Dendam

Dendam

Dendam
Oleh : Rinanda Tesniana

Kucing hitam itu lagi. Tanganku otomatis mengambil sapu dan memukulkannya ke tubuh binatang berkaki empat yang tampak ringkih itu. Aku tak peduli dengan suara rintihannya yang seolah meminta keringanan hukuman. Aku tak peduli! Aku memukulinya hingga puas, hingga dia tergeletak begitu saja di teras rumah. Tetap saja, luka yang sudah menjadi borok dalam hatiku, tak pernah sembuh.

***

“Ay, makan dulu dong!” Aku mengejar Ayna, anakku yang masih berusia enam tahun. Ayna gadis cantik dengan rambut ikal, tubuh gempalnya membuat siapa pun gemas. Belum lagi tingkah polahnya yang manis. Benar-benar membuatku jatuh cinta padanya berkali-kali.

Ayna sangat sayang dengan Manis, seekor kucing yang dibuang entah oleh siapa di teras rumahku sebulan lalu. Sejak kedatangan Manis, gadis kecil itu jadi jarang main dengan teman-temannya. Dia sibuk melayani si Manis. Kucing itu tumbuh cepat, tubuhnya yang dulu kurus kering, kini gemuk dan bersih.

“Suapin Manis juga dong, Ma,” rengeknya.

Aku melempar sepotong tulang ayam untuk Manis. Kucing gembul itu berlari mengejar tulang yang aku berikan. Ayna tertawa melihatnya.

Hari itu, Ayna pulang sekolah dengan wajah murung. Aku sedikit heran, ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Ayna senang bersekolah, dia suka bernyanyi dan bermain bersama guru.

“Kenapa, Ay?” tanyaku sambil membukakan seragamnya.

“Ma, masa tadi Aldo bilang si Manis itu kucing aneh,” lapornya dengan suara merajuk.

“Aneh? Aneh kenapa?”

“Kata Aldo, kalau ada kucing hitam di rumah, nanti ada yang mau mati.”

Aku terkekeh. Aku tahu Aldo, bocah bertubuh kurus itu memang usil.

“Beneran, Ma?”

“Ya, gaklah. Udahlah, Ay, kamu jangan dengerin semua omongan si Aldo.” Aku membelai rambut panjangnya dengan lembut.

“Tapi, Ma, Ayna gak mau sayang lagi sama Manis,” ucapnya.

Aku mengabaikan ketakutan Ayna yang tak beralasan. Bukankah bagi anak berumur enam tahun rasa suka atau tidak suka datang dan pergi dengan cepat?

Ayna membuktikan ucapannya. Si Manis tak lagi dipedulikannya. Kucing yang dulunya montok itu, sekarang kurus kering, dengan bulu kusam.

Minggu pagi yang cerah, aku dan Ayna seperti biasa menyiram kembang di halaman. Putri kecilku itu sangat senang membantu semua pekerjaanku.

Suamiku entah mengapa bekerja juga pada hari libur seperti ini. Ah, sudah lama kami tak saling memedulikan. Alasan kami bertahan hanya Ayna.

Si Manis hari itu bermanja-manja di kaki Ayna, dan anehnya gadisku tidak menolak. Biasanya, dia langsung menyepak si Manis hingga terpental.

“Tumben,” godaku.

Dia tertawa. “Kangen, Ma.”

Tak lama, Ayna sudah melupakan kembang-kembang yang harus disiramnya. Dia asyik bercanda dengan si Manis. Aku pun kembali  menyirami tanaman yang beberapa sudah dipesan oleh para langganan.

Aku tak memperhatikan Ayna lagi, hingga terdengar pekikannya. Aku berlari ke jalanan. Anakku tergeletak sambil memeluk si Manis.

Aku membeku, bahkan untuk menggendong Ayna yang berlumuran darah pun aku tak mampu. Seorang tetangga berinisiatif  membawanya ke rumah sakit. Benar saja, anakku tak tertolong.

Air mata rasanya tak pernah cukup untuk mewakili dukaku karena kehilangan Ayna. Permata kecil yang selalu membuatku bersemangat menjalani hidup. Dia adalah alasanku untuk bertahan dalam rumah tangga yang gersang ini. Kini, aku seperti kehilangan cahaya. Dunia berubah gelap gulita sebab penerangku sudah pergi untuk selamanya.

***

“Kucing itu mendadak muncul di jalanan, Bu. Saya ngerem sampe kandas. Eh, anak Ibu tiba-tiba lari nyelametin kucingnya, ada motor kencang banget, gak sempat ngerem.” Kalimat sang sopir enggan enyah dari benakku.

Hatiku teriris. Seperti ada luka menjalar di sekujur tubuhku, memenuhi sel sarafku, dan meledak dalam otakku.

Si Manis masih dengan tatapan sedihnya di hadapanku. Apa dia lapar? Apa aku harus memberinya makan? Dia menyebabkan kematian Ayna, kan? Lalu untuk apa dia masih hidup?

Aku beranjak masuk ke dalam. Rumah yang dulu bercahaya karena Ayna, sekarang bermuram durja. Kekosongan yang aku dapatkan karena suamiku sibuk bekerja, kini semakin hampa rasanya. Aku tak memiliki alasan untuk bertahan.

Aku menyodorkan piring plastik kepada si Manis. Kucing kurus itu langsung lahap memakan ikan yang ada di dalamnya. Aku duduk di teras. Menunggu.

Benar saja, tak lama kucing itu menggelepar. Aku nikmati proses sakaratul maut si Manis. Balas dendam yang indah. Bukankah nyawa harus dibayar nyawa? Dia menyebabkan Ayna pergi, jadi wajar saja jika aku membuat dia mati.

Sekarang, aku kembali menunggu, duduk manis di sini, menanti malaikat tiba. Aku memakan ikan yang sama dengan si Manis. Mungkin, sebentar lagi aku akan menggelepar seperti dia. Sebentar lagi juga, aku berharap bisa bertemu Ayna.

 

Koto Tangah, 23.12.2020

Rinanda Tesniana-Ambiver yang senang membaca.

Editor : Lily

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply