuk berakhir. Hari ini ada yang menuntunnya kembali kepada kami.”

Karsa beranjak pergi meninggalkan rumah manusia kayu itu. Di bak sepeda motornya, teronggok aneka buah yang diberikan oleh Ranti. Teringat belum memilah-milah sampah, laki-laki itu mempercepat laju kendaraannya.

Petugas pengumpul sampah itu masih belum mengerti, bagaimana di luar sana, anak sekecil Kai bisa bertahan hidup. Terbayang oleh Karsa, sulit dan lamanya perjalanan bocah kecil itu mencari orangtuanya. Mungkin Kai meminta, merengek, hingga memaksa setiap perempuan kayu yang ditemuinya untuk meneteskan air mata, dan lantas ia mencecap air mata itu. Berapa teteskah air mata yang sudah dicecapnya hingga hari ini?

Besok-besok, Karsa akan menemui Wudi. Barangkali saja ia bisa menceritakan pengalaman putranya selama pencarian air mata itu. Mendengar manusia kayu berbicara selalu menyenangkan. (*)


Ciawi, 5 Desember 2020

Ika Mulyani, emak dua anak pencinta lingkungan yang ingin jadi penulis.

Editor: Imas Hanifah N

Leave a Reply