Ombak di Selat Malaka
Oleh: Syifa Aimbine
Ombak kembali membuat kapal feri yang kutumpangi berguncang. Efek obat antimabuk yang kuminum tiga jam yang lalu sepertinya mulai hilang. Kepalaku mulai kembali pusing, perutku juga mulai terasa mual. Usaha untuk kembali tertidur juga sepertinya gagal. Aku harus menghirup udara segar. Segera kutinggalkan tempat dudukku, menuju dek kapal. Langit masih lagi terang, sepanjang mata memandang hamparan lautan lepas kebiruan. Aroma laut meninggalkan rasa asin di lidah, mungkin dari zat garam yang menguap dan tertiup angin. Di ujung pandangku terlihat pulau kecil yang tampak samar, apa sebentar lagi aku akan sampai?
“Tukar uang, Kak?” tawar seorang bapak. Penukaran mata uang tidak resmi memang lazim ditemukan di kapal. Mereka menawarkan jasa menukarkan rupiah ke mata uang ringgit dengan harga yang tentu saja sedikit lebih mahal dari tempat resmi. Untunglah sebelum berangkat aku sudah menukarkan uang sakuku yang tak seberapa. Hasil dari tabungan gajiku sebagai guru honorer selama dua tahun ini.
Aku melihat tumpukan uang di tangannya lalu dengan cepat menggeleng. Kukira ia akan segera beralih dan meninggalkanku, rupanya ia lanjut berdiri di tepi balkon menatap air laut di bawah kapal.
“Nak melancong, Kak?” tanyanya ramah.
“I-iye, Pak. Itu ke pulaunye, Pak?” tanyaku sambil menunjuk pulau yang terlihat samar.
“Eh, jangan tunjuk, Kak. Tak elok menunjuk macam tu.”
“Apesal tak boleh, Pak?” tanyaku sambil terkekeh, ada-ada saja mitos yang masih dipercaya.
“Sememangnya macam tu, Kak. Kalau kite di laut ne, ade semacam aturan yang tak boleh dilanggar. Boleh tak pecaye, tapi kadang betul. Saye dah sepuluh tahun lebih ‘kat laut ni, banyak hal yang kadang tak masuk dengan logika, tapi betul terjadi.” Matanya menerawang, melempar pandang.
“Ho, macam tu.” Mungkin benar, kenyataannya memang banyak hal dalam hidup ini yang tidak ditemukan logikanya.
Misalnya saja jatuh cinta. Ah, contoh klise yang kutahu. Karena hanya hal itulah yang pernah kumiliki. Alasan yang membuat hidupku yang sangat biasa berubah lebih berwarna. Meski keliru memilih tempatnya. Kalau kuingat lagi, rasa sakit kembali menusuk entah dari mana. Pria itu bernama Firman.
Lima tahun yang lalu aku bertemu dengannya. Tak sengaja, ia menemukan dompetku yang terjatuh di depan Masjid Raya–peninggalan sejarah masuknya Islam di Kota Bertuah. Saat itu, aku ikut dalam rombongan study tour sekolah tempatku bekerja.
“Ini dompet, Ncik, ke? Tadi saye tengok jatuh kat depan tu, tadi.” Ia menghampiri aku yang hampir menangis panik.
Itulah awalnya, kami berkenalan dan menjalin komunikasi jarak jauh. Ia yang juga saat itu berstatus sebagai pelancong, berasal dari negeri jiran, tepatnya dari Kota Malaka. Aku selalu suka mendengar ketika ia bercerita tentang kotanya, kota kecil yang memesona. Kadang sampai lupa waktu jika berbicara dengannya melalui suara. Tak terpikir entah berapa ringgit ia habiskan untuk membeli pulsa.
“Kalau Abang datang ke rumah Adik, boleh tak?” tanyanya suatu hari.
Dadaku membuncah. Gugup dan girang bercampur menjadi satu. Apa ia hendak melamarku? Yang pasti gejolak asmara meronta tak terkira. Kedatangannya bagai siraman madu di rebusan ubi yang sebelumnya hambar tak ada rasa.
Senja hampir tiba saat kutemui ia di dermaga. Tatapan hangatnya membuat naluri primitifku semakin membara. Semua berjalan lancar, hingga tanggal telah terjadwal. Namun, manusia selalunya tak sanggup bersabar. Perjalanan membeli perlengkapan pernikahan berlanjut ke acara memadu cinta. Bukan terlupa, lebih tepatnya mengabaikan dosa.
Hari yang kutunggu pun tiba. Pelaminan Melayu berlapis tujuh tirai, tenda merah kuning hijau, dan aroma rendang pun sudah tercium dari dapur. Namun, berita kedatangannya belum juga sampai. Aku mulai gelisah, kepala pusing, mual pun sejak semalam belum pula hilang. Pertahananku rubuh di sore hari, tatkala utusan keluarganya tiba mengabarkan berita duka. Kapal calin suamiku karam di tengah selat, jasad pun tak terlihat. Dunia yang baru kubangun di angan kembali runtuh, ditambah hasil yang kuat menancap di dinding rahim.
Berita kehamilanku sampai ke keluarga Almarhum. Iba denganku, mereka menawarkan mengasuh cucu yang belum lahir. Aku pasrah, toh hidup denganku pun tiada cahaya. Aku terlalu sibuk dengan kesedihan yang rasanya tiada akhirnya. Niat menyusul merenggut nyawa hampir selalu ada. Untunglah Tuhan masih memberiku kesempatan dan kekuatan. Tiga tahun kemudian aku tersadar, merindukan tangan kecil yang pernah menyentuh pipiku. Aku tak berharap banyak untuk dapat memilikinya kembali. Cukup memeluknya saja, rinduku sudah tak terkira.
“Maafkan Mama, Nak,” bisikku lirih tiap teringat wajah polosnya.
***
Kapal sudah merapat ke dermaga, segera kupesan taksi menuju alamat yang pernah mereka kirim padaku. Aku bersyukur, keluarganya sungguh berlapang dada. Mereka selalu mengirimiku fotonya, foto gadisku yang jelita. Bulan lalu tepat tiga tahun usianya. Selama ini aku tak pernah melihat apa yang mereka kirim untukku, sekali lagi, aku terlalu sibuk dengan rasa bersalah dan kesedihanku. Lupa dengan hadiah Tuhan yang luar biasa. Ah, kenapa baru sekarang aku menyadarinya.
Taksi yang kutumpangi berhenti di depan sebuah rumah panggung kayu yang terlihat sangat apik, namun terlihat sangat sepi. Apa tidak ada orang di rumah ini?
Aku mendekat untuk mengetuk pintu dan mengucap salam. Seseorang membuka pintu kemudian. Wanita berkerudung putih itu langsung memelukku dan menangis.
“Kenape baru datang sekarang?” Ia terisak.
Kemudian beberapa orang ikut keluar menyambutku. Mereka semua memelukku sambil menangis, awalnya aku bingung. Mereka kemudian membawaku ke sebuah tempat yang membuat kakiku tak berpijak. Sebuah nisan batu kecil berukir nama yang indah, Namimah Aisyah binti Fariz Alamsyah. Tuhan memilihnya untuk mendampingi Bang Fariz, bukan aku–ibu yang mengabaikannya. (*)
Depok, 11 Desember 2020
Syifa Aimbine, member Lokit yang masih puyeng mikirin surealis dan realis magis.
Editor: Fitri Fatimah