Waktu yang Tepat untuk Membersihkan Pori-Pori (25 Cerpen Terbaik TL-17)

Waktu yang Tepat untuk Membersihkan Pori-Pori (25 Cerpen Terbaik TL-17)

Waktu yang Tepat untuk Membersihkan Pori-Pori

Oleh: Ayna Indiera

25 Cerpen Terbaik TL-17

 

Sore itu, akhirnya Marina menyadari bahwa ia memiliki keterampilan yang jarang dimiliki orang lain. Mulanya ia mengira keterampilan itu berasal dari sebuah mantra yang dirapalkannya tanpa sengaja di dalam bus, pada Sabtu pagi yang cerah, ketika seorang kondektur membentaknya lantaran lupa membawa uang. Ia tidak tahu pasti kalimat mana yang merupakan mantra, karena ada banyak hal memenuhi kepalanya. Semua menumpuk, carut-marut, berlomba-lomba meminta diselesaikan lebih dulu. Dan ketika ia merasa kepalanya sudah sangat sesak, Marina pun meracau. Tetapi racauannya justru membuat si kondektur senang. Kepala si kondektur pun membesar serupa balon. Kemudian Marina merasa ubun-ubunya mengepulkan asap. Ia mencium bau bunga kemuning bercampur mawar, dahlia, dan sedikit aroma buah elai menguar dari sana.

Di hari yang sama—beberapa jam setelah turun dari bus—Marina juga meracau di dalam ruangan atasannya. Ia takut kena dampat, sebab atasannya memang pandai mendamprat orang. Bahkan, lelaki itu bisa marah berkali-kali dalam sehari.

Kepada Marina, marah itu sudah tidak bisa dihitung lagi dengan jari. Semua tergantung seberapa sering ia melakukan kesalahan. Jika sejak dari rumah sudah kena damprat ayahnya, Marina menumpuk sedih di dalam tempurung kepalanya, seperti tumpukan pakaian kotor, atau sampah, atau majalah-majalah di kamarnya. Lalu ia membawa segala keruwetan itu ke tempat kerja. Maka bisa dipastikan, di tempat kerja pun atasannya bakal mendampratnya tak berampun. Lalu perempuan itu berlari ke toilet dan menangis.

Marina menangis tanpa suara. Ia hanya merapatkan gigi dan menahan isak di tenggorokannya hingga pegal dan sakit, tetapi air matanya berderai mengalir ke pipi, mengisi lubang-lubang bekas jerawat.

Marina mempelajari tekhnik menangis senyap itu dari ayahnya, yang dulu adalah lelaki periang, sebelum istrinya kabur dengan lelaki lain karena masalah bau badan. Perempuan itu tidak tahan bau badan Ayah Marina yang bau tahi. Ia pun menyebar berita kepada kerabat mereka, bahwa setiap hari, bau tahi dari keringat Ayah Marina selalu memenuhi kamar. Kejadian itu pun merenggut banyak hal dari Marina, termasuk sifat periang ayahnya.

Di hari ketika Ibu Marina pergi, ayahnya duduk di kasur dan menutup pintu kamar. Sambil memegang foto sang istri, ia merapatkan gigi dan membiarkan air mata menitik satu per satu membasahi kerah baju.

Ayah Marina memang lahir di jamban, saat Nenek Marina menyangka perutnya mulas karena ingin buang hajat pada suatu senja. Tetapi ternyata ia tidak hanya mengeluarkan tahi. Beruntung, tangannya sigap menangkap badan si bayi.

Setiap kali menceritakan kejadian itu, neneknya tertawa terpingkal-pingkal. Ia mengingat bagaimana kemaluannya yang tipis bisa mengeluarkan bayi berlumur tahi berwarna bunga sawi. Namun, siallah ayahnya. Tahi meresap, mencemari pori-pori kulitnya. Lalu ia tumbuh dengan kulit berwarna kuning, meskipun lebih pucat daripada warna bunga sawi.

Setiap akhir pekan—ketika Ayah Marina kecil—neneknya mengisahkan ulang cerita tersebut, tanpa pernah berpikir jika lambat laun lelaki itu akan bosan, atau malu mendengarnya. Maka, setiap akhir pekan—setelah umur Ayah Marina dua belas—ia berlari menerobos kebun singkong di belakang rumah.

Rumah Nenek Marina dibangun membelakangi kebun singkong yang pokok-pokoknya sebesar lengan manusia. Di belakangnya terdapat pohon-pohon perdu. Bocah lelaki itu membelahnya sebelum memasuki hutan, lalu menangis di bawah pohon elai satu-satunya yang berdiri tegak di dalam hutan. Selembar daun elai yang lebih lebar daripada telapak tangan orang dewasa membelai kepalanya, seperti belaian tangan seorang Ibu. Kemudian pohon elai itu memerintahkan angin meniupkan lagu bahagia. Benang sari bunga elai yang merah berjatuhan di rambutnya, mengusir sedih.

Ia menyukai bunga elai yang merah. Sejak saat itu, ia pun menyadari kekeliruannya soal warna kesukaan. Bukan warna hijau dedaunan. Ternyata ia menyukai warna merah, seperti warna kelopak-kelopak mawar; seperti warna bunga dahlia; seperti simbol berahi. Maka ia mulai menanam pohon mawar dan dahlia di depan jendela kamar, bersisian dengan dua pohon bunga kemuning yang tumbuh setinggi lutut.

Tentu ia berharap bau tahi yang selama ini mesra dengan indera penciuman perlahan menghilang, tergantikan dengan wangi bunga. Tetapi malang, setelah menikah, sang istri terus saja mengeluhkan bau badannya.

“Malam ini kamu tidur di sofa lagi. Aku tidak tahan. Kamar ini jadi bau tahi,” kata istrinya sembari melempar bantal lelaki itu ke ruang tamu. Itu hari keseratus pernikahan mereka dan perempuan itu sedang mengandung bayi Marina.

Setelahnya, diam-diam ibu Marina pun menyukai bau badan lelaki lain yang beraroma jeruk, atau permen, atau buah-buahan, bahkan bau uang. Dengan langkah dan pikiran ringan, perempuan itu meninggalkan Marina yang baru berusia enam, karena berbau sama dengan ayahnya.

****

Saat yang menegangkan itu datang tanpa membawa sebuah pertanda untuk Marina. Tanpa hujan lebat yang menitik sebesar kerikil, gelas pecah, atau pun ayam jantan yang membangunkannya dengan cara bersin. Semua berjalan seperti biasa. Yang tidak biasa hanya degup jantungnya yang tidak beraturan, berdentum bertalu-talu.

Marina mencoba mengingat mantra yang dibacanya di dalam bus pagi tadi. Ia mulai merancau. Namun, racauan yang dibuat-buat itu terdengar aneh dan tidak membikin kepala Marina memanas atau mengepulkan asap.

Kedua kaki Marina yang sekurus ranting delima bergetar di depan pintu ruangan atasannya. Sekotak roti gembong yang dibelinya berada di kedua tangan. Marina membalutnya dengan sebuah cerita. Cerita itu dibuka dengan kehati-hatian pencuri brankas. Napasnya dibuat seteratur mungkin dan ritme berbicaranya serupa pendongeng, tetapi terdengar seperti kertas robek dan bukan dimulai dengan kalimat, “Pada suatu hari….”

Untuk pertama kali, Marina melihat atasannya tersenyum.

“Senyum Bapak sungguh menawan.” Begitu katanya. Atasannya semakin semringah hingga kepalanya berangsur membesar layaknya balon, transparan, dan disesaki bunga-bunga.

Marina mulai mencium wangi kemuning bercampur mawar, dahlia, dan buah elai yang menguar dari kepalanya. Sekarang ia paham bahwa, bukan sebuah mantra yang harus dirapalkan untuk membuat kepala seseorang membesar dan dipenuhi bunga. Ia terus membuai dengan kalimat-kalimat baru, sehingga kepala atasannya nyaris meledak.

Beberapa hari sebelum itu, kepala ayahnya juga hampir meledak. Lelaki itu menenggak minuman beralkohol hingga tertidur dan memimpikan pramusaji bar berbokong indah seranum buah persik. Ia membawa si Bokong Persik membelah perdu di belakang rumah nenek Marina, seperti masa kecil dulu. Lalu ia merebahkan si Bokong Persik di bawah pohon elai, menciumi rambutnya yang beraroma kemuning, bibir semerah mawar, dan buah dada yang seindah bunga dahlia.

“Aku iri dengan bau tubuhmu,” kata Ayah Marina kepada si Bokong Persik. Ia menghirup dalam-dalam wangi kemuning dari rambut perempuan itu, juga melumat bibirnya. “Wangimu begitu nikmat. Aku tidak ingin terbangun dari tidur.”

Si Bokong Persik tertawa.

“Di dunia nyata banyak yang sewangi aku. Kamu bisa menemukannya di tempat pelacuran.”

“Ah, wangi mereka berasal dari botol-botol parfum. Aku ingin wangi alami yang menguar dari tubuh seorang perempuan, menyatu dengan tubuhku. Tubuhku yang bau tahi. Jika aku menemukannya dalam dunia nyata, maka tidak perlulah kamu perintah. Aku pasti melumatnya, hingga tetes keringatnya membersihkan pori-pori kulitku.”

Namun, pohon elai yang telah banyak menghibur lelaki itu terbakar cemburu. Daunnya bergerak tak keruan, rantingnya nyaris patah. Ia memerintahkan angin untuk menyanyikan lagu kemarahan. Benang sari merah bunga-bunga elai pun berguguran, membuat percintaan lelaki itu dengan si Bokong Persik pun berakhir. Tetapi ayah Marina sedang di puncak berahi dan sulit dihentikan. Ia mengambil segenggam benang sari bunga elai yang memenuhi rambutnya, lalu meniupnya. Benang sari beterbangan ke langit, dibawa angin hingga ke kamar Marina dan jatuh tepat di kepala gadis itu.

****

Kian hari, semakin banyak orang yang kepalanya membesar dan dipenuhi bunga. Marina pun menjadi terkenal. Ketenarannya memuncak setelah ia berhasil membuat kepala Pim membesar lebih daripada yang lain. Itu karena Marina telah mengasah keterampilannya. Ia menemukan cara baru yang membuat kepala Pim menjadi sangat besar. Tentu saja terlihat transparan dan disesaki bunga-bunga.

Kepada Pim, Marina membuka sebuah cerita baru. Cerita itu membungkus sebotol minuman soda dingin kesukaan Pim.

“Oh, terima kasih, Marina,” kata Pim, saat melihat Marina mencekik botol minuman. “Dari mana kamu tahu kalau aku menyukai minuman ini?”

Mata Marina mengerling. Ia memikirkan cara membuka cerita dengan kelicikan yang terdengar merdu, juga emosional. Jarinya dilentik-lentikkan, lalu mulai merobek cerita.

“Widuri yang memberi tahu aku.” Marina menggigit sedikit bibirnya. “Ia bilang, salah satu bekas pacarnya yang payah berciuman, menyukai minuman ini. Dan setelah kucari tahu, ternyata kamulah orang yang Widuri maksud.”

“Sialan, si Widuri!” tukas Pim. Wajahnya memerah.

“Iya. Widuri sedikit keterlaluan. Bisa melumat bibirmu bukankah hal yang membanggakan?!”

Marina paham saat-saat kepalanya akan mengepulkan asap. Ia mendapat celah meramu bumbu baru dalam ceritanya, agar wangi bunga yang menguar menyelinap ke dalam kepala Pim seperti cacing. Kalimat-kalimat yang berikutnya pun semakin tertata. Dan sekarang, ia bertambah mahir menambah cerita juga memainkan iramanya, sehingga ia melihat kepala Pim mulai menggelembung serupa balon.

Marina menang. Ia berhasil menaklukan Pim dengan keterampilan baru yang terasah sempurna. Lantas, sepulang bekerja—dengan kepala yang masih sebesar balon dan disesaki bunga—Pim mengajak Marina ke toilet. Bibir mereka berpagutan.

Ayah Marina juga memimpikan bisa memagut bibir seorang perempuan yang menguarkan wangi bunga-bunga kesukaannya, tetapi belum ia temukan. Bahkan si Bokong Persik sesungguhnya menguarkan wangi berbeda seperti yang ada dalam mimpinya. Terlebih, sekarang si Bokong Persik telah mengganti aroma parfumnya. Ayah Marina membenci wanginya. Kemudian ia memutuskan tidak lagi mengunjungi si Bokong Persik.

Ia pulang ketika matahari bersimpuh di kaki langit yang kemerahan dan dalam keadaan setengah sadar. Ketika melewati pintu kamar Marina yang terbuka setengah, lelaki itu mencium wangi kemuning bercampur mawar, dahlia, dan wangi buah elai yang samar dari dalam kamar. Ia mematung di depan pintu, melihat Marina yang terlelap. Gadis itu kelelahan setelah menghadapi serangan Pim di toilet pabrik.

Ayah Marina berjalan serupa melayang, menikmati setiap wangi bunga yang dihidu. Tiba-tiba saja ia telah duduk di samping tubuh lelah Marina. Nanar matanya menatap bibir yang semerah mawar dan payudara seindah bunga dahlia. Lelaki itu pikir, inilah waktu yang tepat untuk menuntaskan hasratnya: membiarkan keringat wangi perempuan itu membersihkan pori-pori kulitnya yang tercemar tahi sejak bayi. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.

Di mulai pada suatu senja—seperti ketika lelaki itu dilahirkan—mereka berdua pun hidup dengan menanggung bau tahi selamanya.***

 

Balikpapan, 16 Desember 2020

Ayna Indiera, penulis yang sulit menolak mie ayam.

 

Komentar juri:

Cerpen ini ditulis dengan matang, mulai dari judul, ide, hinggaa plotnya menyatu saling menguatkan. Salah satu cerpen dengan nuansa paling surealis pada TL kali ini (kalau tidak yang paling surealis). Kekuatannya terhadap genre yang diinginkan oleh kami (penyelenggara), membuat cerita ini tidak tertolak. Hanya saja, cerpen ini kurang kuat dalam mengeksplorasi tema yang kita canangkan. Kekurangan tersebut, untungnya, bisa diimbangi oleh kekuatan genre dan kelihaian penulisnya dalam merancang kalimat dan plot cerita. Keren.

Berry Budiman.

 

Tantangan Lokit adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakn di grup KCLK.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply