Wanita Kotak Pos (25 Cerpen Terbaik TL-17)

Wanita Kotak Pos (25 Cerpen Terbaik TL-17)

Wanita Kotak Pos

Oleh : Ken Lazuardy

25 Cerpen Terbaik Tantangan Lokit 17

 

Wanita ber-sweater itu berdiri tepat di samping kotak pos. Warna sweater-nya tampak sama dengan warna kotak pos yang ada di sampingnya. Sudah lama sekali dia berdiri di sana, entah berapa lama, tak ada yang menghitung, pun tak ada yang peduli. Kabar yang santer terdengar adalah si wanita sedang menunggu seorang lelaki. Berbagai macam komentar pun terlontar dari bibir para pejalan kaki yang lewat atau para pengirim surat yang sengaja datang untuk memasukkan suratnya ke dalam kotak pos.

“Dasar orang gila.”

“Hei, yang kau lakukan adalah hal yang sia-sia. Pulanglah!”

“Sampai kapan kau menunggu? Dia tak akan kembali.”

Seorang ibu yang berjalan melewati si wanita, menasihati putrinya yang tengah beranjak remaja.

“Jangan sampai kau menjadi gila sepertinya. Jika kau jatuh cinta, cintailah sewajarnya. Ketika kau diminta menunggu, tinggalkanlah, karena banyak lelaki lain yang masih bisa kau cintai. Hanya wanita bodoh yang mau menunggu dan menyia-nyiakan waktunya.”

Namun, tak ada satu pun yang mampu mengusiknya. Definisi cinta dalam dirinya mungkin berbeda dengan orang lain. Ia akan tetap berdiri di sana karena telah berjanji pada si lelaki untuk menunggu di dekat kotak pos, sampai yang ditunggunya datang. Sang lelaki pun berjanji akan datang menjemputnya. Si wanita juga tak akan mengganti sweater-nya, selain karena merupakan pemberian dari sang lelaki, sweater itu yang membuat sang lelaki mengenalinya. Sweater yang dibuat dari benang kasih sayang dan rajutan pengorbanan.

Berbagai musim telah wanita itu lalui. Seterik apa pun cahaya matahari menyengat kulitnya di musim panas hingga tubuhnya mengering, tak sedikit pun membuat keyakinannya surut. Ia tetap bertahan walau dalam kesendirian.

Memasuki musim gugur, sekalipun warna kulitnya mulai berubah menjadi jingga dan rambutnya yang menjadi jingga pun ikut berguguran bersama dengan daun dari pohon yang tumbuh di belakangnya, tak menggugurkan semangat untuk berdiri kokoh dalam penantian.

Selama masuk musim dingin, hawa dingin yang menikam tubuhnya hingga membiru lalu membeku seperti es, tak membekukan cinta yang selama ini mengalir hangat dalam pembuluh darahnya.

Di musim semi, musim yang sangat dinantikannya, tubuhnya ditumbuhi daun dan bunga merah serupa sweater-nya. Anak-anak kecil yang melewatinya, kadang mengambil beberapa kuntum bunga dari tubuhnya tanpa izin, meskipun sakit, ia hanya diam. Tak apa jika orang lain mengambil apa pun darinya. Apa pun itu, asalkan bukan harga dirinya.

Suatu hari, dari kejauhan tampak seorang lelaki ber-­coat hitam datang mendekati si wanita kotak pos. Setelah mendekat, si wanita ternyata salah, ia mengira lelaki itu adalah seseorang yang sedang dinantinya.

“Nona, pulanglah bersamaku, aku akan menjagamu.”

“Tidak, terima kasih. Aku akan menunggu. Tak ada yang bisa membuatku bahagia selain dia.”

“Sampai kapan?”

“Sampai dia kembali.”

“Baiklah. Jika kau berubah pikiran, datanglah menemuiku.”

“Tak akan.”

Baginya, tak ada lelaki mana pun di dunia ini baik dan tulus mencintainya selain lelakinya. Wanita ber-sweater merah itu menjawab dengan tersenyum, senyumnya memang sangat indah seperti bunga yang tumbuh dari tubuhnya itu. Beberapa kupu-kupu mulai berdatangan, hinggap sebentar lalu terbang kembali. Si wanita tak lagi mengingat hari, bahkan namanya pun tak mampu ia ingat lagi. Yang ia ingat hanyalah sang lelaki. Wajah dengan pandangan yang sangat menentramkan.

Suatu hari, dadanya terasa sesak dan berat. Ada suatu benda bermassa yang menggantung dalam rongga dadanya, beban rindunya. Karena terasa semakin berat, hingga ia harus bersandar pada kotak pos. Ia mencoba memukul dadanya dengan keras, puluhan kali. Ia menangis tapi tak bersuara. Air mata mengalir di pipinya. Ada yang terasa sakit sakit, bukan dada yang telah ia pukul, tapi tangannya yang merasakan sakit. Ternyata hatinya telah mengeras dan membatu. Ia pun mulai berteriak dan meminta tolong.

“Tolong, hatiku mulai membatu! Siapa pun tolong aku.”

Orang di sekitar hanya berlalu, ada yang merasa takut, ada juga yang memang tak peduli. Beberapa di antaranya bahkan hanya menonton si wanita yang sedang kesakitan itu dan mengabadikan momen itu dalam memori ponselnya. Tidak ada yang lebih menarik dibanding headline berita tentang wanita yang membatu. Mereka mulai penasaran, apakah tubuhnya akan ikut membatu atau hanya hatinya. Sementara itu, si wanita terus meraung kesakitan dan memegangi dadanya. Namun, tak ada satu pun dari kerumunan itu yang menolong.

Perlahan, kedua tangan yang sedang memegangi dadanya ikut mengeras dan membatu, tak dapat ia gerakkan kembali. Tangannya kini ikut membatu, lalu diikuti satu per satu bagian tubuhnya yang lain. Semua tubuhnya kini membatu, kecuali sweater-nya.

Setelah tubuh wanita itu membatu, semua orang yang melihat kejadian itu memberi berbagai tanggapan. Ada yang selalu konsisten dengan cibirannya. Namun, ada juga beberapa di antara mereka yang merasa kasihan. Mereka berbondong-bondong membawa air dari rumah mereka masing-masing dan mengguyurkannya di tubuh si wanita batu, dengan harapan air tersebut mampu mengembalikan si wanita batu seperti sedia kala. Ternyata hasilnya nihil.

Meski setiap kali melewati si wanita batu, mereka mengguyurkan air, tetap tak mengubah apapun. Tubuhnya malah ditumbuhi lumut. Semakin bertambahnya hari, tumbuhan-tumbuhan kecil tampak tumbuh melesak dari pori tubuh wanita batu itu.

“Cukup! Apa yang kalian lakukan?!” seru si tukang pos mengagetkan semua orang.

“Awalnya kalian tak peduli, lalu sekarang ia sudah membatu, kalian menaruh belas kasihan kepadanya. Kini yang kalian lakukan semakin memperburuk keadaannya. Tubuhnya akan semakin lapuk dan hancur jika kau terus menyiraminya seperti itu. Biarlah yang sudah terjadi. Kalian kembali saja pada kehidupan masing-masing.”

Tak ada yang pernah tau siapa yang ditunggu oleh si wanita batu, kecuali si tukang pos bersama surat si wanita batu yang dititipkan kepadanya.

Kepada yang terhormat,

Semesta,

Sampaikan salamku pada Ayah. Aku sangat merindukannya. Tolong bawa dia kembali padaku. Katakan aku menunggunya di dekat kotak pos dan minta dia untuk menjemputku segera.

Tak ada yang berubah setelah itu. Wanita batu itu tetap berdiri dan tetap memakai sweater merah, di samping kotak pos. (*)

Pasuruan, 16 Desember 2020

Ken, emak berbocil dua yang masih dan akan terus belajar di dunia kepenulisan.

 

Komentar juri :

Tugas penulis adalah memberikan fokus dan arah sehingga pembaca dapat menangkap substansi dari cerita yang ia tulis—jika diibaratkan, cerita ini mungkin seperti akar tunggang yang lurus tetapi dalam: premisnya sederhana, yakni tentang seorang wanita yang menunggu seorang lelaki sampai dirinya membatu, tetapi penulisnya mampu memberikan detail sehingga cerita ini lebih kaya, hidup, juga “magis”. Ada kritik sosial di sana, sedangkan alurnya mengalir dengan baik, mulai dari si wanita yang hanya menunggu di samping kotak pos, lalu membatu, hingga akhirnya ditumbuhi oleh lumut. Dan tidak lupa, penulis juga memberikan “kejutan” yang menjawab pertanyaan-pertanyaan saya sejak awal cerita: siapa sih, lelaki yang ditunggu wanita itu?

Devin Elysia Dhywinanda

 

Tantangan Lokit adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakn di grup KCLK.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply